Liputan6.com, Zurich - Lautan di dunia sedang menghadapi "ancaman tiga kali lipat" berupa pemanasan ekstrem, kehilangan oksigen, dan pengasaman, dengan kondisi ekstrem yang menjadi jauh lebih intens dalam beberapa dekade terakhir dan memberikan tekanan besar pada keragaman kehidupan laut di planet ini, menurut penelitian baru.
Seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (8/6/2024), sekitar seperlima dari permukaan laut dunia sangat rentan terhadap tiga ancaman yang terjadi sekaligus, didorong oleh aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi, tambah studi tersebut.
Advertisement
Di lapisan atas 300 meter lautan yang terdampak, peristiwa gabungan ini kini berlangsung tiga kali lebih lama dan enam kali lebih intens daripada di awal tahun 1960-an, kata penelitian tersebut.
Penulis utama studi ini memperingatkan bahwa lautan dunia sudah didorong ke dalam kondisi ekstrem baru akibat krisis iklim.
"Dampak dari ini sudah dirasakan," kata Joel Wong, seorang peneliti di ETH Zurich, yang menyebutkan contoh terkenal dari "blob" panas yang telah menyebabkan kematian kehidupan laut di Samudra Pasifik.
"Peristiwa ekstrem intens seperti ini kemungkinan besar akan terjadi lagi di masa depan dan akan mengganggu ekosistem laut dan perikanan di seluruh dunia," tambahnya.
Penelitian yang diterbitkan dalam AGU Advances ini menganalisis kejadian pemanasan ekstrem, deoksigenasi, dan pengasaman dan menemukan bahwa peristiwa ekstrem semacam itu dapat berlangsung hingga 30 hari, dengan daerah tropis dan Pasifik utara sangat terpengaruh oleh ancaman gabungan tersebut.
Suhu Laut yang Terus Meningkat
Para ilmuwan iklim merasa cemas dengan terus meningkatnya suhu laut yang mencapai ketinggian luar biasa dalam beberapa bulan terakhir.
"Panasnya benar-benar diluar dugaan, sungguh mengejutkan melihatnya," kata Andrea Dutton, seorang ahli geologi dan ilmuwan iklim di University of Wisconsin-Madison, yang tidak terlibat dalam penelitian baru ini.
"Kami tidak bisa sepenuhnya menjelaskan suhu yang kita lihat di Atlantik, misalnya, yang merupakan salah satu alasan mengapa musim badai menjadi sangat mengkhawatirkan tahun ini. Ini cukup menakutkan."
Namun, selain dari panas yang memaksa ikan dan spesies lainnya untuk berpindah ke iklim yang lebih cocok jika mereka bisa, lautan juga membayar harga yang mahal karena menyerap volume besar panas dan karbon dioksida dari emisi bahan bakar fosil yang seharusnya akan lebih memanaskan atmosfer bagi manusia di daratan.
CO2 tambahan ini membuat air laut lebih asam, melarutkan cangkang makhluk laut, serta mengurangi kadar oksigen di lautan.
"Ini berarti bahwa kehidupan laut terdesak dari tempat-tempat di mana mereka mampu bertahan hidup," kata Dutton.
"Penelitian ini menjelaskan bahwa ini terjadi sekarang dan bahwa ancaman gabungan ini akan mendorong organisme melewati titik kritis mereka. Orang-orang harus menyadari bahwa lautan telah melindungi kita dari jumlah panas yang dirasakan di daratan sebagai manusia, tetapi ini tidak terjadi tanpa konsekuensi."
Advertisement
Terjadi Juga pada 252 Juta Tahun Lalu
Dutton mengatakan bahwa kombinasi penurunan kadar oksigen, meningkatnya keasaman, dan melonjaknya panas lautan juga terlihat pada akhir periode Permian sekitar 252 juta tahun yang lalu, ketika Bumi mengalami peristiwa kepunahan terbesar yang dikenal dalam sejarahnya, yang dikenal sebagai Great Dying.
"Jika Anda melihat catatan fosil, Anda dapat melihat pola yang sama pada akhir periode Permian, di mana terdapat dua pertiga spesies laut yang punah," katanya.
"Kita tidak memiliki kondisi yang identik dengan itu sekarang, tetapi penting untuk menunjukkan bahwa perubahan lingkungan yang terjadi saat ini serupa."
"Lautan bukan hanya latar belakang yang indah untuk selfie Anda di musim panas, kita bergantung padanya untuk kehidupan kita, sangat penting untuk mengetahui hal ini," tambah Dutton.
Picu Suhu Dingin Laut yang Mematikan
Bukan hanya panas samudra saja, studi baru lain juga mengungkapkan periode di mana suhu air laut menurun secara signifikan muncul dan menyebabkan kematian beberapa spesies laut secara massal.
Seperti dilansir dari CNN, polusi pemanasan global yang mendorong krisis iklim kemungkinan besar menjadi penyebab adanya "peristiwa pembunuhan" di ujung spektrum suhu yang dingin.
Samudra yang tersebar di seluruh dunia telah dirundung oleh panas yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam setahun terakhir ini, memicu kekhawatiran pada kehidupan laut.
Miliaran kepiting dikabarkan menghilang di Pasifik Utara, singa laut dan lumba-lumba yang sakit ditemukan terdampar di tepi pantai, dan terumbu karang ikonik mengalami pemutihan massal.
Meskipun suhu samudra sering meningkat, kejadian ekstrem yang menyebabkan penurunan suhu menjadi sangat dingin juga semakin kuat. Ini terjadi ketika angin kencang dan arus samudra membawa kantong-kantong air dingin ke permukaan, menggantikan air hangat yang ada di sana.
Hal tersebut juga mengancam kehidupan laut.
Advertisement