Liputan6.com, Jakarta - Tahun ini World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia mengangkat tema "A Press for the Planet: Journalism in the Face of the Environmental Crisis".
Tema ini diangkat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengatasi masalah lingkungan.
Advertisement
Sejalan dengan tema tersebut, Kedutaan Besar Amerika Serikat (Kedubes AS) mengadakan diskusi bersama para jurnalis dan mahasiswa di Jakarta.
Dalam diskusi ini Ketua Umum Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) Joni Aswira Putra menyoroti masalah kerusakan lingkungan semakin parah. Terbukti dengan naiknya suhu Bumi sekitar 1,5 derajat Celcius lebih cepat dari waktu yang diperkirakan.
"Krisis iklim itu sudah nyata dan membawa dampak yang sangat signifikan, kita tidak ada waktu untuk berdiam diri," kata Joni dalam diskusi dengan tema, Reporting for the Planet: Journalism's Critical Role in Combating the Environmental Crisis di @America, Pacific Place, Jakarta pada Selasa, (28/5/2024).
Joni juga menyebut, jurnalis lingkungan punya tantangan yang lebih besar dibandingkan jurnalis yang meliput isu lainnya. Sejumlah tantangan ia beberkan di diskusi tersebut. Mulai dari kekerasan dan ancaman yang dihadapi, landscape ekonomi media hingga tema lingkungan yang sulit mendapatkan tempat bagi para pembaca.
"Banyak jurnalis yang menghadapi ancaman, problem kapasitas, landscape ekonomi media hari ini yang tema-tema iklim dan lingkungan itu sangat susah sekali mendapat tempat di algoritma digital serta tantangan politik redaksi dari orang yang berkepentingan hingga afiliasi media dengan industri ekstraktif," kata Joni.
Padahal, Joni meyakini bahwa kebebasan pers yang dimiliki para jurnalis dalam menginvestigasi suatu masalah memungkinkan mereka untuk menyebarkan informasi melalui hasil liputan yang mendalam dan akurat.
Ia juga menyebut bahwa edia massa memiliki kekuatan untuk menyampaikan informasi mengenai kerusakan lingkungan, penggunaan sumber daya alam secara berlebihan, dan dampak dari perubahan iklim kepada masyarakat luas.
Ancaman Kehilangan Nyawa Dihadapi Sejumlah Jurnalis
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Ade Wahyudin membenarkan bahwa masih banyak jurnalis yang menghadapi tantangan dan acaman dalam menjalankan tugasnya.
Ade menyebut, ancaman yang dihadapi jurnalis lingkungan sangatlah berbahaya, karena bisa mengancam nyawa.
"Bukan hanya nyawa secara individu, tapi nyawa keluarga mereka," jelasnya.
Ade memaparkan bahwa isu lingkungan hidup dilatarbelakangi oleh banyak hal, terutama untuk kepentingan publik.
Menurutnya, jurnalis punya peranan besar tak hanya memberikan informasi semata, tetapi jurnalis juga memberikan informasi untuk meningkatkan kesadaran publik akan kondisi lingkungan yang semakin parah.
"Jurnalis bukan hanya menginformasikan suatu peristiwa saja, tetapi juga bertugas untuk memberikan pesan meningkatkan kesadaran publik terkait masalah lingkungan. Termasuk perubahan iklim, kehilangan biodiversitas, dan pencemaran air," katanya.
Baginya, masyarakat perlu mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya untuk menjaga lingkungan.
Namun, untuk mencapai hal itu dibutuhkan peran dari berbagai pihak dan kerja sama antar sektor.
"Apalagi di era digital ini. Media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan informasi dan dukungan masyarakat terhadap isu lingkungan."
"Dibutuhkan biaya besar, koalisi bukan hanya sesama jurnalis, tapi akademik, dan masyarakat secara umum," jelas Ade.
Advertisement
Penting Bagi Jurnalis Jalin Hubungan dan Koneksi dengan Narasumber
Pada kesempatan tersebut, hadir pula Cayte Bosler seorang jurnalis investigasi asal Amerika Serikat sekaligus peneliti lingkungan AS.
Cayte Bosler berbagi cerita kepada para mahasiswa terkait pengalamannya saat bertugas di Taman Nasional yang ada di Bolivia, Amerika Selatan.
"Ada banyak biodiversitas yang mampu menjaga keseimbangan alam. Ini adalah pengalaman luar biasa," kata Cayte.
Cayte Bosler juga bercerita bagaimana ia bertemu dengan narasumber di Sungai Amazon, Brasil bernama Donna Victoria. Menurutnya, Donna adalah sosok warga yang mempu menjaga keseimbangan alam.
Lewat pengalaman ini, Cayte Bosler menilai pentingnya bagi jurnalis untuk tetap menjalin komunikasi dengan para narasumber.
Selain itu, Cayte Bosler juga menyinggung sejumlah tantangan yang ia hadapi selama bekerja sebagai jurnalis. Terutama terkait pemanfaatan sosial media dalam menyebarkan informasi.
"Menurut saya, ini merupakan sebuah tantangan. Algoritma di sosial media dirancang untuk memberikan informasi yang mengejutkan dan membuat kita mudah percaya. Mereka menggunakan judul yang menarik. Dan berfokus pada anak muda di seluruh dunia," kata Cayte Bosler, jurnalis investigasi Amerika dan peneliti lingkungan.
"Saya mendorong orang-orang dari berbagai sektor untuk terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat sekarang."
Kedubes AS:
Sementara itu, Wakil Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat Nick Geisinger memberi sambutan baik dan mengapresiasi kerja jurnalis lingkungan.
"Hari ini, kita memiliki kesempatan untuk menyoroti peran penting jurnalis dan kebebasan pers untuk mengakui ketangguhan para jurnalis di Indonesia dan di seluruh dunia yang terus mengungkapkan isu-isu lingkungan demi keadilan," kata Nick Geisinger.
Selain itu, pria yang akrab disapa Nick itu juga menekankan bahwa kebebasan pers merupakan landasan kuat demokrasi di setiap negara.
"Dalam menjaga lingkungan kita, kebebasan pers adalah landasan dari setiap demokrasi."
Nick juga menjelaskan pentingnya peran media dalam mengungkap kejahatan dan ketidakadilan lingkungan di masyarakat.
Menurut Nick, kehadiran mereka bisa menjadi pengawasan bagi kinerja pemerintah, terutama untuk mengungkapkan kebenaran
Advertisement