Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) buka data terkait dampak berlakunya pembatasan impor barang jadi dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Ada penurunan impor tekstil dan alas kaki secara signifikan yang membuat industri lokal bisa bernafas lega.
Hal tersebut mengartikan produk lokal dari industri dalam negeri mampu bersaing dengan produk-produk yang beredar. Ini digadang menjadi cara ampuh untuk meningkat daya saing produk. Permendag 36/2023 berlaku efektif 10 Maret 2024.
Advertisement
"Efektivitas pengendalian impor tersebut terlihat pada impor pakaian jadi pada Maret 2024 yang turun signfiikan sebesar 45,23% year on year," kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki (ITKAK) Kementerian Perindustrian Adie Rochmanto Pandiangan, di Kantor Kemenperin, Jakarta, Senin (3/6/2024).
Diketahui, pada Permendag 36/2023, diperlukan adanya pertimbangan teknis (pertek) untuk beberapa komoditas impor. Serta, memperketat aturan masuknya barang jadi, termasuk di sektor tekstil dan alas kaki.
Adie menjelaskan, upaya tersebut terbukti bisa melindungi dan membuka ruang yang lebih besar bagi industri lokal. Sehingga memiliki kesempatan untuk bertumbuh.
"Penurunan impor pakaian jadi serta kulit tentu ini akan bersinggungan dengan memicunya tumbuhnya industri tekstil pakaian jadi, kulit, barang dari kulit dan alas kaki nasional," tegas dia.
Dia merinci soal penurunan impor tadi. Pada Maret 2023 tercatat impor sebesar 5,2 ribu ton, turun jadi 2,9 ribu ton di Maret 2024. Serta, 3,1 ribu ton di April 2023 menjadi 2,7 ribu ton di April 2024 atau turun 15,1 persen.
Sama halnya dengan impor kulit, produk dari kulit, hingga alas kaki yang turun pada periode yang sama. Misalnya, pada Maret 2023 ada impor sebanyak 25,4 ribu ton dan turun 52,25 persen menjadi 14,7 ribu ton pada Maret 2024.
Lalu, impor April 2023 sebanyak 20,8 ribu ton menjadi 16,5 ribu ton pada April 2024. Artinya ada penurunan 20,76 persen.
Banjir Impor Januari-Februari
Di sisi lain, Adie mencatat ada kenaikan volume impor yang terjadi pada Januari-Februari 2024 atau 2 bulan sebelum Permendag 36/2024 berlaku efektif. Akibatnya, produk impor membanjiri pasar dalam negeri yang menggerus porsi produk lokal.
"Sebelum pemberlakukan Permendag 36/2023 terjadi lonjakan impor pakaian jadi pada Januari dan Februari 2024. Impor pakaian jadi pada Januari-Februari 2024 melonjak sebesar 45,26 persen dari sebelumnya 3,1 ribu ton Januari 2023 menjadi 4,8 ribu ton Januari 2024," jelasnya.
Kemudian, ada lonjakan sebesar 75,28 persen pada Februari 2024 secara tahunan. Ada impor 2,5 ribu ton pada Februari 2023 menjadi 4,8 ribu ton di Februari 2024.
Sama halnya juga dengan impor kulit, barang dari kulit dan alas kaki terjadi kenaikan impor sebesar 17,9 persen pada Januari 2024. Dari sebelumnya 24,8 ribu ton pada Januari 2023 menjadi 29,7 ribu ton Januari 2024.
"Dan pada Februari terjadi lonjakan 101,39 persen secara year on year dari sebelumnya 12,5 ribu pada Februari 2023 menjadi 28,6 ribu ton pada Februari 2024," urainya.
Advertisement
PMI Manufaktur Indonesia Mei 2024 Melambat, Gara-Gara Kemendag?
Sebelumnya, Industri di tanah air masih terbilang dalam kondisi sehat dan solid, meskipun di tengah tantangan gejolak politik dan ekonomi global yang belum stabil. Ini tercermin dari capaian Purchasing Manager’s Index atau PMI Manufaktur Indonesia pada Mei 2024 yang berada di level 52,1 atau mengalami perlambatan dibanding bulan sebelumnya yang berada di posisi 52,9.
“Kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada para pelaku industri nasional yang hingga Mei masih bisa mempertahankan kinerja PMI tetap dalam fase ekspansi. Performa positif ini membukukan selama 33 bulan berturut-turut kita konsisten di level ekspansi,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif di Jakarta, Senin (3/6/2024).
Jubir menjelaskan, aktivitas produksi sektor industri yang menurun karena anjloknya pesanan dari luar negeri dan juga kekhawatiran pengurangan pesanan dalam negeri pada waktu mendatang. Kondisi ini berkaitan langsung kebutuhan tenaga kerja industri.
PMI Manufaktur Indonesia pada Mei 2024 mampu melampaui PMI Manufaktur Jerman (45,4), Prancis (46,7), Vietnam (50,3), Jepang (50,4), Taiwan (50,9), Amerika Serikat (50,9), Inggris (51,3), Korea Selatan (51,6), China (51,7), dan Filipina (51,9).
Namun demikian, Kemenperin menengarai adanya perlambatan PMI Manufaktur Indonesia pada Mei. Hal ini bisa dipengaruhi oleh regulasi yang dianggap tidak probisnis kepada para pelaku industri dalam negeri, misalnya penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag No 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
“Walaupun PMI kita masih solid dan sehat, tetapi sudah mulai turun. Kami khawatir penurunan ini sebagian disebabkan oleh regulasi yang tidak pro ke pelaku industri, yang dianggap kurang bersahabat dengan sektor manufaktur, salah satunya Permendag No. 8/2024, sehingga mempengaruhi optimisme pelaku industri dalam negeri,” papar Febri.
Sentimen Negatif
Kemenperin akan terus berupaya agar Permendag 8/2024 tidak membawa sentimen negatif yang lebih dalam bagi pelaku industri manufaktur di Indonesia, sehingga PMI bulan depan tidak akan merosot lagi.
“Kami sudah menerima masukan dari banyak asosiasi sektor industri yang menyatakan keberatannya atas penerapan Permendag 8/2024, dan itu pun sudah disampaikan mereka kepada publik oleh masing-masing asosiasi,” tuturnya.
Selain itu, karut marut dari implementasi kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk industri, juga akan membawa dampak penurunan PMI atau kepercayaan diri dari pelaku manufaktur di tanah air. Padahal fasilitas HGBT menjadi stimulus penting untuk meningkatkan produktivitas industri dan menarik investasi masuk ke Indonesia.
“Banyak sekali calon investor yang menunggu apakah kebijakan HGBT USD6 per MMBTU untuk industri ini akan dilanjutkan atau tidak? Karena insentif ini sangat menarik bagi mereka, sebagai salah satu kunci untuk bisa berdaya saing,” jelasnya.
Advertisement