Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah tengah mengembangkan bahan bakar nabati seperti biodiesel dan bioetanol. Langkah ini dilakukan karena sumber daya untuk mengembangkan bahan bakar nabati melimpah. Bahkan nilai ekonomi dari pengembangan bahan bakar nabati tersebut sangat besar.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN sektorenergi bisa meraih keuntungan hingga Rp 12 triliun dengan menjual dan ekspor bahan bakar aviasi ramah lingkungan atau sustainable aviation fuel (SAF).
Advertisement
“Diestimasikan bahwa penjualan SAF secara domestik dan ekspor dapat menciptakan keuntungan lebih dari Rp 12 triliun per tahun,” ujar Luhut, sebagaimana dikutip melalui akun instagram resminya, @luhut.pandjaitan, dikutip Kamis (30/5/2024).
Angka tersebut diperoleh dengan menghitung nilai ekonomi melalui kapasitas produksi kilang-kilang biofuel Pertamina. Pertamina sebagai pemimpin di bidang transisi energi sudah melakukan uji coba statis yang sukses dari SAF untuk digunakan pada mesin jet CFM56-7B.
“Hal ini membuktikan bahwa produk mereka layak digunakan pada pesawat komersil,” kata Luhut.
Selain itu, katanya, pengembangan industri SAF juga akan menjadi pintu masuk investasi kilang biofuel lebih lanjut dari swasta maupun BUMN.
Mengutip data International Air Transport Association (IATA), Luhut mengatakan bahwa Indonesia diprediksi akan menjadi pasar aviasi terbesar keempat di dunia dalam beberapa dekade ke depan. Dengan asumsi kebutuhan bahan bakar itu mencapai 7.500 ton liter hingga 2030.
Prediksi tersebut lantas menjadi landasan bagi Luhut untuk memimpin Rapat Rancangan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Pengembangan Industri Sustainable Aviation Fuel (SAF) di Indonesia.
Masalah Emisi Karbon
Luhut menyadari bahwa seiring meningkatnya aktivitas penerbangan, emisi karbon yang dihasilkan juga akan terus bertambah. Oleh karena itu, intervensi untuk mengurangi emisi karbon menjadi penting.
“Dari berbagai data dan kajian, bisa saya simpulkan bahwa SAF adalah solusi paling efektif untuk mewujudkan masa depan penerbangan yang ramah lingkungan di Indonesia,” kata dia.
Karena itu, lanjutnya, upaya menciptakan bahan bakar aviasi ramah lingkungan (SAF) ini bukan hanya menjadi inovasi semata, melainkan suatu komitmen dalam upaya mengurangi emisi karbon global.
“Saya menargetkan setelah keluarnya peraturan presiden, SAF dapat kami launching payung hukumnya selambatnya pada Bali International Airshow 2024, September mendatang,” kata Luhut.
Pemerintah Kembangkan Bahan Bakar Pesawat dari Buah Kelapa
Sebelumnya, pemerintah terus mengembangkan energi baru terbarukan di Indonesia termasuk di dalamnya adalah dengan pengembangan bioavtur. Terbaru, pemerintah tengah membuat peta jalan (roadmap) pemanfaatan bahan baku minyak kelapa menjadi bioavtur yang bisa digunakan sebagai bahan bakar pesawat.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera mengatakan, buah kelapa menjadi komoditas yang potensial untuk dikembangkan menjadi bioavtur.
"Ada (peta jalan) sedang on going, kalau nanti sudah hampir 100 persen matang, kita akan komunikasikan," kata Dida kepada awak media di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (6/3/2024).
Dari hasil riset sementara, ditemukan sekitar 20 sampai 30 persen buah kelapa yang tak layak konsumsi di setiap pohon kelapa. Artinya, limbah buah kelapa tersebut dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi bioavtur.
"Jadi, dalam satu pohon itu pasti ada 20-30 persen kelapa itu tidak layak konsumsi, itu bisa digunakan (bioavtur)," bebernya.
Untuk itu, Kemenko Perekonomian bersama kementerian terkait lainnya terus mendukung pengembangan potensi buah kelapa gagal untuk menjadi bioavtur. Namum, Dida belum menjelaskan lebih lanjut terkait update penelitian yang dilakukan pihaknya untuk menyulap buah kelapa gagal menjadi bahan baku pesawat tersebut.
"Kalau kelapa ini budidayanya sudah sangat bagus. Sudah ekspor. Tapi, ekspornya tapi baru biji kelapanya itu," tutup Dida.
Advertisement
Target Bioavtur
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM), menargetkan penggunaan bioavtur mencapai 5 persen pada tahun 2025.
"Dalam industri aviasi, ditargetkan pada tahun 2025, penggunaan bioavtur mencapai 5 persen," kata Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE) Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda dalam 19th Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook, di BICC, The Westin Resort Nusa Dua Bali, Jumat (3/11/2023).
Untuk kerja sama pengembangan bioavtur pun sudah dilakukan oleh ITB bersama dengan Pertamina. Tes sudah mulai dilakukan dengan pencampuran 2,4 persen bioavtur dalam komposisi bahan bakar pesawat.
Adapun produksi biovatur secara masif akan dilaksanakan pada tahun 2026. Pertamina berencana untuk meluncurkan Cilacap Green Refinery pada tahun 2026 berbasis waste feedstock.
Selain itu, biovatur juga telah digunakan pada penerbangan komersial dengan bahan bakar J2.4, uji coba dengan Garuda Boeing 737-800 NG. Yudo menegaskan, bahwa Kementerian ESDM berkomitmen untuk terus mendorong produksi dan penggunaan biovatur dalam industri aviasi.