Liputan6.com, Jakarta Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendukung program tabungan perumahan rakyat (Tapera). Pasalnya, rumah merupakan kebutuhan primer bagi para kelompok buruh dan pekerja, seperti halnya makanan dan pakaian.
"Bahkan di dalam UUD 1945 negara diperintahkan untuk menyiapkan perumahan sebagai hak rakyat, dimana jaminan perumahan adalah jaminan sosial yang akan kami perjuangkan," tegas Presiden KSPI Said Iqbal, Rabu (29/5/2024).
Menurut dia, Tapera yang dibutuhkan buruh dan rakyat adalah kepastian untuk mendapatkan rumah yang layak melalui dana APBN dan APBD.
Advertisement
"Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera. Karena membebani buruh dan rakyat," sambungnya.
Dia menilai, setidaknya ada beberapa alasan mengapa program Tapera belum tepat dijalankan saat ini. Pertama, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.
“Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” tegasnya.
Rata-Rata Upah Buruh
Iqbal mengatakan, upah rata-rata buruh Indonesia saat ini sekitar Rp 3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan maka iurannya adalah sekitar Rp 105.000 per bulan atau Rp 1.260.000 per tahun.
Karena Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp 12.600.000 hingga Rp 25.200.000.
“Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun kedepan ada harga rumah yang seharga Rp 12,6 juta atau Rp 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah," keluhnya.
"Jadi dengan iuran Tapera 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah," urainya.
Bebani Buruh
Alasan berikutnya mengapa Tapera membebani buruh dan rakyat saat ini, dalam 5 tahun terakhir upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30 persen. Ini akibat upah tidak naik hampir 3 tahun berturut-turut dan tahun ini naik upahnya murah sekali.
Bila dipotong lagi 3 persen untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat, apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.
"Dalam UUD 1945 tanggungjawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyedikan rumah untuk rakyat yang murah, sebagaimana program jaminan Kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah. Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh," keluhnya.
Selanjutnya, ia menilai program Tapera tidak tepat dijalankan sekarang sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah, sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program Jaminan Kesehatan
Sedangkan alasan terakhir, program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum.
"Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di Asabri dan Taspen. Dengan demikian, Tapera kurang tepat dijalankan sebalum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera," pungkas Said Iqbal.
Advertisement
Gaji Karyawan Dipotong Iuran Tapera, DPR: Pekerja Makin Terhimpit
Masyarakat kembali ramai dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Edy Wuryanto, menilai berbagai kekhawatiran yang dilontarkan masyarakat ini merupakan hal yang wajar, karena berkaitan dengan pemotongan gaji pegawai untuk iuran Tapera di saat kebutuhan hidup makin menghimpit.
“Pekerja dan pengusaha wajib ikut Tapera, namun pekerja tidak otomatis mendapat manfaat Tapera,” kata Edy dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/5/2024).
Hal ini mengacu pada Pasal 38 ayat 1b dan 1c yang menyebut syarat pekerja yang akan mendapatkan manfaat adalah yang termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah.
Lalu pada Pasal 39 ayat 2c yang menyatakan pemberian manfaat berdasarkan tingkat kemendesakan kepemilikan rumah yang dinilai oleh BP Tapera.
"Ini artinya BP Tapera akan menentukan juga akses ke manfaat Tapera yang berupa KPR, pembangunan rumah, atau renovasi rumah," ujarnya.
Melihat ini, menurutnya Tapera berbeda dengan BPJS yang mengutamakan asas gotong royong dan dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh pesertanya.
Politisi PDI Perjuangan ini juga melihat dana yang dikumpulkan di Tapera tidak mendapatkan kepastian timbal hasil. Edy pun membandingkan dengan Jaminan Hari Tua (JHT) pada BPJS Ketenagakerjaan yang imbal hasilnya minimal dengan rata-rata suku bunga deposito di bank pemerintah. Bahkan selama ini rata-rata imbal hasil yang dikembalikan pada peserta JHT di atas rata-rata suku bunga bank.
“Saat ini sudah ada fasilitas di BPJS Ketenagakerjaan yang memberikan manfaat yang sama dengan UU Tapera. Ada program namanya Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan program JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan,” ujar Edy.
Maksimalkan MLT Perumahan
Ia melihat akan ada overlapping antara MLT Perumahan dan UU Tapera. Dia pun meminta agar memaksimalkan MLT perumahan untuk pekerja, sehingga pekerja dan pengusaha swasta tidak diwajibkan ikut Tapera.
“Dengan diwajibkan membayar iuran Tapera 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pengusaha maka akan menggangu upah buruh dan cash flow perusahaan,” imbuhnya.
Edy mengusulkan agar pemerintah sebaiknya fokus saja untuk pemenuhan kebutuhan rumah untuk ASN dan masyarakat miskin. Pembiayaan perumahan rakyat miskin diberikan dengan skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) seperti di Program JKN. Sumber dananya bisa dari Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan yang berasal dari APBN..
“Yang terjadi di lapangan itu harga bahan pokok mahal, harga properti tidak dapat dijangkau. Masyarakat benar-benar dihimpit,” pungkas Edy.
Advertisement