Liputan6.com, Gaza - Setelah matahari terbit, orang-orang yang selamat dari pengeboman Israel di kamp pengungsi Tel al-Sultan, Rafah, pada Minggu (26/5/2024) mengecek kerusakan yang terjadi.
Para pria mencari di antara puing-puing yang terbakar dan para jurnalis mengambil foto kaleng-kaleng makanan yang menghitam.
Advertisement
Sesaat sebelum tragedi terjadi, sejumlah pengungsi baru selesai salat malam, ada yang tertidur, dan ada pula yang sekadar berkumpul bersama keluarga.
"Kami sedang duduk dengan tenang ketika tiba-tiba mendengar ledakan," kata Layan al-Fayoum, salah satu korban selamat dari serangan Israel, seperti dilansir Middle East Eye, Kamis (30/5). "Itu sangat mendadak. Bom-bom itu jatuh tanpa peringatan."
Saat remaja itu keluar dari tendanya untuk melihat apa yang terjadi, dia dikejutkan oleh api besar yang menyala.
"Apinya sangat besar," kata Layan. "Kami melihat tenda-tenda terbakar dan kemudian kami harus menemukan anggota tubuh yang terpotong-potong dan anak-anak yang mati."
Pengeboman Israel terjadi sekitar pukul 10.00 malam waktu setempat. Menurut seorang saksi mata, jet-jet Israel menjatuhkan bom di kamp pengungsi, menyebabkan kebakaran yang menghanguskan sekitar 14 tenda.
Menurut analisis Al Jazeera Arab, kamp pengungsi nahas itu terletak di zona kemanusiaan yang ditetapkan Israel di dekat fasilitas penyimpanan PBB.
Otoritas kesehatan Jalur Gaza mengatakan 45 orang tewas dalam serangan Israel di Tel al-Sultan. Sebanyak 249 orang lainnya terluka, beberapa di antaranya luka parah, termasuk luka bakar parah dan patah anggota tubuh.
Otoritas kesehatan Jalur Gaza mengakui mereka kewalahan dengan jumlah dan jenis korban luka karena hanya satu rumah sakit yang beroperasi di Rafah akibat penghancuran sistem kesehatan yang dilakukan Israel. Para responden pertama juga menggambarkan tantangan serupa karena 80 persen kemampuan pertahanan sipil Palestina telah hancur sejak 7 Oktober 2023.
Tantangan dilaporkan terlihat jelas pasca pengeboman, di mana petugas pemadam kebakaran, paramedis, dan warga berjuang memadamkan api.
Adegan kacau pun terjadi. Para penyintas yang panik berlari mencari keselamatan di tengah-tengah tubuh yang hangus, bahkan seorang pria menggendong seorang anak tanpa kepala dan seorang petugas medis menggendong seorang lainnya dengan otak yang pecah.
"Saya keluar dari tenda dan melihat api di mana-mana," kata seorang saksi mata Mohammad Abo Sebah.
"Seorang anak perempuan berteriak, jadi kami membantunya dan saudara laki-lakinya. Ketika kami kembali, perkemahan itu hancur total."
Klaim Israel
Menurut al-Fayoum, butuh sekitar 11 truk pemadam kebakaran antara satu dan dua jam untuk akhirnya menghentikan api.
Remaja tersebut menuturkan keluarganya berencana untuk pindah ke kamp lain pada Senin (27/5) pagi karena serangan Israel di Rafah meningkat dalam beberapa pekan terakhir.
Namun, mereka kehilangan uang akibat kebakaran tersebut, yang berarti mereka tidak bisa pergi ke mana pun saat ini dan tidak memiliki tenda untuk berlindung.
"Mereka bilang ini adalah zona aman," ujar Abo Sebah kepada Middle East Eye. "Pendudukan ini keji dan kriminal."
Militer Israel mengklaim mereka menggunakan "amunisi presisi" dalam serangan itu, yang membunuh dua petinggi Hamas. Mereka menambahkan insiden "sedang ditinjau" dan mereka menyesalkan "segala kerugian yang menimpa non-kombatan selama perang".
Abo Sebah, yang melarikan diri dari Gaza tengah ke kamp Tel al-Sultan pada Januari, menegaskan dia tidak memercayai klaim Israel.
"Apa lagi yang Anda harapkan dari mereka?" ujarnya. "Kami belum pernah melihat adanya pejuang perlawanan di sini. Para pejuang berada di zona tempur di Rafah timur."
"Israel hanya mengatakan hal itu untuk membenarkan tindakan mereka. Mereka ingin membunuh rakyat Palestina, mengusir kami secara paksa, dan menghancurkan rumah kami."
Abo Sebah kehilangan rumahnya pada bulan November ketika rumahnya dibom oleh pesawat tempur Israel dalam serangan yang menewaskan dua putranya, putrinya, dan bayinya yang berusia dua tahun.
Dia datang ke Rafah untuk mencari keselamatan, sesuai arahan Israel yang meminta warga Palestina untuk datang ke kota itu pada awal perang untuk menghindari daerah berbahaya di tempat lain.
"Tidak ada tempat yang aman di sini. Tidak ada yang selamat. Bahkan orang mati yang terkubur di bawah tanah pun tidak selamat," kata Abo Sebah.
"Kehancuran, jenazah, dan pembunuhan. Inilah hidup kita."
Advertisement
Mengabaikan Perintah ICJ
Pengeboman di Tel al-Sultan memicu kecaman global terhadap Israel, termasuk dari Yordania, Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell menyebutnya "mengerikan".
"Tidak ada tempat yang aman di Gaza. Serangan-serangan ini harus segera dihentikan," ungkap Borrell di platform X.
Senada, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan dia "marah" dengan serangan tersebut.
"Operasi ini harus dihentikan. Tidak ada wilayah aman di Rafah bagi warga sipil Palestina," tulis Macron di X.
Pembantaian pada hari Minggu terjadi dua hari setelah Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa Israel harus menghentikan serangannya di Rafah.
Israel menolak keputusan tersebut dan mengatakan serangannya di Jalur Gaza sejalan dengan hukum internasional.