Tak Lapor Produknya ke OJK, Perusahaan Asuransi Siap-Siap Didenda Rp 100 Juta

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan, pengusaha pengasuransian dan perusahaan asuransi syariah wajib melaporan atas penyelenggaraanproduk asuransinya. Jika tidak, maka akan dikenakan sanksi denda administratif sebesar Rp 500.000 per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp100.000.000.

oleh Tira Santia diperbarui 05 Jun 2024, 12:00 WIB
Ilustrasi OJK. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan, pengusaha pengasuransian dan perusahaan asuransi syariah wajib melaporan atas penyelenggaraan produk asuransinya. Jika tidak, maka akan dikenakan sanksi denda administratif sebesar Rp 500.000 per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp 100.000.000. (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan, pengusaha pengasuransian dan perusahaan asuransi syariah wajib melaporan atas penyelenggaraan produk asuransinya. Jika tidak, maka akan dikenakan sanksi denda administratif sebesar Rp 500.000 per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp 100.000.000.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Produk Asuransi dan Saluran Pemasaran Produk Asuransi (POJK 8 Tahun 2024) yang mendukung dan memudahkan pelaku usaha perasuransian.

"Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dikenakan sanksi administratif tambahan berupa denda administratif sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)," bunyi pasal 29 ayat 2 POJK nomor 8 tahun 2024.

Dikutip dari keterangan OJK, Rabu (5/6/2024), dalam POJK ini terdapat ketentuan bahwa perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib melaporkan penyelenggaraan produk asuransi yang tidak memerlukan persetujuan OJK terlebih dahulu, dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah produk asuransi dimaksud dipasarkan.

Dalam hal setelah 5 (lima) hari kerja setelah produk asuransi dipasarkanperusahaan belum menyampaikan laporan, maka dikenakan sanksi denda administratif sebesar Rp.500.000 (lima ratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah).

Perhitungan jangka waktu pelanggaran tersebut dapat ditentukan ataudihitung dari tindakan pemasaran yang paling awal dilakukan oleh perusahaan asuransi/perusahaan asuransi syariah.

Contoh, dalam hal perusahaan asuransi/perusahaan asuransi syariah tidak melaporkan pemasaran produk asuransi kesehatan baru. Maka pada saat pengawas mendapati hasil pemeriksaan/pengawasan/informasi dari masyarakat bahwa atas produk asuransi tersebut sudah:

  1. Ada penerbitan surat permohonan penutupan asuransi (SPPA);
  2. Dilakukan launching produk asuransi;
  3. Diterbitkan brosur pemasaran; atau
  4. Tersedianya informasi yang bersifat publik atas produk asuransi dimaksud.

 


Pengenaan Sanksi

Ilustrasi OJK (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Tanggal dari tindakan pemasaran tersebut yang akan menjadi awal perhitungan pengenaan sanksi denda administratif.

Adapun POJK ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan. Diketahui POJK nomor 8 tahun 2024 ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 April 2024, yang diteken oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar.

Lebih lanjut, proses pelaporan produk asuransi yang belum selesai pada saat POJK ini mulai berlaku diproses sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.

Hal ini dilakukan bahwa setelah berakhir masa peralihan 6 (enam) bulan tersebut, maka sudah tidak ada lagi kendala baik dari sisi Otoritas Jasa Keuanganmaupun pelaku industri asuransi untuk mengimplementasikan keseluruhan substansi pengaturan dalam POJK ini.


Sepakat, OJK dan Kemlu Beri Perlindungan PMI dan Diaspora di Luar Negeri

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI) menyepakati sinergi dalam melaksanakan upaya pelindungan konsumen dan masyarakat, serta pengembangan dan penguatan sektor jasa keuangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Sinergi antara kedua lembaga tersebut dituangkan dalam Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, dan Menteri Luar Negeri RI Retno L. P. Marsudi di Jakarta, Selasa.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu RI) menyepakati sinergi dalam melaksanakan upaya pelindungan konsumen dan masyarakat, serta pengembangan dan penguatan sektor jasa keuangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

Sinergi antara kedua lembaga tersebut dituangkan dalam Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, dan Menteri Luar Negeri RI Retno L. P. Marsudi di Jakarta, Selasa.

Nota Kesepahaman antar kedua lembaga ini menyediakan kerangka mendukung percepatan peningkatan literasi keuangan dan pelindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan, khususnya dalam bentuk edukasi bagi Masyarakat Indonesia di Luar Negeri (MILN)/diaspora Indonesia dan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang merupakan salah satu segmen Sasaran Prioritas Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia.

Tak hanya itum Nota Kesepahaman tersebut juga difokuskan dalam rangka mendukung reformasi sektor jasa keuangan yang dapat mewujudkan pendalaman, dan pengembangan sektor keuangan agar dapat kompetitif dalam skala global dan menunjang kebutuhan sektor riil domestik.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, menyampaikan pentingnya kerja sama ini untuk memberikan pelayanan dan pelindungan konsumen khususnya bagi masyarakat Indonesia di luar negeri.

“Penandatanganan perjanjian kerja sama atau MoU antara OJK dan Kementerian Luar Negeri bukan hanya penting tapi merupakan yang pertama kali mencakup ruang dan bidang tugas yang banyak dan mencakup hampir keseluruhan keperluan dari masyarakat Indonesia di luar negeri yang terkait dengan pelayanan maupun pelindungan yang terimplikasi dari hal-hal yang terjadi dengan sektor jasa keuangan di Indonesia maupun di negara tempat mereka berada,” kata Mahendra, dikutip Rabu (5/6/2024).

 

 


Ruang Lingkup Nota Kesepahaman

Petugas saat bertugas di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Adapun ruang lingkup Nota Kesepahaman yang disepakati mencakup:

- Koordinasi dalam rangka kerja sama internasional;

- Kerja sama diplomasi ekonomi terkait sektor jasa keuangan;

- Kerja sama untuk mendukung peningkatan peran Masyarakat Indonesia di Luar Negeri dalam rangka Pembangunan Nasional;

- Kerja sama dalam kegiatan sosialisasi, edukasi dalam rangka peningkatan literasi dan inklusi keuangan kepada Warga Negara Indonesia di luar negeri;

- Kerja sama untuk mendukung penguatan pelindungan konsumen dan Warga Negara Indonesia di luar negeri;

- Peningkatan kompetensi dan kapasitas sumber daya manusia;

- Penyediaan, pertukaran serta pemanfaatan data dan/atau informasi untuk mendukung tugas dan fungsi;

- Penguatan sinergi dalam Forum Koordinasi Kebijakan Luar Negeri; dan

- Bidang kerja sama lain yang disepakati bersama.

“Kami berharap bahwa implementasinya nanti akan semakin meningkatkan kerjasama sinergi dari Kementerian Luar Negeri dan OJK dan tentu untuk seluruh bidang, unit, KBRI, KJRI, dan perwakilan Indonesia lainnya, supaya apa yang kita ikhtiarkan ini menjadi benar-benar efektif dan bermanfaat bagi masyarakat kita utamanya lagi juga masyarakat kita yang di Luar Negeri, dan tentu untuk kemajuan bangsa dan negara,” ungkap Mahendra.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya