Liputan6.com, Jakarta - Revisi Peraturan Pemerintah mengenai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) memancing berbagai reaksi dari sejumlah pihak. Pasalnya sasaran peserta Tapera kini tak lagi hanya aparatur sipil negara (ASN), tapi juga pekerja swasta hingga mandiri.
Tak sedikit buruh maupun pemberi kerja mengaku keberatan terhadap kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 ini. Sebelum Tapera, para pekerja telah dikenai beban potongan gaji mulai dari Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21), BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan lainnya.
Advertisement
Menanggapi kegaduhan ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sempat meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Keuangan agar lebih gencar melakukan sosialisasi terhadap kebijakan baru itu.
"Itu musti didalami lagi dengan sosialisasi oleh Kementerian PUPR maupun Kementerian Keuangan," ujar Menko Airlangga pada Rabu, 29 Mei 2024.
Adapun jika merujuk PP Nomor 21 Tahun 2024, menteri yang punya wewenang dalam pengurusan Tapera tidak hanya dua itu saja.
Mengutip Pasal 15 ayat (1) PP 21/2024, Kamis (30/5/2024), besaran simpanan peserta Tapera ditetapkan sebesar 3 persen, dengan tanggungan pemberi kerja 0,5 persen dan pekerja 2,5 persen.
Pasal 15 ayat (4) menulis, dasar perhitungan untuk menentukan besaran kalian simpanan peserta diatur oleh beberapa menteri berbeda, tergantung klasifikasi pekerja.
Menteri yang Bertanggungjawab
"Pekerja yang menerima Gaji atau Upah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (ASN dan PNS) diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan (Menteri Keuangan) dengan berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara (Menteri PANRB)," tulis PP 21/2024 Pasal 15 ayat (4a).
Sementara untuk karyawan BUMN, BUMD, badan usaha milik desa, hingga pekerja swasta diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan (Menteri Ketenagakerjaan).
Di sisi lain, para pekerja mandiri yang tidak terikat dengan suatu instansi/perusahaan semisal wirausahawan akan diatur langsung oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera).
"Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, dan Komisioner BP Tapera dalam mengatur dasar perhitungan untuk menentukan perkalian besaran Simpanan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman (Menteri PUPR)," tulis Pasal 15 ayat (5).
KSPI Minta Program Tapera Dikaji Ulang, Ini Alasannya
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan revisi aturan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Mei 2024 membuat beban buruh semakin berat.
Said menuturkan, program Tapera merugikan pekerja karena memotong gaji karyawan sebesar 2,5 persen per bulan dan untuk perusahaan 0,05 persen per bulan.
"Bila dipotong lagi 3 persen untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah," kata Said Iqbal dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (29/5).
Said menuturkan, saat ini upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan maka iurannya adalah sekitar Rp 105.000 per bulan atau Rp 1.260.000 per tahun.
Dia prediksi, uang yang terkumpul berkisar Rp 12.600.000-Rp 25.200.000 dalam jangka waktu 10 tahun-20 tahun ke depan. Sehingga, masih besar dana yang dibutuhkan pekerja untuk memiliki rumah saat memasuki masa pensiun.
"Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK," tegasnya.
Advertisement
Dipaksakan
Said menilai, program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum. Dengan demikian, Tapera kurang tepat dijalankan sebelum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera.
"Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di ASABRI dan Taspen," ujar dia.
Untuk itu, Said meminta program Tapera tidak dijalankan sekarang. Dia beralasan perlu kajian ulang dan pengawasan terhindarnya korupsi hingga program ini siap dijalankan dengan tidak memberatkan buruh, PNS, TNI, Polri dan peserta Tapera.
"Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera," kata dia.