Liputan6.com, Jakarta Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi memprediksi Rupiah akan menyentuh level 16.350 per USD di bulan Juni 2024.
Ibrahim menjelaskan, faktor-faktor yang mempengaruhi kurs Rupiah secara eksternal adalah ketegangan di Timur Tengah terutama setelah Israel melakukan penyerangan terhadap Rafah.
Advertisement
Serangan tersebut dikhawatirkan menimbulkan ketegangan baru di wilayah tersebut, di mana Mesir, Lebanon, Yaman, Suriah hingga Iran yang memberi kecaman terhadap Israel.
"Di sisi lain pun juga pengadilan internasional sudah memberikan ultimatum terhadap Israel agar tidak melakukan penyerangan, bahkan Jerman mengatakan siap untuk menangkap Perdana Menteri Israel apabila pengadilan internasional memberikan wewenang terhadap negara tersebut," Ibrahim menjelaskan, dalam keterangan di Jakarta, dikutip Jumat (31/5/2024).
Adapun bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve yang sejauh ini diperkirakan masih akan mempertahankan suku bunga tinggi, atau bahkan akan menaikkannya.
Di minggu ini, yang menjadi alasan The Fed menahan suku bunga tinggi adalah inflasi inti AS yang masih stagnan atau belum menurun.
"Di sisi lain, pada minggu ini PDB revisi juga akan dirilis. Kita mengetahui bahwa PDB Amerika Serikat tidak sesuai dengan ekspektasi pasar membuat dollar dan yield obligasi Amerika terus mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sehingga dolar terus mengalami penguatan," papar Ibrahim.
Lantas, apa saja yang bisa dilakukan Pemerintah agar ekonomi masih terjaga dan Rupiah stabil?
Ibrahim mengatakan, Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk kembali mengeluarkan stimulus, salah satunya pada pangan.
"Karena itulah salah satu-satunya agar konsumsi masyarakat kembali," ucapnya.
"Di sisi lain pun juga bahwa dampak dari kenaikan harga minyak, juga kemungkinan akan berdampak terhadap penurunan subsidi bahan bakar minyak, terutama yang terkait dengan diesel," tambahnya.
BI Masih Ada Ruang Untuk Stabilkan Rupiah
Namun Ibrahim juga melihat, Bank Indonesia (BI) masih memiliki ruang untuk Rupiah.
"Bank Indonesia masih ada ruang untuk menaikkan suku bunga 50 basis poin karena target BI untuk suku bunga tinggi itu adalah 6,75," jelasnya.
Bank Indonesia juga dapat melakukan intervensi salah satunya di valuta asing dan obligasi.
"Masih ada waktu untuk menaikkan suku bunga di bulan Juli hingga 25 basis poin," kata Ibrahim.
Advertisement
Jika The Fed Tak Pangkas Suku Bunga, Bagaimana Dampaknya ke Rupiah?
Suku bunga The Federal Reserve (the Fed) atau Fed Funds Rate (FFR) diproyeksikan turun mulai pada kuartal III-2024. Namun, jika hal itu tidak terjadi akan mengakibatkan volatilitas pada imbal hasil US treasury, yang mana dapat mempengaruhi arus modal ke pasar negara berkembang, termasuk ke Indonesia.
Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman, menilai apabila penurunan suku bunga The Fed tidak terjadi akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang akan semakin melemah.
"Mengenai penurunan suku bunga The Fed bagaimana jika tidak ada penurunan, ini bisa mengakibatkan volatilitas pada imbal hasil US treasury, di mana peningkatan volaitilitas imbal hasil US Treasury ini bisa mempengaruhi arus modal atau arus dana ke emerging market termasuk ke Indonesia dan mengurangi kestabilan nilai tukar," kata Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman, kepada Liputan6.com, di Jakarta, Jumat (24/5/2024).
Jika nilai tukar rupiah terganggu, Bank Indonesia harus melakukan intervensi di pasar valuta asing (Valas) lebih banyak, dan intervensi ini akan berdampak negatif pada likuiditas perbankan.
Terkecuali apabila Bank Indoensia melakukan sterilisasi dari intervensinya tersebut dengan cara menambah kembali likuiditas di perbankan, baik dengan cara intervensi di pasar obligasi.
"Yang dimana pembelian SBN di pasar sekunder akan menambah likuiditas maupun dengan perubahan tingkat GWM atau penurunan tingkat GWM dimana ini juga akan menambah supply rupiah di perbankan," tutur dia.
Di sisi lain, jika penurunan suku bungan The Fed benar terjadi, Helmi memproyeksikan suku bunga Bank Indonesia atau BI-Rate akan berjalan lebih lambat dibandingkan The Fed.
"Alasan mengapa kami berekspektasi bahwa penurunan suku bunga BI-Rate ini akan lebih lambat dari The Fed adalah karena kami mempertimbangkan diferensial suku bunga antara rupiah dan dolar yang saat ini berada cukup sempit, selisihnya cukup sempit," pungkasnya.