Liputan6.com, Jakarta Pusat - Mona Juul, selaku perwakilan tetap Norwegia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan juga mantan fasilitator Perjanjian Oslo pada 1993, mengatakan bahwa pemerintah Israel, termasuk PM Israel Benjamin Netanyahu, masih menolak two-state solution atau solusi dua negara.
"Kita tahu bahwa pemerintah Israel saat ini belum dan mungkin tidak akan menyetujui solusi dua negara, dan sekarang yang bisa diharapkan adalah keterlibatan internasional yang lebih kuat," tutur Mona Juul pada diskusi bertajuk “A Candid Conversation with Amb. Mona Juul on the Gaza Situation, Two-State Solution, and the Future of the Middle East” yang diselenggarakan di Auditorium FPCI, Jakarta Pusat, Kamis (30/5/2024).
Advertisement
Seperti diketahui, solusi dua negara merupakan salah satu opsi solusi konflik yang memungkinkan Palestina dan Israel untuk mengakui eksistensi satu sama lain sebagai negara berdaulat, dan solusi ini sudah didesak oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.
Mona Juul juga menyinggung keputusan Norwegia yang mengakui Palestina sebagai negara dan bagaimana solusi dua negara memang merupakan pilihan yang terbaik untuk mengakhiri permasalahan ini.
"Mengakui Palestina sebagai negara merupakan manifestasi dari keyakinan kami (Norwegia) dan kami berpendapat bahwa solusi dua negara adalah pilihan yang terbaik. Hal ini juga harus menjadi argumen bagi Israel, karena solusi dua negara juga merupakan satu-satunya cara agar mereka bisa selalu menjadi negara Yahudi."
Menurut informasi dari Mona Juul, bahkan setelah PM Netanyahu menjabat, ia juga berencana untuk merusak Oslo Accords (Perjanjian Oslo), suatu perjanjian sementara antara Israel dan Palestine Liberation Organization (PLO), dan tidak pernah menunjukkan komitmennya terhadap solusi dua negara.
"Ketika ia baru menjabat, Netanyahu bersikeras untuk melakukan segala kebijakan yang berlawanan dengan Perjanjian Oslo," tambahnya.
Hanya AS yang Bisa Membujuk Israel
Mona Juul menambahkan bahwa kunci utama yang dapat membujuk Israel, termasuk PM Netanyahu, adalah Amerika Serikat (AS).
"Kunci utama yang benar-benar memiliki pengaruh besar dan dapat memberi tekanan pada Israel adalah Amerika Serikat," ucap Mona Juul.
"Mereka (AS) merupakan satu-satunya negara yang memiliki kuasa dan alat untuk bisa membujuk Israel, tetapi Anda pasti juga mengetahui bahwa kenyataan pahitnya adalah AS belum melakukan itu sejauh ini," tambahnya.
Menurutnya, Pilpres AS yang akan diselenggarakan pada bulan November mendatang merupakan salah satu penyebabnya, "Ini bukan waktu yang mudah untuk AS, karena nanti akan ada pemilihan presiden."
Mona Juul juga berpendapat bahwa jika Trump yang terpilih menjadi presiden AS berikutnya, ia akan mencoba untuk mengakhiri perbuatan Israel.
"Saya tidak ingin berspekulasi, tetapi saya yakin jika Trump menang, ia akan menanggapi masalah ini."
Di sisi lain, Mona Juul mengatakan bahwa semuanya tidak boleh kehilangan harapan, "Secepatnya kita akan melihat upaya internasional baru yang dipimpin oleh AS dan negara-negara Arab untuk mendorong solusi dua negara."
Advertisement
Upaya Internasional Harus Diperkuat
Dalam kesempatan yang sama, Mona Juul mengatakan bahwa semua upaya internasional harus diperkuat untuk mendorong solusi dua negara dan menghentikan perbuatan kejam Israel.
"Kita semua harus lebih vokal dan penderitaan warga sipil di Gaza harus menjadi prioritas utama kita," tutur Mona Juul.
Ia berpendapat bahwa hanya upaya-upaya dan negosiasi internasional yang akan menghentikan tindakan Israel, "Berbicara mengenai gencatan senjata dan membawa lebih banyak bantuan kemanusiaan, misalnya, itu harus selalu dilakukan."
Mona Juul juga menyatakan bahwa solusi dapat dimulai dari Hamas dan Israel, tetapi kurangnya kepercayaan dari kedua belah pihak telah menghambat negara-negara lain dalam mencari solusi atas masalah ini.
"Kami sudah melakukan yang terbaik kepada kedua belah pihak, untuk melihat apakah ada cara lain yang bisa ditemukan. Beberapa jenis kompromi sangat diperlukan untuk menghentikan masalah mengerikan yang tak kunjung usai," tambahnya.
Kondisi Terkini di Kamp Pengungsi Rafah
Pada Minggu (26/5/2024), serangan udara Israel menghantam tenda-tenda pengungsi sehingga menewaskan sedikitnya 35 orang, menururt Petugas kesehatan Palestina.
Banyak warga sipil lainnya yang terjebak dalam puing-puing yang terbakar.
Otoritas Kesehatan Jalur Gaza mengatakan perempuan dan anak-anak merupakan korban terbanyak yang tewas dan puluhan lainnya terluka, seperti dilansir dari AP, Kamis (30/5).
Serangan tersebut terjadi dua hari setelah Mahkamah Internasional (ICC) memerintahkan Israel untuk menghentikan serangan militer di Rafah.
Rafah merupakan tempat perlindungan bagi lebih dari separuh dari 2,3 juta penduduk Jalur Gaza sebelum serangan Israel beberapa waktu lalu. Meskipun banyak yang telah mengungsi, puluhan ribu orang masih tinggal di wilayah tersebut.
Rekaman dari lokasi serangan udara menunjukkan kerusakan parah. Tentara Israel mengonfirmasi serangan tersebut dan mengatakan bahwa serangan itu mengenai instalasi Hamas dan menewaskan dua militan senior Hamas. Mereka mengaku sedang menyelidiki laporan bahwa warga sipil terdampak.
Advertisement