Liputan6.com, Jakarta Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuai banyak kritik dari masyarakat.
Lantaran peraturan tersebut dinilai memberatkan pekerja swasta dan pekerja mandiri, karena mereka harus membayar iuran Tapera sebesar 3 persen yang dipotong dari gaji.
Advertisement
Namun Pemerintah menjamin, pengelolaan dana tabungan peserta Tapera akan dikelola dengan baik, bahkan telah menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas pengelolaan dana Tapera.
Tujuan dari perluasan program Tapera sendiri yakni untuk membantu pekerja mendapatkan pembiayaan perumahan.
Lantas apakah benar dana Tapera akan dikelola dengan baik oleh Pemerintah?
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru mengungkap, pada tahun 2021 terdapat sejumlah permasalahan di BP Tapera, salah satunya mengenai pengembalian dana Tapera.
Hal itu dilaporkan dalam dokumen yang berjudul Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan Atas Pengelolaan Dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan Biayaaa Operasional tahun 2020 dan 2021 pada BP Tapera dan instansi terkait lainnya di DKI Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.
Dana Tapera
Pemeriksaan bertujuan untuk menilai Dana Tapera dan biaya operasional tahun 2020 dan 2021 pada BP Tapera telah dikelola secara optimal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam laporan tersebut, BPK mencatat terdapat sebanyak 124.960 peserta Tapera yang belum menerima pengembalian sebesarRp567,45 miliar dan peserta pensiun ganda sebanyak 40.266 orang sebesar Rp130,25 miliar.
Hal tersebut mengakibatkan pensiunan PNS/ahli warisnya tidak dapatmemanfaatkan pengembalian tabungan yang menjadi haknya sebesar Rp567,45 miliar dan terdapat potensi pengembalian lebih dari satu kali kepada 40.266 orang sebesar Rp130,25 miliar.
Permasalahan Lain
Permasalahan lainnya, yakni BPK menilai BP Tapera belum beroperasi secara penuh, yaitu pada kegiatan pengerahan (pendaftaran dan pengumpulan dana), kegiatan pemupukan (kontrak investasi kolektiff), dan kegiatan pemanfaatan dengan prinsipsyariah.
Hal tersebut mengakibatkan BP Tapera berpotensi tidak dapat mencapai target dan tujuan strategisnya, belum dapat melakukan pemungutan simpanan dan menambah peserta baru, serta peserta belum dapatmemanfaatkan fasilitas pembiayaan perumahan secara optimal.
Kemudian, BPK menemukan bahwa data peserta aktif BP Tapera sebanyak 247.246 orang belum mutakhir, yaitu kategori data dengan riwayat kepangkatan anomali sebanyak 176.743 orang dan ketidaklengkapan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebanyak 70.513 orang.
Hal tersebut mengakibatkan saldo Dana Tapera belum dapat dikelola dalam KPDT dan dimanfaatkan secara optimal sebesar Rp754,59 miliar, serta peserta belum dapat memanfaatkan haknya berupa pemanfaatan maupun pengembalian dana.
Advertisement
Demi Iuran Tapera, Gaji Pekerja Harus Naik 8 Persen
Sebelumnya, Pemerintah akan mulai memberlakukan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mulai 2027 mendatang. Namun, kelompok pengusaha, buruh, hingga masyarakat menolak rencana iuran Tapera tersebut.
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan ada langkah yang harus dilakukan pemerintah dalam 3 tahun kedepan. Utamanya pembenahan dari sisi makro kebijakan tersebut.
"Jadi menurut hemat saya, mumpung masih ada waktu sampai 2027, pemerintah perlu mendesain ulang Tapera ini secara makro, bukan mikro," kata Ronny kepada Liputan6.com, Selasa (4/6/2024)."Harus didesain berdasarkan kondisi makro yang ada, terutama ancamannya terhadap penurunan tingkat disposal income pekerja yang akan berakibat pada konsumsi rumah tangga," sambungnya.
Dia mengatakan, setidaknya dalam 2 tahun ke depan pemerintah harus menetapkan kenaikan gaji pekerja yang cukup tinggi. Misalnya rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 8 persen per tahun.
Harapannya, potongan sebesar 2,5 persen bagi pekerja dan 0,5 persen oleh pemberi kerja itu tidak akan menggerus daya beli masyarakat. Disamping adanya potongan di sektor lain, selain iuran Tapera itu.
"Sebelum potongan diterapkan, pemerintah perlu memikirkan untuk menaikan UMP dibatas 8 persen berturut-turut dua tahun sampai tahun 2027, sehingga pas setelah potongan diterapkan, pendapatan pekerja justru meningkat cukup signifikan dan tak terlalu terpengaruh oleh potongan baru tersebut," terangnya.
Tak cuma menyoal upah, Ronny menegaskan perlu adanya langkahbaudit yang dilakukan pada badan pengelolanya, dalam hal ini adalah BP Tapera. Menurutnya, badan tersebur harus menjelaskan kepada DPR cara kerja dan rencana kerjanya terkait dengan pengelolaan dananya.
"Agar nanti dananya justru disalahgunakan dan diinvestasikan secara serampangan, seperti beberapa dana pensiun yang menurut menteri BUMN justru berbau koruptif," tegasnya.
Iuran Tapera Berhasil di Singapura
Pungutan wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dinilai bisa menjadi solusi seorang pekerja memiliki hunian. Namun, upah pekerja di Indonesia masih terlalu rendah, sehingga dinilai malah memberatkan.
Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Instituion (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan model pungutan iuran Tapera bisa berhasil di Singapura. Hal itu bisa memperbaiki tingkat kepemilikan rumah para pekerja.
"Jika kita berkaca ke CPF (Central Provident Fund) Singapura, memang iuran yang bersifat 'mandatory' untuk perumahan sangat mendorong peningkatan kepemilikan rumah," kata Ronny kepada Liputan6.com, Senin (3/6/2024).
Bahkan, kata dia, Singapura menjadi salah satu negara dengan tingkat kepemilikan rumah tertinggi di dunia. Ini hasil dari bauran berbagai kebijakan perumahan, baik kementerian ketenagakerjaan, Housing and Development Board, dan lembaga pengelola CPF.
Advertisement
Gaji Pekerja Masih Rendah
Meski begitu, konsep serupa belum berarti bisa berhasil dilaksanakan di Indonesia. Mengingat adanya perbandingan fundamental dari pendapatan pekerja di Indonesia dan Singapura.
"Namun masalahnya, backlog perumahan kita terjadi karena rendahnya permintaan yang diakibatkan oleh standar pendapatan pekerja kita yang tergolong sangat rendah. Berbeda dengan Singapura yang gaji pekerja termasuk yang tertinggi di dunia. Jadi tak apple to apple," tegasnya.
Menurutnya, tingkat pendapatan yang tergolong rendah tersebut dan banyaknya potongan dan iuran justru memperburuk daya beli kelas pekerja dan kelas menengah ke bawah. Alhasil, konsumsi rumah tangga akan menurun kedepannya.
"Karena setiap pemotongan dan iuran untuk sesuatu akan menekan daya beli pekerja untuk yang lainya. Hal itu bisa terjadi karena tingkat pendapatan pekerja yang masih tergolong rendah," pungkas Ronny.