Liputan6.com, Jakarta - Dalam diskusi Policy & Regulatory Forum, Direktur Telekomunikasi Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Kominfo, Aju Widyasari, mengatakan bahwa Starlink sudah memenuhi seluruh persyaratan yang dibutuhkan dalam mengajukan izin penyelenggaraan telekomunikasi.
Persyaratan tersebut antara lain adalah memiliki kantor, Network Operation Center (NOC), IP Address, Autonomous System Number (AS Number), gateway, keamanan, dan pusat pelayanan konsumen.
Advertisement
Pada kesempatan berbeda, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan, Starlink telah sepakat untuk membuka kantor di Indonesia.
Pernyataan tersebut kemudian menarik perhatian Pengamat Telekomunikasi yang juga Dosen Teknik Telekomunikasi Sekolah Teknik Elektro dan Informatika di Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Josef Matheus Edward.
Ia menilai pernyataan Menkominfo itu seakan-akan bahwa Starlink belum membuka kantor di Indonesia. Padahal, kantor dan NOC merupakan syarat wajib untuk mendapatkan izin penyelenggaraan telekomunikasi.
"Ini menunjukkan inkonsistensi informasi yang disampaikan antar pejabat di Kominfo dalam pengurusan izin penyelenggaraan telekomunikasi Starlink," ujar Ian, dikutip Rabu (5/6/2024).
Menurut informasi yang beredar, kantor Starlink berada di gedung Bursa Efek Indonesia di Jakarta. Namun, hanya sebatas kantor virtual (bukan kantor fisik).
Di sisi lain, Aju menyampaikan bahwa masyarakat di daerah 3T menganggap kehadiran BTS BAKTI merupakan hal yang percuma, lantaran mereka mengeluh tak mendapatkan layanan broadband yang baik. Ini disebabkan jaringan backhaul yang dipakai BTS USO menggunakan Very Small Aperture Terminal (VSAT).
Dengan kehadiran Starlink diharapkan dapat memberikan layanan broadband di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang selama ini belum mendapatkan layanan telekomunikasi prima.
Pernyataan Direktur Telekomunikasi Kominfo itu dinilai Ian tidak tepat. Menurut Ian, semua layanan yang disediakan BAKTI Kominfo di daerah 3T sudah sesuai dengan regulasi yang berlaku.
"Apalagi saat ini backhaul yang digunakan di daerah 3T berasal dari satelit multifungsi SATRIA yang dikelola oleh BAKTI Kominfo," Ian memaparkan.
Satelit SATRIA Perlu Dievaluasi?
Jika Direktur Telekomunikasi Kominfo menganggap backhaul yang disiapkan BAKTI Kominfo tak sesuai dengan harapan dan ingin beralih menggunakan Starlink, kata Ian, seharusnya Kominfo dapat melakukan evaluasi terhadap keberadaan BAKTI Kominfo dalam menyediakan infrastruktur di daerah 3T.
Sebab, seluruh pembangunan BTS USO di 3.435 daerah 3T dilakukan oleh BAKTI Kominfo.
“Pemerintah selama ini membayar pembangunan infrastruktur telekomunikasi menggunakan dana USO dan APBN. Jika backhaul VSAT SATRIA mau diganti dengan Starlink, itu hak prerogatif Kominfo," ujar Ian.
Namun, ia mengingatkan, jika ingin mengalihkan backhaul menggunakan Starlink, Kominfo harus melakukan evaluasi secara mendalam mengenai keberadaan BAKTI.
"Termasuk apakah Kominfo masih memerlukan SATRIA dan Palapa Ring untuk melayani daerah 3T. Terlebih, biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur telekomunikasi sudah besar,” ucap Ian.
Jika mau mengedepankan kepentingan nasional di atas segalanya, menurut Ian, harusnya Kominfo mengutamakan aset yang dimiliki oleh negara yang dibangun BAKTI Kominfo dan operator telekomunikasi dalam negeri terlebih dahulu.
Advertisement
Operator Seluler dan Layanan Internet Satelit Lokal Terancam?
Pengamat Telekomunikasi dari Indotelko Forum, Doni Ismanto Darwin, tak menampik bahwa munculnya Starlink akan memberikan dampak bagi pemain lama layanan internet satelit yang lebih dulu hadir di Indonesia.
"Tentu dampak munculnya Starlink akan dirasakan bagi operator satelit Pasifik Satelit Nusantara (PSN) yang mengoperasikan satelit SATRIA, karena keduanya memiliki pangsa pasar yang kurang lebih sama," katanya.
Ia menilai, Starlink memang masih belum menjadi pesaing serius bagi pemain besar industri telekomunikasi Indonesia.
"Namun perlu diingat, jika Starlink dibiarkan saja tanpa diberikan regulasi dari pemerintah, maka ia bisa menjadi pemain besar mengalahkan operator seluler dan fiber optic di Indonesia saat ini," ujarnya mengingatkan.
Doni pun menyoroti perkembangan Starlink yang sangat besar di luar negeri. Bahkan, Elon Musk telah melakukan uji coba layanan internet Starlink langsung ke ponsel pintar (smartphone) tanpa memerlukan parabola.
"Starlink berpotensi menjadi pemain besar di Indonesia, jika teknologi layanan satelit Direct-to-Cell yang memungkinkan smartphone bisa terhubung ke jaringan Starlink tanpa memerlukan parabola khusus resmi dihadirkan," ujarnya.
Doni juga melihat kemungkinan penyedia layanan internet kecil bisa menjadi mangsa Starlink.
Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)
Advertisement