Liputan6.com, Jakarta - Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak tepat diterapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini.
"Kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera. Karena membebani buruh dan rakyat," kata Presiden Partai Buruh yang juga Persiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (30/5/2024).
Advertisement
Padahal, kata Said pemerintah harusnya bisa memberikan jaminan sosial kepada buruh dan rakyat untuk mendapatkan rumah yang layak melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Menurut Said, selain membebankan buruh dan rakyat, ada beberapa alasan mengapa program Tapera belum tepat dijalankan saat ini.
Alasan pertama, Partai Buruh menyoroti belum adanya kejelasan terkait dengan program Tapera. Terutama, tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera.
Menurut Partai Buruh, jika program ini dipaksakan, bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.
"Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK," jelas Said.
Said menyampaikan, saat ini upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan, maka iurannya adalah sekitar 105.000 per bulan atau Rp. 1.260.000 per tahun.
Dia bilang karena Tapera merupakan Tabungan sosial, dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul baru sebesar Rp12,6 juta-Rp25,2 juta
"Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga 12,6 juta atau 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan?," ujarnya.
Said mengungkapkan, sekali pun uang tersebut ditambah dengan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera, uang yang terkumpul juga tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah.
"Jadi dengan iuran 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah," terang dia.
Beban Semakin Berat
Alasan kedua, Said menyebut dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30 persen.
Hal ini, kata dia akibat upah buruh yang tidak naik hampir 3 tahun berturut-turut. Dia berujar, bila upah buruh dipotong lagi 3 persen untuk Tapera, beban hidup buruh akan semakin berat.
Alasan ketiga, Said mengutip UUD 1945 bahwa dijelaskan tanggung jawab menyiapkan dan menyediakan rumah yang murah untuk rakyat, sebagaimana program jaminan kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah.
Sayangnya, ujar Said dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali. Pemerintah, kata Said hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh.
"Hal ini tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat. Bukan malah buruh disuruh bayar 2,5 persen dan pengusaha membayar 0,5 persen," kata Said.
Alasan keempat, Partai Buruh juga memandang program Tapera terkesan dipaksakan untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum.
Oleh sebab itu, Said mewanti-wanti pemerintah jangan sampai Tapera menjadi lahan korupsi baru bagi oknum pejabat, sebagaimana yang terjadi di ASABRI dan TASPEN.
"Dengan demikian, Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera," tutur dia.
Advertisement
Ketua MPR Minta Tapera Ditunda Dulu: Sosialisasi yang Lebih Masif
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) ingin agar pemerintah menunda dulu soal Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
"Saran saya supaya tidak jadi pro-kontra dihold dulu, sambil dilakukan sosialisasi baru kemudian dilakukan kembali," kata Bamsoet kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Menurutnya, dengan menunda Tapera tersebut agar untuk dilakukan pengkajian kembali ditengah-tengah turunnya daya beli masyarakat.
"Rakyat butuh sekali dana untuk kebutuhan real ya, jadi jika dipotong itu akan mengurangi kebutuhan rillilnya, sementara dia tidak tahu apa manfaat dari pemotongan itu dalam jangka pendek," ujarnya.
"Jadi sekali lagi pertama sosialiasi yang lebih masif, agar rakyat paham bahwa yang dipotong itu untuk dia dalam jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan papannya," sambungnya.
Politikus Golkar ini pun meminta agar pemerintah melakukan pengkajian kembali dengan melihat kemampuan daya beli masyarakat.
"Sebetulnya menurut saya ini perlu dilakukan kaji, dikaji kembali, karena dibutuhkan sekarang adalah upaya meningkatkan kemapuan daya beli, meningkatkan pendapatan masyarakat setiap rumah tangga bukan malah kemudian dipotong. Sehingga kemampuan mewujudkan kebutuhan riilnya menjadi hilang sebagian," ungkapnya.
"Karena apa? karena dia tidak tahu akan manfaat jadi apa uangnya yang dipotongnya itu, dan kapan diwujudjannya sehingga kebutuhan riilnya setiap hari mereka butuhkan," sambungnya.
Selain itu, Bamsoet menyebut, masih ada 15 persen yang masih belum memiliki rumah sendiri. Hal itu lah yang kemudian pemerintah membuat program pengadaan satu juta rumah.
"Tapi memang antara cita-cita dan realita selalu ada gap, apalagi sekarang timbul pro-kontra soal Tapera," pungkasnya.