Ropina Tarigan: Waktu Tahu Anak Asuh Saya Pengidap HIV, Pihak Sekolah Kaget

Vina merawat sejumlah anak pengidap HIV/AIDS, memberikan pendidikan, perbaikan gizi sekaligus memantau kondisi kesehatan mereka.

oleh Rinaldo diperbarui 30 Mei 2024, 17:03 WIB
Bidan Ropina Tarigan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Kalau profesi bidan identik dengan seseorang yang membantu persalinan, apa yang dilakukan wanita ini jauh melampaui semua itu. Sosok yang karib disapa Bidan Vina ini istimewa karena tak hanya membantu persalinan, melainkan juga merawat dan membimbing sekitar 150 anak yang mengidap HIV/AIDS karena bawaan atau tertular dari orangtua mereka.

Lahir di Medan, Sumatera Utara pada 17 Juli 1964, wanita bernama lengkap Ropina Tarigan ini mulai merasakan kerasnya hidup sejak menapakkan kaki di Ibu Kota, ketika itu di masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Namun, masa kecil yang keras dan penuh perjuangan tak membuat Vina berhenti mencapai cita-cita sebagai seorang bidan.

Setelah menamatkan pendidikan S1 Administrasi Niaga dari Unkris pada 1990, Vina melanjutkan ke pendidikan D3 Kebidanan di Akbid Al-Fathonah Jakarta pada 2006. Setahun kemudian Vina juga menamatkan pendidikan S2 Magister Managemen di Unkris. Pada 2014 Vina mendapatkan gelar Sarjana Sains Terapan (SST) setelah menamatkan pendidikan D4 Bidan Pendidik. Terakhir tahun lalu, ketika dia menamatkan pendidikan Profesi Kebidanan STIKES BPI.

Dengan semua pendidikan itu, Vina ternyata tak puas hanya sebagai bidan. Vina bercerita, pada 2007 dia mulai bersentuhan dengan anak-anak pengidap HIV/AIDS setelah mengetahui bahwa di tempat tinggalnya di kawasan Tambora, Jakarta Barat merupakan sarang narkoba. Ketika itu Vina mendirikan Yayasan Sekolah Sehat.

Dua tahun kemudian Vina diajak bergabung dengan program Lentera Anak Pelangi yang peduli terhadap anak-anak pengidap HIV/AIDS. Program itu dilaksanakan karena mulai ditemukan kasus kelahiran anak yang terinfeksi HIV setelah adanya laporan dari orangtua yang merupakan pecandu narkoba bahwa anak mereka ikut terinfeksi HIV. Dia pun berinisiatif mendirikan Yayasan Vina Smart Era.

Namun, jumlahnya waktu itu belum banyak, hanya ada tiga kasus yang dilaporkan di seluruh Jakarta. Jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun yang mencapai 93 anak berusia antara 0-15 tahun. Vina semakin bersemangat merawat anak-anak yang lahir dan terinfeksi HIV/AIDS setelah Yayasan Vina Smart Era memiliki sertifikat pada 2015.

Melalui yayasan ini, Vina merawat sejumlah anak pengidap HIV/AIDS, memberikan perhatian khusus kepada mereka berupa pendidikan, perbaikan gizi sekaligus memantau kondisi kesehatan mereka. Selain itu, Yayasan Vina Smart Era juga memberikan advokasi agar mereka diterima kembali oleh anak-anak lain.

Sejak tahun 2007 hingga kini, Bidan Vina sudah merawat lebih dari 150 anak pengidap HIV/AIDS di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Saat ini, Vina juga masih merawat langsung 10 anak di rumahnya di Tambora, Jakarta Barat. Setiap hari Vina juga mengunjungi anak-anak lainnya di tempat mereka tinggal untuk memantau kesehatan dan menyediakan obat-obatan antiretroviral (ARV).

Menikah dengan Agus Siswanto pada 1990, Vina dikaruniai dua orang anak. Bersama sang suami yang mantan guru, Vina juga memberikan konseling dan mendidik siswa SMP dan SMA serta masyarakat umum tentang bahaya HIV/AIDS serta bagaimana membantu orang lain yang terjangkit virus itu.

Tak mudah memang menjadi ibu kedua bagi lebih dari 150 anak, karena dia harus banting tulang mencari pemasukan guna membiayai sekolah, makanan dan biaya lainnya untuk anak-anak pengidap HIV/AIDS yang dia rawat dan bimbing. Namun Vina tak menyerah dan terus bertahan hingga kini.

Paling tidak, selembar kertas penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk Yayasan Vina Smart Era yang dibingkai dan digantungkan di dinding rumahnya di Tambora, menjadi bukti bahwa Vina sudah berbuat untuk sesama yang orang lain belum tentu bisa dan mau.

Berikut petikan wawancara bidan Ropina Tarigan dengan Teddy Tri Setio Berty dalam program Bincang Liputan6.

 


Mereka Seperti Anak-anak yang Terbuang

Bidan Ropina Tarigan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Bisa diceritakan kapan Ibu mulai tertarik mengasuh anak-anak yang mengidap HIV/AIDS?

Antara tahun 2007 dan 2008 kebetulan ada teman bilang kalau yang banyak melakukan diskriminasi adalah orang-orang kesehatan. Saya kaget dong, masa sih gitu? Karena penasaran nyemplunglah saya di salah satu puskesmas di daerah Tambora.

Waktu itu di situ ada program yang namanya metadon. Metadon itu substitusi dari narkoba yang sudah dilegalkan oleh pemerintah. Tujuannya untuk harm reduction ya, jadi pengurangan dampak buruk daripada penularan HIV. Karena lama di situ, saya juga melihat orang-orang yang minum metadon itu ternyata ter-detect terinfeksi.

Dengan berjalannya waktu, kita juga menemukan anak-anak yang terinfeksi HIV. Berarti kan ayahnya yang tadinya pengguna jarum suntik, bergantian jarum suntik dengan temannya yang sudah terkontaminasi HIV, akhirnya tertularlah si bapaknya ini. Bapaknya ini menularkan ke ibunya. Ibunya ini tanpa sadar menularkan juga pada anaknya. Itu anak-anak yang kita asuh sekarang.

Adakah keinginan membantu dan merawat anak-anak ini ada hubungannya dengan masa kecil Ibu?

Mungkin saya cerita sedikit tentang masa lalu saya ya. Kebetulan ayah saya mantri, bukan menteri ya, mantri. Ibu saya bidan, itu D1 dulu. Jadi mereka sehabis SMA ada sekolah lagi 1 tahun, bidan. Nah ayah saya juga seperti itu. Jadi waktu itu pemerintah membuatkan rumah untuk mereka. Ada rumah, ada rumah sakit, ada mobil, waktu saya lahir tuh. Itu mungkin sekitar tahun 60-an kan, saya lahir tahun 1964.

Terus ayah saya ngomong begini, ini kan punya pemerintah, suatu hari nanti kita pensiun, kita enggak ada lagi gini. Mendingan kita pindah ke desa, gitu kan? Jadi pindahlah ke desa, bikinlah di sana tempat rumah bersalin.

Tetapi yang lucunya, di desa itu orang-orang yang lahir di tempat ayah dan ibu saya, mereka membayar bukan pakai uang, tapi mereka membayar pakai pisang, ayam dan yang lainnya karena mereka tak punya uang.

Waktu tinggal di desa itu bisa dibilang ekonomi kita betul-betul lagi drop-dropnya. Jadi di kampung itu kita tinggal di rumah yang jauh dari penduduk yang lain. Dan untuk ke gubuk yang dibikin sama ayah saya itu harus menyeberangi sungai.

Jadi kalau kami mau pergi sekolah harus menyeberangi sungai itu. Terkadang sungai itu banjir, hujan besar gitu ya. Jadi ayah saya tuh gendong kami dari belakang, jadi pakai baju dua gitu. Satu memang sudah siap basah, terus habis gitu baru mengenakan baju sekolah, seperti itu.

Cerita ini juga disampaikan kepada anak-anak yang Ibu asuh?

Iya, saya menggambarkan sama anak-anak yang ada di yayasan kita. Saya bilang, kamu jangan berpikir kamu paling susah di dunia ini. Ibu sudah pernah melewati lebih susah dari kamu. Mereka enak di tempat kita, tidur pakai AC, minum susu tiga kali sehari, apalagi yang kecil-kecil itu ya, itu benar-benar diperhatikan banget.

Jadi anak-anak yang masuk ke tempat kita itu, anak-anak yang tadinya sudah masuk fase AIDS. Dan terus terang saya katakan lumayan cukup cape mengurus mereka. Tetapi cape saya itu hilang pada saat saya melihat mereka bertumbuh dengan sehat, terus mereka menghibur saya, kadang buat yang lucu-lucu. Bahkan ada satu anak asuh saya yang sudah di akademi keperawatan. Dia sudah semester dua, kemarin nilai IPK-nya 3,8.

tu kebahagiaan yang enggak bisa dibeli gitu loh, dan enggak bisa juga dijual. Nah itu yang saya rasakan. Jadi kenapa saya menceritakan ini? Supaya mereka juga tahu bahwa kita hidup ini bukan langsung begini saja ujug-ujug, melainkan ada prosesnya.

Latar belakang anak-anak yang sekarang Ibu asuh dari mana?

Kalau kita lihat anak-anak yang dirujuk ke kita, kalau saya katakan anak-anak yang terbuang. Tapi bagaimanapun, saya berharap anak yang dibuang ini bisa kita daur ulang menjadi sesuatu yang berharga. Jadi saya selalu menasihati pada anak-anak asuh kami itu jangan malas belajar.

Kebetulan beberapa anak asuh kami memang sudah remaja juga ya, tapi adiknya ada satu kemarin masuk baru, itu lebih mengenaskan lagi. Jadi dia sudah pergi ke beberapa rumah singgah. Kalau enggak salah ada tiga rumah singgah, terakhir di dinas sosial. Jadi enggak ada yang mau menerima dia, terus mereka datang ke tempat saya.

Jadi anak-anak yang di tempat kita itu jam 5 kita sudah bangun semua. Saya jam 4. Saya enggak bisa istilahnya mengatakan kamu harus bangun pagi, tapi saya sendiri enggak bangun pagi. Jadi saya bangun jam 4, mereka bangun jam 5.

Kemudian mereka minum 1 liter air putih. Terus yang SD kelas 1 itu setengah liter lebih, secuntang ya, enggak sampai seliter. Ada yang tiga tahun, empat tahun itu dikurangi sedikit, seperti itu. Setelah itu mereka mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.

Tujuan saya, suatu hari nanti kalau saya tidak ada, mereka sudah bisa tinggal di mana pun, mereka sudah bisa menyenangkan yang punya rumah istilahnya. Jadi ada yang menyiram bunga, ada yang ngepel, ada yang menyapu, ada yang lap-lap kaca. Itu 10 anak yang ada di rumah saya. Di luar itu, yang di Jabodetabek sama yang ada di rumah itu 149 anak.

Kita prioritas dengan anak yang di rumah. Yang di rumah ini mulai dari dia bangun dan tidur, sekolah, belajar, semuanya kita tanggung. Nah, kalau yang di luar itu ada yang kita bantu misalnya transport mau ambil ARV.

Terus sudah gitu ada lagi satu anak, dia sudah HIV, dia juga hernia, dia juga epilepsi. Umurnya sekarang 9 jalan 10. Kalau dia minum susu yang biasa, itu dia langsung ruam-ruam, perutnya kembung, muntah-muntah dan diare, gitu.

Jadi kita harus membelikan susu khusus buat dia, satu kaleng harganya Rp250.000, karena hanya itu yang cocok sama dia. Jadi mau enggak mau itu kita belikan. Dan keluarganya ini tinggal di sebuah musala di pinggiran kota, setiap bulan kita berikan sembako, kita berikan susu, seperti itu.

 

 


Tak Ada Warisan untuk Anak Sendiri

Bidan Ropina Tarigan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Anak-anak ini sebetulnya apakah Ibu cari sendiri atau memang ada yang mengantarkannya?

Mungkin dari mulut ke mulut ya. Bahkan ada satu anak kita yang dirujuk dari rumah sakit RSCM. Jadi ceritanya ini sedih juga gitu. Anak laki-laki ini dipasung sama neneknya. Umurnya sekarang 14 tahun. Nah, waktu awal saya tanyakan sama uwaknya, dia bilang anak ini bandel gini-gini jadi dipasung, gitu.

Saya berpikir seberapa bandel sih yang namanya anak-anak? Seumuran itu biasa kalau menurut saya seperti itu kelakuannya. Nah, akhirnya masuklah dia ke tempat kita. Ternyata biasa-biasa saja, enggak ada masalah tuh. Jadi semua anak yang ada di rumah kita sekolahkan. Kita sekolahkan, jadi enggak ada anak yang tinggal di rumah kita, di yayasan kita, dia enggak sekolah, enggak ada.

Jadi semuanya harus sekolah dan semua harus sudah ada ARV. Dan surat itu harus ditandatangani MoU-nya ditandatangani sama pihak keluarga. Yang jelas, anak-anak kita itu 95 persen yatim piatu. Namun masalah yang kita hadapi dari keluarga banyak juga. Kadang jiwa-jiwa pengemis itu masih ada dari keluarga-keluarga ini.

Masalah yang muncul tidak hanya dari anak-anak asuh ya, Bu?

Jadi masalah yang kami hadapi bukan hanya dari anak-anak, tapi dari paman-paman, dari bibinya itu banyak sekali. Dan untuk anak-anak sendiri bukan suatu yang mudah juga untuk mengajar mereka. Kadang-kadang sekali, dua kali, tiga kali kita kasih tahu, masih juga. Bahkan sudah kelewatan.

Kadang-kadang Bapak bilang gini, kira-kira kalau kita mengajari seseorang terus dia enggak ngerti, yang salah siapa? Katanya gitu. Terus saya pikir, iya juga ya. Jadi mau tidak mau setelah kita memberikan tugas, kita evaluasi tiap hari gitu loh. Jadi akhirnya sih kalau kita lihat ya, menyenangkan hati sih. Ada perubahan-perubahan walaupun lambat.

Tapi ya itulah yang menyenangkan kita juga, kadang-kadang mereka enggak segan-segan bicara. Ibu sudah lama enggak jalan-jalan, ayo jalan-jalan dong. Nonton ramai-ramai gitu. Kalau sebulan sekali itu pasti ada yang namanya berenang, berenang ramai-ramai kayak gitu. Itu happy mereka. Kadang-kadang sepedaan.

Jatuhnya sudah seperti orangtua kandung?

Makanya saya bilang sama anak saya, Asih dan Era, nanti suatu hari kalau Mama sudah enggak ada ya, apa yang sudah ada ini tidak Mama wariskan atau Papa wariskan buat kamu berdua. Meninggal pun Mama sama Papa, kalian itu sudah bisa berdiri di kaki kalian sendiri. Tetapi kalau adik-adik kalian ini belum bisa, saya bilang gitu.

Jadi harapan Mama, apa yang ada ini biarlah untuk yayasan, sehingga nanti suatu hari yayasan ini bisa menghidupi mereka. Mereka bisa sekolah, mereka bisa mencapai cita-cita mereka seperti itu.

Harapan saya juga ada sih. Paling enggak kalau kita ajarkan seperti ini pada anak kita, suatu hari dia nanti punya anak, dia akan ajarkan yang sama. Apa yang dia miliki, dia sumbangkan lagi sama adik-adiknya, itu harapan saya sih. Ya kita istilahnya dapat dunia dan akhirat, walaupun yang tahu itu cuma Yang Maha Kuasa ya.

Secara fisik apakah ada perbedaan antara anak-anak pengidap HIV/AIDS dengan yang tidak?

Kalau saya melihat enggak ada bedanya anak kita dengan anak-anak yang tidak HIV di luar sana. Bedanya, mereka hanya harus minum obat setiap Waktu, setiap hari. Jadi anak-anak yang ada di tempat kita itu minum obatnya itu jam 6 pagi, jam 6 sore. Kalau mereka minum obat dengan teratur, enggak ada bedanya. Sama sekali enggak ada bedanya.

Mereka juga bisa berprestasi seperti yang tadi saya katakan gitu loh. Nah, cuma awal-awalnya sedikit mental mereka itu terganggu. Apalagi kalua mereka punya pengalaman tidak menyenangkan dengan keluarganya. Tapi kalau menurut keluarganya sepertinya enggak ada yang salah. Yang salah cuma anak ini doang. Jadi mentalnya kan terganggu ya?

Nah, yang lucunya lagi, kadang-kadang nih keluarganya mengaku kangen sama sang anak, dalam hati saya gemes. Kalau kangen kenapa dulu dibuang ke sini? Jadi sama dinas yang merujuk ke kita, saya bilang tolong ngomong ini yang sakit sebenarnya anak ini apa pamannya?

Saya kalau ngomong gitu geregetan rasanya. Sudah dibuang, terus anak ini sudah gemuk, sudah sehat gitu baru ditanyakan. Kalau ingat itu rasanya geregetan banget.

Lalu saya tanya ke anaknya, kamu masih mau balik ke rumah? Enggak, aku enggak mau. Aku mau jadi bidan katanya. Ya bagus, saya gituin saja. Ya paling enggak mereka nanti yang bisa meneruskan. Kebetulan anak saya kan enggak ada yang mau meneruskan jadi bidan atau mantri. Jadi ya mungkin Tuhan punya rencana lain. Ini juga anak kamu, cuma enggak keluar dari rahim kamu.

Dan saya bilang sama anak saya gini, nanti di hari tua Mama sama Papa, biarlah Mama sama Papa di yayasan. Jadi kalau kamu kan entar pergi ke luar negeri lah, entar ada suaminya lah, ngurusin anaknya. Enggak bisa saya tergantung sama mereka kan? Tapi kalau anak-anak itu kita berangkatkan mereka sekolah, mereka pulang ke rumah, ah rasanya gimana gitu.

 


Bergerak tanpa Bantuan Dana Pemerintah

Bidan Ropina Tarigan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Untuk menjalankan Yayasan Vina Smart Era tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit. Berapa besar biaya yang harus dikeluarkan dalam sebulan dan pemasukan yayasan biasanya sumbernya dari mana?

Mungkin orang terkaget-kaget juga sih dengarnya kalau saya ngomong ya. Untuk kegiatan kita per bulan sebenarnya yang pegang keuangan ini Bapak, saya enggak terlalu. Saya globalnya saja tahunya. Jadi dia yang merinci ini-ini, segala macam. Itu kalau kita hitung-hitung sekitar Rp30 jutaan per bulan.

Tapi saya kadan-kadang suka enggak tahu dari mana saja asalnya. Jadi ada teman datang, ada saudara. Ya pokoknya kenalan-kenalan gitu. Bu Vin, saya mau kasih ini ya buat anak-anak. Saya mau kasih ini nih, saya mau kasih ini, gitu.

Jadi segala sesuatu apa yang kita perbuat jangan kita ukur, Tuhan pun enggak mengukur apa yang Dia mau berikan kepada kita, gitu. Jadi perbuatanlah yang menjadi perhiasanmu, bukan perkataan. Kalau orang sekarang kan banyak omong, cuma omongannya enggak bisa dipegang.

Jadi itulah yang selalu kami terapkan, selalu kami berusaha bagaimana caranya untuk mendapatkan sesuap nasi ya, itu kita pikirkan, tapi ada saja jalannya. Cuma ujiannya, kadang-kadang kita sudah engap, seperti ikan gitu ya sudah kehabisan air, baru ada jalan gitu. Baru Tuhan membuka keran-keran gitu.

Kalau bantuan dana dari pemerintah bagaimana?

Kalau dana dari pemerintah kita belum ada. Mungkin pemerintah lagi banyak yang diurus ya. Jadi kita selalu mengatakan apa yang kita berikan pada negeri ini, bukan apa yang negara berikan buat kita.

Harapan saya sih pada pemerintah supaya juga peduli dengan anak-anak yang seperti ini. Mungkin mereka peduli, cuma kadang-kadang kepedulian itu mungkin banyak jalan-jalan yang dilewati sehingga mungkin belum sampai kemari, gitu ya.

Ya harapannya ke depan tolonglah perhatikan karena ini juga anak bangsa yang harus kita selamatkan. Bukan berarti mereka terus terinfeksi HIV, ah sudah, bentar lagi mati. Enggak juga gitu. Ini kan tugas negara juga. Jadi harapan saya ke depan, ayo kita bergandengan tangan.

Kami kan ya istilahnya kami bekerja. Kalau bisa ada dananya kan kami bergeraknya lebih leluasa lagi. Bahkan saya pernah bercita-cita juga kalau bisa nih anak-anak nanti punya punya semacam alat band, jadi mereka bisa tampil.

Orang yang HIV bisa tampil, yang enggak HIV saja belum tentu, ya kan? Itu kan perlu. Karena saya bilang sama anak-anak asuh kami di rumah, kalian harus menunjukkan siapa sebenarnya jati diri kalian. Jangan HIV, terus kurus, mati.

Tapi dengan kalian misalnya bermain band atau kalian menari, kalian bernyanyi sesuai dengan talenta kalian masing-masing, orang yang HIV di luar sana melihat kalian di dalam TV, itu eh, kok dia bisa ya? Nah, mereka semangat. Mereka minum obat teratur. Mereka juga bisa mencontoh itu harapan saya ke depan.

Ada keinginan lainnya?

Ada cita-cita saya juga. Saya ingin di tempat kami yang di Sukabumi ada satu tempat yang bisa nanti memberikan masukan untuk Yayasan. Itu kan tanah kita masih kecil, ada rencana kita pengen beli yang tetangganya gitu loh. Nah nanti kita bikin di sana seperti kayak kolam renang, tempat-tempat wisata edukasi.

Jadi setiap orang yang masuk ke dalam wisata tersebut kita bikin suatu, semacam kayak layar besar, untuk menjelaskan bahwa HIV itu gini-gini loh. Tapi jangan lama-lama dan harus dengan Bahasa yang dimengerti. Kemudian baru mereka berenang dan menikmati wisatanya.

Nah, harapan saya nanti ke depan kita bekerja sama dengan sekolah-sekolah. Jadi di tempat itu kita siapkan satu bus deh. Jadi kita jemput ke sekolah, anterin lagi. Dengan harga yang terjangkau, misalnya cuma Rp15 ribu per anak sudah plus berenang.

 

 


Tidak Semuanyan Sesuai Harapan

Bidan Ropina Tarigan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Apa saja bentuk diskriminasi yang dialami anak-anak asuh Ibu?

Dulu-dulu awalnya mereka sebelum ke kita itu diskriminasinya kencang. Begitu ketahuan di sekolah, dikeluarkan. Tapi caranya beda. Kalau anak Ibu enggak keluar, kata kepala sekolah nih, ini anak-anak yang lain keluar. Sekolah kan kita enggak bisa salahin, ya kan?

Tetapi setelah yang seperti tadi saya contohkan ya, tiga bulan anak itu masuk terus saya datang ke sekolah, saya ngomong sama kepala sekolah. Pak, anak saya yang kemarin saya masukkan itu adalah anak yang terinfeksi HIV. Kaget banget tuh kepala sekolahnya.

Kenapa Ibu enggak kasih tahu dari awal bahwa anak Ibu itu HIV, gini-gini. Pak, sekarang sudah masuk, saya kasih tahu Bapak, Bapak masih seperti ini. Apalagi waktu pertama saya kasih tahu, pasti enggak diterima. Terus dia diam.

Terus saya bilang gini, Pak, tolong dikasih tahu sama gurunya. Karena anak saya ini akan ambil obat setiap bulan, jadi dia akan izin setiap bulan. Nanti di rumah sakit itu akan diperiksa tinggi badannya, berat badannya, segala macamnya. Baik Bu, nanti akan saya sampaikan.

Setelah disampaikan gurunya ngomong ke kepala sekolah, Bapak kayak enggak ada murid yang lain ya Pak? Anak yang HIV saja diterima. Wah, telepon saya lagi, Bu Vina ini gimana? Guru saya begini-begini. Pak, kumpulkan saja guru-gurunya, jangan ada satu pun yang luput ya Pak. Dikumpulkanlah sama dia dan saya sampaikan. Sudah selesai, sudah enggak ada masalah.

Eh enggak lama kedengeran sama orangtua murid. Bu, orangtua murid saya begini. Pak sama, kumpulkan saja Pak. Saya bilang gitu saja, dan lagi-lagi saya bicara dan anak itu sekolah sampai lulus.

Apakah setelah lulus mereka masih bersama Ibu?

Ini yang bikin saya paling sedih lagi, anak-anak ini lulus SMA kadang-kadang diminta lagi sama neneknya. Saya mau cerita satu anak. Jadi dia untuk lulus SMA pun kita berjuangnya setengah mati. Dia mungkin pengen, ya karena itu mungkin dilihat di TV kehidupan yang yang glamour, dia kemudian menjual dirinya.

Pasti pertanyaannya, dari mana Ibu tahunya? Jadi pas lagi ujian, kita kan selalu kerja sama sama kepala sekolah dengan yayasan. Ibu Vina, ini anaknya enggak masuk ini, padahal lagi ujian. Saya telepon neneknya dan dibilang sudah pulang dari hari Minggu.

Kalau dulu, pokoknya sebelum 2015 anak-anak itu datang ke kita hari Minggu sore, pulangnya hari Jumat sore. Karena Sabtu-Minggu kan libur. Kenapa balik Minggu? Karena hari Senin sekolah, kayak gitu. Nah, dia bilang sudah pulang dari hari Minggu, tapi enggak sekolah. Terus saya bilang ke kepala sekolah untuk mengabari kalau anaknya masuk sekolah.

Saya juga berpesan untuk mengambil HP-nya, saya bilang sama guru BP-nya gitu. Hari ketiga dia masuk, dia ikut ujian. Saya panggil adik saya ada yang polisi. Maksud saya buat nakutin gitu, supaya jangan kayak gitulah sekolah, bayar uang sekolah itu kan mahal, Rp500 ribu sampai berapa gitu per bulan waktu itu.

Akhirnya adik saya datang, saya sama Bapak juga datang ke sekolah. Ternyata di dalam HP-nya itu ditulis di situ semua. Mulai tawar-menawar, dengan si Om pengen yang virgin. Dari mulai Rp800.000 sampai Rp250.000 dia menjual dirinya.

Bagaimana penularannya? Kalau mereka pulang ke rumah neneknya saya kan enggak melihat mata kepala saya sendiri. Obatnya dimakan apa enggak? Dengan tidak makan obat, otomatis virusnya akan banyak. Penularannya akan tinggi. Akhirnya dia dinasihati jangan begitu lagi. Akhirnya dia bisa lulus.

Setelah lulus sekolah, terus neneknya bilang cucunya akan dibawa pulang. Oke enggak apa-apa. Akhirnya dia kerja di salah satu bank. Bangga dong saya, bangga banget. Senang saya ngomong sama orang dia sekarang gini-gini.

Akhirnya dia enggak tahu pacaran-pacaran, bulan Desember kemarin hamil 6 bulan dia telepon, Bu Vina aku mau married. Nangis. Tapi kata dia, Nenek kasih tahu status aku sama calon suami aku, gini-gini, gimana? Padahal besok sudah mau menikah. Gila enggak, last minute baru ngomong. Haduh, saya langsung telepon neneknya.

Kenapa nenek lakukan itu? Kan kasihan nanti kalau orang itu tertular. Kan saya sudah pernah bilang, jangan nenek yang ngomong. Saya yang ngomong, karena saya tahu selahnya, cara berbicaranya, anak ini korban. Cucu nenek ini korban. Jadi saya yang nanti ngomong sama calon suaminya, saya bilang gitu.

Akhirnya saya telepon calon suaminya. Saya bilang, kamu enggak usah takut. Yang penting sekarang kamu pakai casing, pakai kondom saya bilang, supaya kamu jangan tertular. Tapi saya juga berpikir jangan-jangan ini sudah telat, mungkin sudah beberapa kali mereka berhubungan, ya kan?

Tapi ya paling enggak adalah masukan buat dia supaya dia mengerti, seperti itu. Saya tanya lagi ke anaknya, kamu sudah berapa lama enggak minum obat? Sudah lama, jawabnya. Coba bayangkan penularannya seperti lingkaran setan. Sudah pasti lelaki ini rasa saya sih kemungkinan sudah terinfeksi.

Itu Desember dia married. Kira-kira sebulan yang lalu apa dua bulan yang lalu saya kurang ingat persis, tiba-tiba neneknya telepon. Bu, si anu sudah melahirkan di rumah, yang menolong bidan. Saya sudah bingung, saya bergerak mau gimana lagi gitu.

Terus saya tanya kondisinya gimana sekarang, dijawab batuk-batuk, sesak napas. Saya bilang, sekarang bawa ke rumah sakit, sekarang! Jangan sampai nanti menyesal! Dianggap remeh atau ya mungkin keuangan jugalah. Saya kebetulan memang sudah di PP IBI kan, sudah mulai agak sibuklah. Dibawalah ke rumah sakit, kira-kira di jalan meninggal emaknya. Anaknya lahir 1,5 kg.

Terus saya bilang, ya saya sudah malas juga, saya mau datang saja dalam hati saya sudah menangis. Di dalam hati saja sudah. Kayaknya air mata tuh sudah kering gitu. Nah, saya bilang ini si kecil harus dibawa ke rumah sakit.

Lantas bagaimana kondisi si anak sekarang?

Tapi untungnya si anak masih selamat sampai hari ini. Kemarin terakhir timbangannya 1,9 kg. Ya lumayan lah berapa ons naiknya, 4 ons ya? Nah, seperti itu. Itu perih lho. Kita menyekolahkan itu bukan suatu yang mudah, tetapi sepertinya ya perasaan kita, apa yang saya usahakan sia-sia.

Tapi suami tuh selalu bilang, kamu jangan berpikir segala sesuatu sia-sia. Apa yang sudah kita lakukan itu semua ada catatannya. Jadi saya berpikir, oh iya juga ya gitu. Tapi ada rasa sedih gitu, kenapa ya gitu. Kok sampai kayak gini. Jadi kalau anak-anak yang keluar dari tempat kita enggak lama biasanya. Setahun, dua tahun, tiga tahun, lewat.

Tapi ya mudah-mudahan yang ada sekarang ini full time ya, 24 jam mereka di sini, enggak pulang-pulang lah. Karena kasus-kasus yang itu menjadi pelajaran juga buat kita, karena kita enggak punya tempat belajar, belum ada kan tempat kita belajar. Kita belajar sendiri seperti itu.

 

 


Dukungan Penuh dari Keluarga

Bidan Ropina Tarigan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Dengan semua kesibukan mengurus lebih dari seratus anak-anak dengan segala tingkahnya, apakah Ibu masih merasakan kebahagiaan?

Saya kalau melihat mereka itu bertumbuh dengan baik, sehat, terus melihat mereka itu rasanya seperti gimana ya? Bahagia saja gitu. Jadi hilang juga capeknya. Kita kan harus cari uang, cari apa, cari-cari gitu ya. Tapi begitu melihat mereka, saya pulang itu, Ibu! Ibu pulang, gitu.

Itu tadi yang saya bilang sesuatu kebahagiaan yang enggak bisa dijual dan enggak bisa juga dibeli, gitu. Itu sih kebahagiaannya.

Kemudian bagaimana tanggapan suami dan anak Ibu ketika memutuskan untuk mengasuh adik-adik kita ini, apakah mereka langsung mendukung?

Saya juga dulu awalnya gini, HIV itu kan yang dibuat sendiri, penyakit yang dibuat sendiri. Saya berpikir gitu, awalnya. Ngapain gitu ya. Tapi hati ini karena sudah tergerak rasanya gimana sih ya, jadi enggak ngerti deh saya juga.

Nah, dulu Bapak juga awal-awalnya, Mam ngapain sih? Itu kan berbahaya, gitu kan. Asih sama Era ngomongnya gini, Mama bisa ngurusin anak orang sampai malam anak sendiri enggak keurus gitu. Jadi saya berpikir, apa yang harus saya lakukan ya supaya saya jangan dapat tekanan gitu.

Jadi kalau hari Sabtu-Minggu kami jalan-jalan gitu ya. Sisa-sisa waktu saya bilang, eh Dek, Bang, Pi kita ke tempat anak asuh Mama yuk, gitu kan. Datang sekali, dua kali, tiga kali. Lama-lama saya bilang, Dek, kita kadang-kadang ada bubur, kita bawa makanan-makanan. Kadang-kadang saya suapin.

Itu yang namanya anak-anak kan jorok ya, ingusnya meler-meler, itu beda banget dengan anak kita yang di rumah sekarang ya. Tapi lama-lama Asih bilang kasihan banget ya Ma. Terus Ketika saya lagi ke toilet dia yang suapin adik-adik itu.

Dia juga ngomong sendiri di mobil gitu pas kita pulang. Kasihan ya Ma, sudah enggak punya Mama, kasihan banget tuh, dimandikan juga enggak, mana cuma pakai kolor, terus di luar tidur di emperan-emperan, susunya dikerubungi sama lalat, sampai gitu.

Nah, suatu hari ada satu orang nenek bilang, Bidan Vina, kalau saya nanti kenapa-kenapa, saya titip anak-anak ya. Itu kan tekanan buat saya, saya bilang, Pi tadi ada yang ngomong seperti ini, gini-gini, saya ceritakan. Gimana ya kalau rumah kita dijadikan yayasan.

Satu kali, dua kali, lama-lama saya selalu bawa dalam doa juga ya. Lama-lama mereka setuju. Jadi sekarang justru mereka yang ada di belakang saya, enggak tahu saya jadi apa kalau mereka enggak mendukung. Bahkan, anak kandung saya menyisihkan penghasilan setiap bulannya, ini buat adik-adik ya Ma.

Jadi ada support system ya?

Iya, sama teman-teman dekat juga. Apalagi sekarang. Saya di Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia itu tambah banyak kan temannya. Jadi susu-susu dikirimkan sama tema-teman yang dari semua pelosok gitu. Jadi ya itulah hikmahnya. Tanpa doa-doa mereka, saya rasa saya bukan siapa-siapa gitu.

Apakah Ibu masih punya waktu kosong untuk diri sendiri? Kalau ada Ibu ngapain aja?

Kayaknya enggak ada waktu kosong deh. Nah, anak saya Era itu yang gede dia punya kelompok. Kelompoknya yang gede-gede, yang kayak yang udah Akper gitu. Yang calon-calon nanti mau masuk akademi kebidanan, yang gede-gede Era. Nah yang kecil-kecil ini Asih.

Jadi kan peer group itu sepertinya kalau saya liat jauh lebih efektif dibandingkan emak-emak yang bawel ya, yang bapak-bapak yang bawel gitu. Kalau mereka enggak, mereka memberikan sesuatu dengan cara bermain gitu.

Jadi kalau ada orang yang tanya sama anak-anak yang di rumah saya, sebenarnya di yayasan itu paling enak ngapain? Jawabnya waktu ngobrol dan berdiskusi sama Bang Era dan Kak Asih. Bu Vina enggak kepakai karena bawel.

Jadi kalau Asih pulang dari mana-mana, ini buat adik-adik, ini buat ini, selalu itu. Enggak ketinggalan sama abangnya juga kayak gitu. Jadi sudah kayak keluarga yang memang satu gitu.

 

 

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya