Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini, Laut Cina Selatan (LCS) kembali mendapat perhatian besar masyarakat dunia, khususnya ketika People Republic of China (Tiongkok) sebagai aktor utama memutuskan untuk mengakselerasi pembahasan Code of Conduct (COC) di kawasan LCS dengan negara-negara tetangga, khususnya anggota ASEAN. Selama ini, negara anggota ASEAN belum memiliki urgensi yang sama dalam menjaga kepentingan mereka di LCS, karena masing-masing negara memiliki tingkat pertikaian yang berbeda dengan Tiongkok.
Wacana untuk membuat aturan sendiri diluar COC antar negara ASEAN tanpa melibatkan Tiongkok juga tidak dimungkinkan (Malindog-Uy, 2024). Justru kompleksitas hubungan dan ketergantungan ekonomi antar anggota ASEAN dan Tiongkok dapat menjadi peluang legitimasi kuat ketika negara ASEAN berpadu dan bertindak sebagai pemimpin dalam pembahasan serta finalisasi COC yang ditargetkan selesai di 2026.
Advertisement
Teritorial LCS merupakan kawasan perairan yang menjadi sorotan tidak hanya di level Asia, namun juga dunia khususnya negara-negara Barat yang memiliki kepentingan ekonomi dan keamanan. Boraz (2009) dalam telaahnya menjelaskan bahwa Amerika Serikat (AS) yang mendapat pengalaman pahit pada September 2001 mengerahkan upaya besar dalam mengeksplorasi dari arah mana saja ancaman negara dapat muncul, khususnya melalui jalur laut.
Sejak saat itu, digaungkanlah konsep Maritime Domain Awareness (MDA), sebuah pemahaman efektif dari apa saja yang terasosiasi dengan domain maritim dunia yang dapat berdampak pada keamanan, keselamatan, ekonomi dan lingkungan sebuah negara. Sejak tahun yang sama pula Kepemimpinan di AS menerbitkan rangkaian kebijakan strategis mengenai MDA.
Tidak berhenti di situ, Pemerintah AS juga menyusun langkah-langkah untuk menyelaraskan dan memastikan program MDA terlaksana melalui sisi Pemerintahan baik Federal, negara bagian maupun lokal, dan berbagai lembaga serta agensi Pemerintah terkait sekaligus institusi swasta (Budiman et al., 2023).
Selain konsep dan kebijakan strategis serta diplomasi, aspek teknologi merupakan komponen pendukung utama untuk menciptakan stabilitas suatu kawasan. Hal ini sesuai pendapat Alcazar (2006) yang berargumen bahwa teknologi merupakan kontributor penting dalam menimbulkan kekerasan atau justru mendorong perdamaian. Teknologi erat terkait sebagai komponen utama kekuatan militer, yang dalam kondisi ekstrimnya digunakan dalam peperangan.
Sedangkan di sisi lain, teknologi juga seharusnya dapat dioptimalkan untuk perdamaian, pemenuhan kebutuhan dasar hidup dan hak asasi manusia, termasuk keberlanjutannya. Dalam konteks MDA, teknologi sensor seperti satelit di ruang angkasa dan radio komunikasi berperan sangat penting untuk membantu penjagaan baik keselamatan dan keamanan seperti di Kawasan LCS.
Aktualisasi Maritime Domain Awareness di Kawasan Laut Cina Selatan
Berkaca pada histori konflik yang pernah terjadi, Filipina adalah salah satu negara yang tegas dalam menjaga kedaulatan perairannya. Perseteruannya dengan Tiongkok di pengadilan internasional menunjukkan intensi mereka bahwa hukum dan keadilan di LCS harus ditegakkan.
Meski visi kedaulatan kelautan mereka didukung oleh kebijakan seperti The National Security Policy dan National Security Strategy untuk menjamin 24/7 Maritime Domain Awareness, namun pada implementasinya sungguh cukup berbeda (Batongbacal, 2021). Pola pikir mereka yang lebih kepada manajemen berbasis daratan, membuat fokus dan penyediaan sumber daya untuk Angkatan Laut dan kepolisian perairan untuk menjaga kawasan lautnya menjadi terbatas.
Adapun di lingkup nasional, dalam konferensi East Asia Summit ke-9 di Myanmar, November 2014, Presiden Republik Indonesia menyampaikan agenda pembangunan nasional melalui konsep yang bertajuk Poros Maritim Dunia (Portal Informasi Indonesia, 2019). Konsep ini disusun atas dasar pertimbangan bahwa kekuatan ekonomi dan politik dunia sesungguhnya bergeser ke wilayah Asia, sehingga konsekuensinya Indonesia yang merupakan negara maritim dianggap perlu mengembangkan diplomasi maritim serta secara bersamaan membangun kekuatan pertahanan laut.
Akan tetapi, dalam argumennya, Agastia dan Perwita (2018) menyatakan bahwa ambisi Pemerintah Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia perlu dimulai dengan membangun MDA sebagai aspek fundamental. Sedangkan dari perkembangan yang ada, kebijakan-kebijakan yang telah disusun seperti UU RI no. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan tidak didukung dengan penjelasan detail bagaimana untuk implementasinya.
Pemerintah telah membentuk Badan Keamanan Laut (Bakamla) Republik Indonesia untuk menjaga penegakan hukum di perairan nasional, namun sesungguhnya masih terdapat sekitar 12 Kementerian/Lembaga (K/L) lainnya yang terkait dan belum terlihat bagaimana penyelarasan peran dari K/L tersebut untuk membangun kapabilitas MDA. Karena itu dapat disimpulkan, untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi kekuatan maritim Regional, harus dilakukan melalui penguatan dan penyelarasan kebijakan nasional, yang kemudian diartikulasikan dalam tataran perencanaan teknis dan operasional yang matang serta dapat dilaksanakan.
Advertisement
Teknologi Penunjang Maritime Domain Awareness dan Kapabilitas Indonesia
Pengelolaan dan koordinasi keamanan perairan yang tangguh diperlukan untuk mendukung operasi Intelligence, Surveillance and Reconaissance (ISR) kelautan dan penerapan MDA. Dalam penelitiannya, Thangavel et al., (2023) menyampaikan pentingnya evolusi teknologi ruang angkasa untuk keperluan observasi bumi seperti satelit optik dan Syntethic Aperture Radar (SAR). Teknologi penginderaan jauh ini memiliki fungsi signifikan pada negara-negara yang teritorialnya didominasi oleh lautan dan memerlukan perlindungan dalam hak kedaulatan negara, aset dari Angkatan Laut, infrastruktur serta sumber daya baik alam maupun masyarakatnya.
Selain teknologi penginderaan, sisi komunikasi juga menjadi penting sebagai fungsi koordinasi dan upaya penangkalan terhadap aksi pelanggaran wilayah. Pada umumnya, sistem komunikasi dalam operasi pertahanan dan keamanan di wilayah laut dibagi sesuai jangkauan radionya. Untuk komunikasi yang masih terjangkau dalam pandangan atau Line Of Sight (LOS) yaitu sekitar 10 km, menggunakan frekuensi Very/ Ultra High Frequency (V/UHF). Adapun frekuensi untuk diluar jarak pandang atau Beyond Line Of Sight (BLOS) yang mana sekitar 1000 km cukup menggunakan High Frequency (HF).
Kombinasi kedua teknologi diatas menawarkan dampak yang substansial dalam penerapannya di kawasan LCS. Hal ini dapat tergambarkan dalam konflik perseteruan belum lama ini di Desember 2023, ketika Angkatan Laut (AL) Filipina dihambat dan dihalang-halangi oleh Tiongkok saat melakukan operasi pengiriman logistik ke basis militer Filipina di area Second Thomas Shoal (Pollock & Symon, 2024). Armada Tiongkok yang terdiri dari AL dan nelayan milisia nampak terkoordinir dalam melakukan penghadangan.
Sebelumnya, pada kurun waktu 2017 dan 2019 saja, terindikasi bahwa setidaknya Tiongkok telah meluncurkan dan memiliki konstelasi yang terdiri lebih dari 10 satelit penginderaan, jauh khusus untuk mengawasi wilayah LCS (Chang, 2021). Bisa disimpulkan, antisipasi sigap Pemerintah Tiongkok pada konflik di kawasan yang diklaim Filipina tersebut, tidak lepas dari andil kemampuan pengawasan terus menerus baik melalui visual maupun dengan saluran sistem komunikasi.
Kapabilitas teknologi seperti inilah yang menjadi pemikiran para Pimpinan nasional dalam beberapa tahun terakhir. Dari sisi penginderaan, ketergantungan terhadap layanan satelit dari luar negeri sudah akan digantikan dengan kemampuan satelit observasi bumi dari program investasi pertahanan. Direncanakan dalam waktu dekat Indonesia akan memiliki beberapa mata tambahan di ruang angkasa berkombinasi teknologi optik dan SAR yang dapat menangkap citra di kawasan LCS secara jelas dan real-time, tanpa terkendala oleh kondisi cuaca dan langit yang mungkin terhalang awan (Nurcahyadi, 2023).
Sedangkan dari sisi penguatan kapabilitas komunikasi dan koordinasi armada penjaga kawasan laut, Pemerintah juga sedang menjalankan program mid-life refurbishment 41 kapal perang TNI AL yang mencakup peremajaan komunikasi radio dan kendali persenjataan (Mahur, 2024). Ditambah lagi, jaringan komunikasi antar kapal dan command center akan ditopang infrastruktur data link yang menjamin keamanan dan interoperabilitas saluran komunikasi TNI.
Kesimpulan
Upaya diplomasi multilateral seperti perumusan COC memang penting untuk menjaga perdamaian di Laut Cina Selatan. Namun untuk menjaga kedaulatan Nasional secara sungguh-sungguh, maka diperlukan perspektif lain seperti kemampuan untuk senantiasa membaca situasi kawasan, yang ini hanya dapat terwujud dengan dukungan teknologi.
Kerangka Maritime Domain Awareness dapat digunakan untuk mendukung terwujudnya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, sehingga perlu dipertimbangkan sebagai referensi menyusun kebijakan strategis, membuat panduan operasional dan penyelarasan K/L, serta penyiapan infrastruktur teknologi yang mendukung pengelolaan dan pemantauan pertahanan serta keamanan yang semakin rentan khususnya di Laut Cina Selatan.
Pemerintah Indonesia telah melakukan inisiasi baik dari level strategis membangun pondasi kebijakan, dan level operasional dengan pembentukan dan pengaturan Kementerian/Lembaga untuk keamanan, keselamatan dan penegakan hukum di laut. Pemerintah juga telah memulai investasi dalam kapabilitas teknologi antariksa dengan menyediakan gugusan satelit observasi bumi untuk keperluan intelijen, pemantauan dan pengintaian, ditambah dengan peremajaan armada perang AL beserta kemampuan sistem komunikasinya. Namun seluruh program inisiatif tersebut perlu dibuat selaras, terencana dan dijaga kesinambungannya untuk terwujud efek gentar dan kedaulatan Indonesia di kawasan Regional.
Referensi
Agastia, I. G., & Perwita, A. A. (2018). Building Maritime Domain Awareness as an Essential Element of the Global Maritime Fulcrum: Challenges and Prospects for Indonesia's Maritime Security. JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL, 113-122.
Alcazar, F. J. (2006). Science and Technology for Peace. In G. Geeraerts, N. Pauwels, & E. Remacle, Dimensions of Peace and Security: A Reader (International Insights) (pp. 177-192). Peter Lang Publishing.
Batongbacal, J. (2021, November 4). THE PHILIPPINES’ CONCEPTUALIZATION OF MARITIME SECURITY. Retrieved May 29, 2024, from Asia Maritime Transparency Initiative: https://amti.csis.org/philippine-conceptualization-of-maritime-security/
Boraz, S. C. (2009). Maritime Domain Awareness: Myths and Realities. Naval War College Review, 62(3), 137-146.
Budiman, I., Abdurachman, B., & Nurhaliza, A. (2023). The Role Of The National Navy (Tni Al) In Strengthening Maritime Domain Awareness In Indonesia. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, 13(1), 39-49.
Chang, F. K. (2021, May 5). China’s Maritime Intelligence, Surveillance, and Reconnaissance Capability in the South China Sea. Retrieved May 30, 2024, from Foreign Policy Research Institute: https://www.fpri.org/article/2021/05/chinas-maritime-intelligence-surveillance-and-reconnaissance-capability-in-the-south-china-sea/
Mahur, M. S. (2024, Januari 23). PT PAL Beberkan Proses Perbaikan 41 Kapal Perang TNI AL. Retrieved May 30, 2024, from INVESTOR.ID: https://investor.id/business/351798/pt-pal-beberkan-proses-perbaikan-41-kapal-perang-tni-al
Malindog-Uy, P. A. (2024). How important is Asean-China Code of Conduct in SCS for regional stability, peace and security? Manila: Asian Century Journal .
Nurcahyadi, P. (2023, Desember 12). Thales Alenia Space dan Len Industri Kolaborasi Sediakan Radar dan Citra Optik untuk Pertahanan. Retrieved May 30, 2024, from Media Indonesia: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/636498/thales-alenia-space-dan-len-industri-kolaborasi-sediakan-radar-dan-citra-optik-untuk-pertahanan
Pollock, J., & Symon, D. (2024, February 2). China blocks Philippines access to South China Sea reef. Retrieved May 30, 2024, from CHATHAM HOUSE: https://www.chathamhouse.org/publications/the-world-today/2024-02/china-blocks-philippines-access-south-china-sea-reef
Portal Informasi Indonesia. (2019, Februari 25). Indonesia Poros Maritim Dunia. Retrieved May 29, 2024, from https://indonesia.go.id/: https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/indonesia-poros-maritim-dunia
Thangavel, K., Servidia, P., Sabatini, R., Marzocca, P., Faye, H., Cerruti, S. H., . . . Spiller, D. (2023). A Distributed Satellite System for Multibaseline AT-InSAR: Constellation of Formations for Maritime Domain Awareness Using Autonomous Orbit Control. MDPI Aerospace, 1-19.
Tulisan diatas merupakan opini pribadi Penulis dan tidak mewakili organisasi tempat yang bersangkutan bertugas.
Advertisement