6 Fakta Aturan Baru Tapera yang Kini Jadi Sorotan

Berikut sejumlah fakta mengenai revisi aturan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024.

oleh Agustina MelaniDelvira HutabaratTira SantiaNatasha Khairunisa Amani diperbarui 29 Mei 2024, 20:21 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) teken revisi aturan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang merupakan perubahan dari PP 25/2000. (Foto: Dok Kementerian PUPR)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) teken revisi aturan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang merupakan perubahan dari PP 25/2000. Revisi aturan tersebut menuai perhatian bahkan pengusaha dan buruh menolak hal itu karena menjadi beban baru.

Mengutip Antara, Rabu (29/5/2024), klasifikasi kelompok yang wajib mengikuti program Tapera itu antara lain Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, Polri, pekerja BUMN/BUMD, dan pekerja swasta.

Pada aturan Tapera disebutkan pemberi kerja wajib membayar simpanan peserta yang menjadi kewajiban-nya dan memungut simpanan peserta dari pekerja. Besaran iuran itu ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk Peserta Pekerja dan penghasilan untuk Peserta Pekerja Mandiri.

Untuk peserta pekerja ditanggung bersama antara perusahaan dengan karyawan masing-masing sebesar 0,5 persen dan 2,5 persen. Sedangkan peserta pekerja mandiri menanggung simpanan secara keseluruhan.

Dana yang dihimpun dari peserta akan dikelola oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) sebagai simpanan yang akan dikembalikan kepada peserta.

Peserta yang termasuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) mendapatkan manfaat berupa Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR), dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.

Seiring revisi aturan Tapera yang tertuang dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 itu, sejumlah pihak menolak termasuk pengusaha dan buruh. Hal itu mengingat iuran Tapera menambah beban baru.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendukung kesejahteraan pekerja dengan ketersediaan rumah. Namun, PP Nomor 21/2024 dinilai duplikasi dengan program sebelumnya, yakni Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek.

Berikut fakta-fakta terbaru mengenai revisi aturan Tapera yang menuai perhatian publik yang dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (29/5/2024):


1.Menko Airlangga Minta Sri Mulyani dan Basuki Hadimuljono Sosialisasi

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, di kantor Kementerian Perekonomian, di Jakarta, Rabu (29/5/2024). Menko Airlangga bercerita mengenai tambahan PSN baru salah satunya BSD. (Tira/Liputan6.com)

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga  Hartarto mengatakan, Pemerintah perlu mengkaji secara mendalam manfaat dari peraturan penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bagi pekerja.

"Tapera perlu dilihat mungkin benefitnya dan tentu dikaji manfaat apa yang bisa diperoleh oleh para pekerja terkait perolehan perumahan maupun untuk renovasi perumahan," kata Menko Airlangga, saat ditemui di kantor Kementerian Perekonomian, di Jakarta, Rabu, 29 Mei 2024.

Dia menuturkan, Pemerintah melalui Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan harus gencar melakukan sosialisasi terkait kebijakan baru tersebut.

"Itu musti didalami lagi dengan sosialisasi oleh Kementerian PUPR maupun Kementerian Keuangan," ujar kata dia.

Terkait penetapan iuran, Airlangga mengatakan, pihaknya akan melakukan pengecekan lebih lanjut mengenai aturan itu. “Nanti kami lihat,” ujar Airlangga, Rabu, 29 Mei 2024.


2.Jusuf Kalla Minta Pengelolaan Dana Tapera Transparan dan Jujur

Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla. (Liputan6.com/Ady Anugrahai).

Mengutip Kanal News Liputan6.com, Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan pemerintah agar pengelolaan Tapera harus baik, jujur, dan transparan.

“Iya (transparan),” ujar JK, di sela acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia, Sungailiat, Bangka, Bangka Belitung, Rabu, 29 Mei 2024.

Ia menilai, Tapera bukan hal yang baru dan bertujuan baik sehingga setiap masyarakat punya rumah. "Itu bukan hal yang baru. Tapera itu sudah lama sebenarnya yang mungkin dihidupkan lagi, di bawah terutama di pegawai yang masih baru, mungkin masih kontrakan. Dia menabung untuk bermaksud setiap orang punya rumah. Itu semacam asuransi, tabungan," kata JK.

JK menuturkan, Tapera adalah bentuk kebersamaan pemerintah dan warga untuk membeli rumah murah.

"Iya kalau tidak tentu tidak punya kesempatan untuk membeli rumah harga murah. Ini kan kebersamaan, pemerintah memberikan lahannya. Saya kira ini kesempatan siapapun. Walaupun punya rumah ya, ambil cashnya saja kembali," pungkasnya.


3.DPR: Pekerja Makin Terhimpit

Suasana perumahan subsidi di kawasan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (16/6/2021). Bantuan pembiayaan perumahan subsidi sebagai upaya memenuhi kebutuhan hunian layak terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

DPR juga angkat bicara mengenai revisi aturan Tapera tersebut.  Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Edy Wuryanto menuturkan, berbagai kekhawatiran yang dilontarkan masyarakat ini merupakan hal yang wajar, karena berkaitan dengan pemotongan gaji pegawai untuk iuran Tapera di saat kebutuhan hidup makin menghimpit.

“Pekerja dan pengusaha wajib ikut Tapera, namun pekerja tidak otomatis mendapat manfaat Tapera,” ujar Edy dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 29 Mei 2024.

Hal ini mengacu pada Pasal 38 ayat 1b dan 1c yang menyebut syarat pekerja yang akan mendapatkan manfaat adalah yang termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah.

Kemudian pada Pasal 39 ayat 2c yang menyatakan pemberian manfaat berdasarkan tingkat kemendesakan kepemilikan rumah yang dinilai oleh BP Tapera.

"Ini artinya BP Tapera akan menentukan juga akses ke manfaat Tapera yang berupa KPR, pembangunan rumah, atau renovasi rumah," ujarnya.

Melihat ini, dia menilai, Tapera berbeda dengan BPJS yang mengutamakan asas gotong royong dan dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh pesertanya.

Politikus PDI Perjuangan ini juga melihat dana yang dikumpulkan di Tapera tidak mendapatkan kepastian timbal hasil. Edy pun membandingkan dengan Jaminan Hari Tua (JHT) pada BPJS Ketenagakerjaan yang imbal hasilnya minimal dengan rata-rata suku bunga deposito di bank pemerintah. Bahkan selama ini rata-rata imbal hasil yang dikembalikan pada peserta JHT di atas rata-rata suku bunga bank.

“Saat ini sudah ada fasilitas di BPJS Ketenagakerjaan yang memberikan manfaat yang sama dengan UU Tapera. Ada program namanya Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan program JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan,” kata Edy.


4.Pengusaha Tolak Pemotongan Gaji 3% untuk Simpanan Tapera

Maket perumahan yang ditawarkan saat pameran properti di Jakarta, Kamis (21/11/2019). Uang muka yang semula minimal lima persen menjadi satu persen melalui program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menolak tegas diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mel 2024. Peraturan ini mewajibkan potongan gaji bagi para pekerja sebesar 3 persen.

Mengutip keterangan resmi APINDO, pihaknya telah melakukan sejumiah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera. Sejalan dengan APINDO, Serikat Buruh/Pekerja juga menolak pemberlakukan program Tapera. Program Tapera dinilal memberatkan beban luran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja/buruh.

Di sisi lain APINDO pada dasarnya mendukung kesejahteraan pekerja dengan adanya ketersediaan perumahan bagi pekerja. Namun, PP No.21/2024 dinilai duplikasi dengan program sebelumnya, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek.

Tambahan beban bagi Pekerja (2,5%) dan Pemberi Kerja (0,5%) dari gaji yang tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan.

APINDO berharap Pemerintah dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan, di mana sesuai PP maksimal 30 % ( Rp138 triliun), maka aset JHT sebesar Rp 460 Triliun dapat di gunakan untuk program MLT perumahan Pekerja. Dana MLT yang tersedia sangat besar dan sangat sedikit pemanfaatannya.

Selain itu, APINDO menilal aturan Tapera terbaru dinilai semakin menambah beban baru, baik pemberi kerja maupun pekerja.


5. Beban Pungutan yang Sudah Ada

Ilustrasi Gaji

Saat ini, beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja sebesar 18,24% - 19,74% dari penghasilan pekerja dengan rincian:

- Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (berdasarkan UU No. 3/1999 Jamsostek); Jaminan Hari Tua 3,7%; Jaminan Kematian 0,3%; Jaminan Kecelakaan Kerja 0,24-1,74%; dan Jaminan Pensiun 2%;

- Jaminan Sosial Kesehatan (berdasarkan UU No.40/2004 SJSN): Jaminan Kesehatan 4%.

- Cadangan Pesangon (berdasarkan UU No. 13/2003 'Ketenagakerjaan') sesuai dengan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 24/2004 berdasarkan perhitungan aktuaria sekitar 8%.

Namun, menurut APINDO beban ini semakin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar.

Oleh karena itu, APINDO terus mendorong penambahan manfaat program MLT BPJS Ketenagakerjaan, sehingga pekerja swasta tidak perlu mengikuti program Tapera dan Tapera sebaiknya diperuntukkan bagi ASN, TNI, Polri.


6.Buruh Minta Iuran Tapera 3% Dibatalkan

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) siap melaksanakan program peningkatan kualitas rumah tidak layak huni menjadi layak huni di Jawa Barat, untuk 16.824 rumah tak layak huni milik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). (Dok. Kementerian PUPR)

Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menanggapi penerbitan PP Nomor 21/2024 mengenai iuran tapera sebesar 3 persen per bulan.

Dalam tanggapannya, Ketua Umum Konfederasi KASBI, Sunarno meminta pembatalan PP 21/2024 tersebut.

Sunarno menuturkan, unsur serikat buruh yang mewakili buruh tidak pernah diajak untuk berdialog atau diskusi untuk membahas aturan tersebut. Sunarno menilai, prinsip hak berdemokrasi dan musyawarah tidak dilakukan sebelum penerbitan PP Nomor 21 Tahun 2024.

“Bahwa kaum Buruh sudah bekerja keras dan membayar pajak Negara, maka buat konsep kenaikan upah buruh Indonesia secara layak dan adil agar hidup buruh bermartabat dan mampu mencukupi kebutuhan dasar : makanan bergizi, pakaian baik, tempat tinggal layak dan nyaman, kesehatan terjamin, pendidikan berkwalitas, transportasi dan informasi memadai dan modern,” tutur Sunarno dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Selasa, 28 Mei 2024.

Buruh Sudah Sulit

Sunarno mengatakan, pada PP Nomor 21 Tahun 2024 belum mencakup pemahaman tentang kesulitan yang dihadapi komunitas buruh selama ini.

Isu-isu itu mulai dari upah rendah, status kerja rentan dan mudah di PHK, pemberangusan serikat buruh, maraknya sistem kerja outsourcing, K3 buruk, hingga pelanggaran hak-hak normatif.

“Potongan-potongan gaji buruh saat ini sudah sangat besar, tidak sebanding dengan besaran kenaikan upah buruh yang sangat kecil,” kata dia.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya