Liputan6.com, Jakarta Organisasi masyarakat di Indonesia dan dunia menilai bahwa industri rokok telah menyasar anak-anak dengan memasarkan produk tembakau bervarian rasa serta bentuk-bentuk yang menarik. Hal ini mengundang keprihatinan para pegiat hak anak dan kelompok anti rokok untuk melahirkan gerakan Save Our Surroundings (SOS).
Gerakan yang lahir di momen Hari Tanpa Tembakau Sedunia 31 Mei 2024 terinspirasi dari bahasa sandi yang menyalakan alarm tanda bahaya. Konteks SOS ini adalah bahaya meningkatnya prevalensi anak muda yang teradiksi rokok. Serta bahaya bagi perokok pasif, bahaya dampak buruk rokok terhadap kesehatan, ekonomi dan lingkungan.
Advertisement
Menurut Ketua Umum Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Manik Marganamahendra, sebagai gerakan hasil inisiatif anak muda, SOS bertujuan mengingatkan masyarakat untuk saling jaga.
SOS juga mendesak pemerintah untuk ikut menghentikan campur tangan industri rokok yang masuk ke semua lini, bahkan mengintervensi (memengaruhi) anak melalui iklan, promosi dan sponsornya.
"Terbukti dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kesehatan yang hingga hari ini belum disahkan. Bahkan, berkali-kali kita coba mengadvokasi belum juga masuk dan belum juga disahkan harapan dari masyarakat," ujar Manik mengutip keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Senin, 3 Juni 2024.
Gerakan Save Our Surroundings yang mengusung slogan 'Lindungi Kini Nanti' menegaskan adanya masalah intergenerasional. Artinya, bukan hanya orang-orang yang sakit hari ini akibat konsumsi rokok, tapi juga generasi masa depan sebagai sumber daya manusia Indonesia.
Iklan dan Promosi Rokok Belum Terkendali
Lebih lanjut, Program Manager IYCTC, Ni Made Shellasih menambahkan bahwa kebijakan yang sudah ada belum efektif karena iklan, promosi, dan sponsorship rokok masih sangat masif dan belum terkendali. Selain itu, belum semua daerah menerapkan kawasan tanpa rokok.
Maka dari itu, gerakan Save Our Surroundings ini ingin mengajak masyarakat untuk menyalakan tanda bahaya dan sadar bahwa rokok ini berbahaya. Tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi lingkungan sekitar.
Manajer Program Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Nina Samidi, menyatakan, dalam 10 tahun terakhir masyarakat tidak mendapatkan perlindungan pemerintah dari intervensi industri rokok.
Jaringan pengendalian tembakau mendesak pemerintah segera merevisi PP 109 dari tahun 2017, 2018, tetapi sampai sekarang tidak ada artinya bagi pemerintah. Sampai akhirnya ada RPP Kesehatan turunan dari UU Kesehatan No.17/2023 tetapi itu pun belum ditandatangani pemerintah.
"Kami mendesak Pemerintah untuk menjawab pertanyaan ke mana keberpihakan Pemerintah saat ini? Kami mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap perlindungan kesehatan masyarakat kita karena intervensi industri rokok begitu besar ke pemerintah. Sampai pemerintah sekarang mati kutu di bawah industri rokok," ujar Nina.
Advertisement
Anak Merokok Akibat Harga Murah
Sementara itu, Project Lead for Tobacco Control, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Beladenta Amalia, menambahkan, SOS menunjukkan suatu kedaruratan angka perokok pada anak-anak saat ini sudah sangat tinggi.
Bukan hanya pada dewasa, tapi anak-anak Indonesia mulai mencoba merokok sejak dini. Melalui gerakan SOS ini, CISDI berperan berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan banyak anak menggunakan rokok batangan akibat harga yang masih sangat murah. Ini menandakan komitmen pemerintah belum terlihat dalam mengendalikan harga rokok secara signifikan.
"Jadi kami sangat mendorong, upaya-upaya pengendalian tembakau dari pemerintah melalui pengesahan RPP Kesehatan supaya anak-anak kita cepat terlindungi, begitupun masyarakat rentan lain, khususnya kaum miskin," katanya.
"Kami juga mendorong harga cukai hasil tembakau terus dinaikkan dengan harga yang signifikan sehingga mereka yang rentan termasuk anak-anak tidak bisa menjangkaunya lagi," ujar Beladenta.
Penggunaan Rokok Persulit Penurunan Stunting
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) yang diwakili Risky Kusuma Hartono membahas bahwa masalah rokok berkaitan pula dengan stunting.
Menurutnya, gerakan SOS mengingatkan lagi masalah stunting yang belum tuntas di Indonesia. Saat ini, Indonesia belum sukses menurunkan prevalensi stunting yang ditargetkan 14 persen.
Namun, terealisasi hanya 20 persen. Apabila rokok tidak terkendali, maka akan sulit untuk menurunkan stunting di masa depan.
"Studi dari PKJS UI menemukan bahwa peningkatan 1 persen belanja rokok itu meningkatkan 6 persen kemiskinan. Sehingga rumah tangga miskin apabila terus menerus membelanjakan uang untuk rokok, akan menjerat mereka dalam jurang kemiskinan," katanya.
"Untuk itu dalam Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) kali ini, kami sangat mendorong pemerintah untuk lebih peduli meningkatkan lagi pengendalian tembakau di Indonesia," Risky menambahkan.
Advertisement