Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan terdapat beberapa dasar suatu produk asuransi wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari OJK sebelum dipasarkan.
Hal itu sebagaimana tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Produk Asuransi dan Saluran Pemasaran Produk Asuransi (POJK 8 Tahun 2024) yang mendukung dan memudahkan pelaku usaha perasuransian.
Advertisement
Dilansir dari keterangan OJK, Rabu (5/6/2024), produk asuransi wajib mendapatkan persetujuan dari OJK dalam hal produk asuransi tersebut merupakan produk asuransi baru dan produk asuransi dengan kriteria tertentu. Yang dimaksud dengan produk asuransi baru yaitu:
a. Produk asuransi tersebut tidak pernah dipasarkan; atau
b. Produk asuransi tersebut merupakan pengembangan atas produk asuransi yang telah dipasarkan dan mengakibatkan adanya perubahan material, meliputi: risiko yang ditanggung termasuk pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang ditanggung; dan/atau metode perhitungan nilai tunai.
Sementara, yang dimaksud dengan produk asuransi dengan kriteria tertentu yaitu merupakan:
a. Produk asuransi yang memiliki unsur tabungan atau nilai tunai;
b. Produk asuransi kredit atau produk asuransi pembiayaan syariah; dan
c. Produk asuransi pada lini usaha suretyship atau suretyship syariah.
Disamping itu, juga ada suatu produk asuransi tidak wajib mendapatkan persetujuan dari OJK namun tetap wajib dilaporkan kepada OJK paling lama lima hari kerja setelah produk asuransi tersebut dipasarkan.
Berikut produk asuransi hanya dilaporkan dan dapat dipasarkan terlebih dahulu tanpa persetujuan dari OJK apabila produk asuransi tersebut, pertama, tidak pernah dipasarkan dan tidak memenuhi kriteria tertentu.
Contohnya yaitu: Perusahaan Asuransi X yang tidak pernah memasarkan produk asuransi kesehatan atau produk asuransi kecelakaan diri, maka pada saat pertama kali Perusahaan Asuransi X memasarkan kedua produk asuransi tersebut.
Wajib Melakukan Pelaporan
Perusahaan Asuransi X wajib melakukan pelaporan paling lama lima hari kerja setelah produk asuransi tersebut dipasarkan. Kedua, merupakan pengembangan atas produk asuransi yang tidak memenuhi kriteria tertentu yang telah dipasarkan dan mengakibatkan adanya perubahan material.
Contohnya yaitu:
1) Perusahaan asuransi umum yang sebelumnya telah memasarkan produk asuransi kendaraan bermotor, lalu melakukan penambahan risiko yang dipertanggungkan pada produk asuransi kendaraan bermotor tersebut, misalnya perluasan risiko gempa bumi, kerusuhan; atau
2) Perusahaan asuransi jiwa yang sebelumnya telah memasarkan produk asuransi kecelakaan diri, lalu melakukan penambahan risiko cacat tetap pada produk asuransi kecelakaan diri tersebut.
Ketiga, merupakan pengembangan atas produk asuransi yang telah dipasarkan, yang memenuhi kriteria tertentu namun tidak mengakibatkan adanya perubahan material. Contohnya yaitu:
1) Perusahaan asuransi umum melakukan perubahan pada dokumen persyaratan klaim pada produk asuransi kredit; atau 2) Perusahaan asuransi jiwa melakukan perubahan kriteria usia masuk Tertanggung/Peserta pada produk asuransi dwiguna atau anuitas.
Lebih lanjut, berikut contoh produk asuransi yang tidak wajib mendapatkan persetujuan atau tidak wajib dilaporkan kepada OJK yaitu:
a. Produk asuransi kesehatan yang telah dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi X dan dilakukan penyesuaian pada kriteria usia masuk atau penambahan/perubahan pada strategi saluran distribusi yang digunakan:
b. Produk asuransi ekawarsa yang telah dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi X dan dilakukan penyesuaian pada dokumen persyaratan klaim atau perubahan terkait prosedur pelayanan pengaduan.
Advertisement
OJK Terbitkan 2 Pedoman Perbankan Syariah dan BPRS, Simak Skemanya
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Pedoman Produk Pembiayaan Musyarakah Perbankan Syariah dan Pedoman Kerja Sama Channeling antara Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) dengan Fintech P2P Financing pada Mei lalu.
Pedoman Produk Pembiayaan Musyarakah Perbankan Syariah merupakan pedoman kedua setelah pada 2023, OJK juga telah menerbitkan Pedoman Produk Pembiayaan Murabahah Perbankan Syariah.
Berdasarkan data statistik perbankan syariah, akad murabahah dan akad musyarakah merupakan akad yang dominan digunakan dalam pembiayaan perbankan syariah, sehingga diperlukan suatu acuan implementasi dalam rangka memberikan kesamaan pandangan kepada pihak-pihak terkait sehingga meminimalisir terjadinya sengketa.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan, berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah posisi Februari 2024, total pembiayaan kedua akad tersebut mencapai hampir 92 persen dari total pembiayaan
Persentase pembiayaan musyarakah tercatat sebesar 47,91 persen yang selanjutnya disusul pembiayaan murabahah sebesar 43,88 persen dibandingkan seluruh pembiayaan perbankan syariah di Indonesia.
Lebih lanjut, Dian mengatakan, penerbitan pedoman ini merupakan salah satu amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU-P2SK) untuk memperkuat dukungan pengembangan produk dan layanan perbankan syariah, mendorong inovasi dan diversifikasi produk, sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta dapat bersaing secara efektif dalam pasar keuangan.
Roadmap OJK
Sejalan dengan amanat UU-P2SK tersebut, OJK melalui Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023-2027 berupaya untuk mendorong penguatan karakteristik perbankan syariah melalui pengembangan produk yang bersifat inovatif dan berdaya saing tinggi serta memiliki keunikan syariah.
Produk perbankan syariah yang bersifat unik dan tidak terdapat pada perbankan konvensional merupakan suatu keunggulan yang harus dimanfaatkan oleh perbankan syariah sehingga dapat menjadi pilihan utama masyarakat.
“Dalam menjaga karakteristik dan keunikan produk perbankan syariah sesuai dengan prinsip syariah dan prinsip prudensial perlu disusun sebuah Pedoman Produk bagi Perbankan Syariah. Pedoman ini dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan produk secara lebih terperinci dan komprehensif," kata Dian, Selasa (4/6/2024).
Advertisement