Liputan6.com, Jakarta - Bukan Pemerintah Australia saja yang berambisi untuk menciptakan nol emisi karbon yang targetnya pada 2050. Kampus-kampus di sana juga berlomba-lomba mengurangi emisi sejak dini. Salah satu caranya menggunakan energi terbarukan di properti yang mereka gunakan.
Deakin University bahkan punya ladang solar panel sendiri untuk memenuhi kebutuhan listrik di kampusnya. “Di belakang kampus ada ladang seluas 14,5 hektare untuk solar panel dan gudang baterai,” jelas Peter Hansford, Director Deakin Energy Networks kepada media di Geelong, Victoria (23/5/2024).
Advertisement
Dari 23 ribu panel surya tersebut dihasilkan 7 megaWatt listrik sudah beroperasi sejak 2021. Tapi itu bukan satu-satunya sumber listrik yang ada di kampus itu. Ada tambahan lagi suplai listrik dari panel surya yang ditempatkan di sejumlah atap gedung kampus. Jumlah energi matahari yang dihasilkan di “atap” sebesar 250 kiloWatt.
“Microgrid memberikan keuntungan besar melalui penelitian, peluang pengajaran dan pembelajaran, serta membantu Deakin mencapai aspirasinya untuk menjadi netral karbon pada tahun 2030,” tambah Peter. Uniknya, di ladang panel surya itu berkeliaran domba. “Mereka bisa memakan rumput dan berteduh saat musim panas. Ada keuntungan timbal balik.”
Jumlah listrik yang disediakan panel surya tersebut sanggup memenuhi 54 persen kebutuhan listrik kampus. Selain ketersediaan listrik, target pengurangan emisi juga bisa diraih. “Pengurangannya bisa 12 ribu ton emisi karbon per tahun,” jelas Peter.
Deakin University tidak bekerja sendiri dalam menggarap pembangkit listrik tenaga surya. Mereka bekerja sama dengan Ausnet dan Mondo Power. “Kami bekerja sama dengan sejumlah perusahaan. Dan memang sering diajak melakukan penelitian bersama.”
Bukan saja ladang panel surya, Deakin University juga mengembangkan baterai. “Kami terus melakukan terobosan pada pengembangan baterai litium dan sodium.”
Panel Surya Berbiaya Murah
Penelitian dan pengembangan energi terbarukan juga dilakukan di University of New South Wales, Sydney. Mereka punya tiga tujuan utama terkait energi terbarukan. Pertama adalah mengamankan posisi Australia sebagai kekuatan global di bidang energi terbarukan. Kedua, menghadirkan sistem tenaga masa depan. Ketiga adalah mendukung transisi energi di masyarakat.
“Kami mengambil pendekatan terpadu pada tingkat sistem, transisi energi dan bagaimana energi bersinggungan dengan energi lainnya termasuk air, iklim dan transportasi,” CEO UNSW Energy Institute, Dani Alexander saat berjumpa media Indonesia di Sydney (21/5/2024).
Tergambar jelas, UNSW berusaha mengembangkan energi matahari yang rendah biaya. Liputan6.com berkesempatan mengunjungi laboratorium penel surya. Laboratorium inilah menjadi Australian Centre for Advanced Photovoltaics (ACAP). Proyek sebesar USD 125 juta dari 2023-2030 sedang dikerjakan untuk menghasilkan generasi panel surya yang lebih baik dengan harga jual rendah.
”Kami berupaya mencapai 30 persen efisiensi panel surya dengan modal 30c per Watt,” jelas Danni.
Secara global, lebih dari 90 persen dari seluruh panel surya berbahan silikon yang diproduksi saat ini menggunakan teknologi yang dikembangkan UNSW.
Advertisement
Senyawa Garam jadi Alternatif Baterai Litium
Tampaknya, kampus lain di Australia tidak mau ketinggalan dalam masa transisi energi terbarukan. Selain sumber energinya, tempat penyimpanan energi juga termasuk krusial untuk diteliti dan dikembangkan. Hampir di setiap kampus yang Liputan6.com kunjungi punya penelitian tentang baterai. Tampak jelas Australia serius menggarap energi terbarukan.
Hal menarik saat mengunjungi University of Wollongong di New South Wales. Ty Chrystopher, Director Energy Futures Network, mengungkapkan bahwa mereka sedang mengembangkan baterai yang berbahan dasar dari senyawa garam. “Bahan dasarnya banyak dan murah. Baterai sodium-ion memiliki potensi yang menjanjikan untuk menyaingi popularitas penggunaan litium sebagai material baterai,” ujar Chystopher saat memamerkan baterai sodium ion.
Menurutnya tiap bahan dasar pembuat baterai punya karakternya masing-masing. Bila saat ini sedang gencar-gencarnya pengembangan baterai lithium ferro phosphate (LFP) dan nickel manganese cobalt (NMC), memang sangat beralasan. Tingkat efisiensi dan kepadatan energi LFP dan NMC lebih baik dari sodium ion. “Efisiensi sodium ion hanya setengahnya,” ungkap Christopher. “Orang ingin berkendara dengan mobil listrik dengan jarak yang lebih jauh, bukan setengahnya.”
Namun baterai sodium ion punya potensi untuk dikembangkan karena harganya yang murah. "Jika kamu ingin menggunakan sodium, ada tangki sodium dalam jumlah yang sangat besar. Namanya, Samudra Pasifik," gurau Christhoper.
Di kesempatan berbeda, argumen sodium-ion jadi alternatif yang potensial untuk bahan pembuat baterai dikuatkan oleh Peter Hansford, Director Deakin Energy Networks. “Tiap produk punya karakternya sendiri. Tidak semuanya butuh yang energinya besar seperti untuk mobil. Baterai sodium ion saat potensial untuk produk lainnya."
“Jadi ini masih dalam tahap penelitian, tapi sangat menjanjikan. Tentu saja saya berharap suatu hari nanti, kita tidak perlu bergantung pada litium," ujar Christopher.