Jubir Kemlu RI Ungkap Alasan Palestina Tak Kunjung Jadi Anggota Penuh PBB

Palestina berstatus negara pengamat non-anggota sejak tahun 2012.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 30 Mei 2024, 07:00 WIB
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Lalu Muhamad Iqbal dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (29/5/2024). (Liputan6/Benedikta Miranti)

Liputan6.com, Jakarta - Hambatan utama dalam proses keanggotaan penuh Palestina di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah sulitnya mendapat dukungan penuh dari seluruh anggota Dewan Keamanan (DK) PBB. Demikian diungkapkan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) Lalu Muhamad Iqbal.

"Di dalam Sidang Majelis Umum (SMU) PBB, resolusinya didukung oleh mayoritas negara anggota. Namun, untuk bisa disetujui atau ditetapkan, atau bisa diterima sebagai anggota penuh PBB, diperlukan persetujuan Dewan Keamanan. Kita tahu problemnya justru di Dewan Keamanan," kata Iqbal dalam konferensi pers, Rabu (29/5/2024).

Menurut Iqbal, akan sulit untuk mendapat dukungan penuh dari seluruh anggota DK PBB lantaran masih ada negara-negara yang tidak setuju dalam status pengakuan penuh terhadap Palestina.

"Jadi problem ini akan terus berlanjut, karena keputusan itu pada akhirnya harus mendapatkan approval dari Dewan Keamanan PBB," ungkapnya.

"Inilah yang masih menjadi ganjalan dan hambatan bagi pengakuan keanggotaan penuh Palestina di PBB."

Palestina berstatus negara pengamat non-anggota sejak tahun 2012, yang hanya memberinya beberapa hak kurang dari anggota penuh. 

Pemungutan suara pada Jumat (10/5/2024) dapat dilihat sebagai bentuk dukungan yang meluas terhadap Palestina. Sebanyak 146 negara mendukung keanggotan penuh Palestina, 25 abstain, sementara sembilan negara lainnya menolak, termasuk Amerika Serikat (AS). 


Masalah Pengakuan Negara Palestina

Bendera Palestina pada aksi bela Palestina di London, Sabtu (13/1/2024). Aksi ini diikuti para generasi muda hingga tua. Dok: Tommy K/Liputan6.com

Masalah kenegaraan Palestina telah membuat jengkel komunitas internasional selama beberapa dekade.

Pada tahun 1988, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang merupakan perwakilan utama Palestina, pertama kali mendeklarasikan berdirinya Negara Palestina.

Menurut kantor berita Reuters, status Negara Palestina diakui oleh 139 dari 193 negara anggota PBB – meskipun hal ini sebagian besar dianggap hanya simbolis.

Palestina mempunyai pemerintahan sendiri, yakni Otoritas Palestina yang memerintah secara terbatas di beberapa bagian Tepi Barat yang diduduki Israel.

Otoritas Palestina kehilangan kendali atas Jalur Gaza ke tangan Hamas pada tahun 2007. PBB menganggap, baik Tepi Barat maupun Jalur Gaza, diduduki oleh Israel dan merupakan satu kesatuan politik.


Sikap AS Selaku Sekutu Utama Israel

Presiden Amerika Serikat Joe Biden disambut Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di Bandara Internasional Ben Gurion, Tel Aviv, Israel, pada 18 Oktober 2023. (Dok. Evan Vucci/AP)

Israel tidak mengakui Negara Palestina. Tidak hanya itu, pemerintah Israel saat ini menentang pembentukan Negara Palestina, yang mencakup Tepi Barat dan Jalur Gaza. Mereka berpendapat bahwa negara seperti itu akan menjadi ancaman bagi keberadaan Israel.

AS sendiri mengaku mendukung pembentukan Negara Palestina merdeka yang hidup berdampingan bersama Israel atau yang dikenal sebagai solusi dua negara. Namun, AS mengatakan solusi itu hanya boleh dicapai melalui perundingan langsung antara kedua belah pihak.

Bulan lalu, AS menggunakan hak vetonya sebagai salah satu dari lima anggota tetap DK PBB untuk memblokir resolusi Aljazair yang didukung luas yang meminta pengakuan Palestina sebagai sebuah negara. Mereka menyebutnya resolusi yang prematur.

Resolusi DK PBB mengikat secara hukum, sedangkan resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat.

Infografis Menlu Retno Desak 3 Tuntutan Dukung Palestina di DK PBB. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya