HEADLINE: Revisi UU Polri Berpeluang Perluas Wewenang Kepolisian, Jadi Superbody?

Revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau UU Polri berpotensi menjadikan Kepolisian sebagai lembaga superbody, yang tidak diawasi oleh siapapun.

oleh Jonathan Pandapotan PurbaNanda Perdana PutraDelvira HutabaratMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 06 Jun 2024, 17:49 WIB
Banner Infografis Revisi UU Polri (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau UU Polri sedang jadi sorotan. RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga superbody, yang tidak diawasi oleh siapapun.

DPR RI sebelumnya telah menyetujui revisi Undang-Undang Kepolisian menjadi RUU usul inisiatif DPR. Keputusan tersebut diambil dalam paripurna ke-18 Masa Persidangan ke-V Tahun Sidang 2023-2024 digelar di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (28/5). Saat itu, rapat paripurna dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menilai Revisi UU Polri sebagai meluasnya wewenang polisi di tengah sejumlah masalah institusional. RUU Kepolisian, kata dia, memuat sejumlah pasal yang memperluas kewenangan Kepolisian serta membuka ruang bagi perpanjangan batas usia pensiun bagi anggota Polri.

KontraS menyoroti 5 hal pada pada RUU Kepolisian yang proses perumusan dan pembahasannya dianggap masih minim partisipasi dan substansinya tidak akan menyelesaikan masalah institusional Kepolisian.

"Pertama, RUU Kepolisian memperluas kewenangan Polri untuk juga melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber yang berpotensi menimbulkan pertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi," kata Dimas kepada Liputan6.com, Rabu (5/6/2024).

Kedua, RUU Kepolisian juga menambahkan pasal mengenai perluasan kewenangan untuk melakukan penyadapan, dan perluasan kepada bidang Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Polri untuk melakukan penggalangan intelijen, yang dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan pengaturannya kabur akibat belum adanya undang-undang khusus terkait penyadapan.

"Ketiga, RUU Kepolisian tidak memperkuat dan menegaskan posisi serta kewenangan lembaga pengawas atau oversight terhadap Polri seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)."

"Keempat terkait masih diaturnya Pam Swakarsa dan kelima dinaikkannya batas usia pensiun," ucap Dimas.

Revisi UU Polri Hendaknya Prioritaskan Kebutuhan Masyarakat

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan di usianya yang lebih 20 tahun, UU Polri memang sudah selayaknya direvisi.

Namun, penambahan kewenangan Polri dan perpanjangan usia pensiun, sangat tidak substantif pada kebutuhan masyarakat di masa depan. Bahkan hanya mengaburkan substansi-substansi yang lebih penting terkait revisi UU Polri.

"Bahkan penambahan kewenangan tanpa diiringi sistem kontrol dan pengawasan yang kuat, maupun perpanjangan usia pensiun berpotensi menjadi alat hegemoni kekuasaan pada lembaga Polri. Ini bahaya karena lembaga negara yang diberi kewenangan penegakan hukum bisa dijadikan alat politik kekuasaan dan bisa dijadikan alat untuk menekan hak-hak masyarakat," kata Bambang kepada Liputan6.com, Rabu (5/6/2024).

Bambang mengatakan, Revisi UU Polri harusnya disusun untuk membangun kepolisian sebagai institusi negara yang profesional, modern, berintegritas, transparan dan akuntable. Menguatkan kelembagaan kepolisian tidak berarti sama dengan menambah kewenangan kepolisian.

Ia menilai, ada beberapa poin penting dalam revisi UU kepolisian. "Di antaranya adalah pemisahan kewenangan antara peran kepolisian sebagai public security service (penjaga kamtibmas) dan private security service. Ini penting untuk diatur agar tak memunculkan kerancuan tupoksi kepolisian dengan sektor swasta di luar kepentingan publik."

Kedua, kata Bambang, adalah soal anggaran operasional Polri yang tak ada dalam pasal UU 2 tahun 2002. Ini penting mengingat kepolisian adalah lembaga negara yang harusnya semuanya dibiayai oleh APBN. Dengan tidak adanya pasal yang mengatur anggaran operasional Polri, dampaknya Polri bisa mendapatkan biaya dari non APBN melalui hibah baik pemerintah maupun swasta. Ini rawan konflik kepentingan, bilamana pihak pemberi hibah terlibat masalah hukum, maupun abuse of power melalui pungli.

"Ketiga, adalah penguatan sistem kontrol dan pengawasan eksternal. Dimana peran lembaga pengawas kepolisian yakni Kompolnas yang harusnya makin diperkuat dengan penambahan jumlah wakil dari masyarakat yang juga dilibatkan dalam penegakan etik dan disiplin anggota Polri, selain memberi masukan pada Presiden terkait pemilihan Kapolri maupun memberi masukan pada arah kebijakan Polri," ucapnya. 

Ketua Komisi III: Jangan Terlalu Curiga dengan RUU Polri

Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menegaskan, anggapan akan ada lembaga superbody akibat revisi UU tersebut terlalu berlebihan. Ia memastikan pembahasan revisi dilakukan terbuka dan akan menerima semua masukan.

“Enggak ada. Semuanya dibahas terbuka kok. Nanti kalau membahayakan kelihatan. Kalian juga bisa ikut melihat pembahasannya tidak ada yang tertutup. Jadi kalau kalian, dikau merasa ini enggak sreg kan bisa. Tapi kan pembahasannya belum dimulai,” kata Pacul kepada Liputan6.com di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (5/6/2024).

Bambang Pacul menyebut, lantaran pembahasan revisi belum dimulai, maka wajar apabila banyak pihak berprasangka buruk. Meski demikian, ia berharap nantinya tak banyak yang curiga mengenai revisi UU Polri.

“Kalau hari ini siapa pun akan selalu melihat dari sisi negatif kacamatanya. Tapi kan belum dibuka. Nanti kalau dibuka itu akan kita baca bareng. Kita yang pegang nomor punggung, nendang bola, kita pemain. Tetapi di sana kan kalian nonton semua, enggak ada pembahasan tertutup."

"Jadi jangan terlalu bercurigalah, ya,” kata dia.

Infografis 5 Poin Krusial Revisi UU Polri (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Berpotensi Jadi Lembaga Superbody

Ilustrasi polri (polri.go.id)

Salah satu pasal yang menjadi sorotan pasal Pasal 14 ayat 1b yang menyebut polri memiliki kewenangan mengawasi dan membina teknis kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik lain yang ditetapkan undang-undang. Hal itu tercantum dalam Pasal 14 ayat 1b.

Menurut ketua LBH - YLBHI, Muhammad Isnur pasal itu sama saja mencampur adukan sejumlah kasus yang seperti yang tengah ditangani oleh Kementerian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga di Kejaksaan Agung (Kejagung).

"Jadi kalau kita membaca definisi ini, maka kemudian dia jadi superbody. Bahasa hukumnya mungkin kalau dalam agama jadi majelis syuro gitu, majelis tinggi, penyidik lembaga-lembaga lain," kata Isnur kepada wartawan di kawasan Jakarta Pusat, Minggu (2/6/2024).

"Karena berarti Jaksa Agung sebagai penyidik di undang-undang HAM berat, KPK sebagai penyidik undang-undang korupsi, harus berkoordinasi dibina diawasi oleh penyidik kepolisian," sambung dia.

Ia mengaku tidak dapat membayangkan bila nantinya pasal di revisi UU tersebut polri bisa mengintervensi penyelidikan oleh penyidik KPK atau Kejagung.

Mengingat kedua lembaga itu sama-sama menangani perkara kasus besar juga melibatkan pejabat negara.

"Kita bisa membayangkan bagaimana konsekuensi dari penyidik KPK yang harus dibina, diawasi, berkoordinasi kepada penyidik kepolisian. Bagaimana Jaksa Agung dalam hal ini memeriksa Jiwasraya, memeriksa timah, sekarang yang terbaru antam," ujar Isnur.


Respons Polri soal Poin Krusial dalam RUU Baru

Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho (Dokumentasi Polri)

Pembahasan Rancangan Undang- Undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tengah menjadi sorotan, ketika ada beberapa poin krusial yang tercantum di dalam aturan baru inisiasi DPR.

Diketahui beberapa poin dimaksud, Polri akan diberikan kewenangan mulai dari pengawasan dan akses blokir ruang siber, penyadapan, sampai penggalangan intelijen.

Menanggapi hal itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Sandi Nugroho pun mengaku belum bisa banyak komentar. Karena secara institusi, pihaknya belum menerima draft tersebut.

“Ya memang saat ini sedang dalam proses jadi belum sampai ke Presiden masih di DPR, inisiasi dari DPR bahwa UU kepolisian akan direvisi,” kata Sandi.

Sandi pun memandang adanya revisi undang-undang tersebut, pasti akan memberikan batasan antara lembaga. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara kewenangan Polri dengan lembaga lainnya.

“Saya pikir bahwa kegiatan kepolisian itu sudah sangat komprehensif dan kita juga menghargai adanya lembaga-lembaga yang lain. Yang diperlukan saat ini adalah sinergitas dan soliditas semua lembaga,” kata Sandi.

“Jadi untuk masalah UU nanti akan kita bahas lebih lanjut kalau sudah dapat bahan rimtek dari DPR. Nantiya apa yang jadi inisiasinya yang akan dibahas, yang disetujui, dan tidak disetujui, akan kami sampaikan lebih lanjut agar tidak terjadi polemik,” sambung dia.

Karena, lanjut Sandi, dari pembahasan RUU baru tersebut. Dirinya baru mengetahui adanya pembahasan terkait usia pensiun. Sementara terkait poin lainnya, untuk sementara belum dibahas karena dianggap sudah ada dalam aturan lama.

“Ada info-info yang jelas pada sampai saat ini yang dibahas paling utama adalah ada kaitannya dengan pensiun yang bertambah. Kemudian hal-hal yang lainnya tidak dibahas secara menyeluruh, karena di UU kepolisian sudah lengkap,” ujarnya.


Lemkapi: UU Polri Sudah 22 Tahun, Perlu Ikuti Perkembangan

Gedung Mabes Polri (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan menyambut baik wacana revisi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri demi kebaikan institusi tersebut.

"UU Polri saat ini sudah berusia 22 tahun. Tentunya sudah perlu ada revisi untuk mengikuti perkembangan, demi Polri semakin baik," kata Edi seperti dilansir Antara.

Dia mengatakan salah satu poin yang perlu direvisi undang-udang itu adalah perubahan batas usia pensiun anggota Polri.

Mantan anggota Komisi Kepolisian Indonesia (Kompolnas) ini mengatakan saat ini usia pensiun anggota Polri adalah 58 tahun.

"Padahal usia 58 tahun itu, banyak polisi masih giat-giatnya kerja," katanya.

Dia mengatakan anggota Polri yang memiliki keahlian khusus perlu ada pembahasan kenaikan usia pensiun.

Dosen Pascasarjana Universitas Bhayangkara Jakarta ini mengatakan wacana agar usia polisi menjadi 60 tahun dan yang memiliki keahlian khusus menjadi 65 tahun merupakan usulan bagus untuk dibahas.


Isi Sebagian Draft Revisi UU Polri

Ilustrasi polri (Liputan6.com/Johan Tallo)

Draft Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur sejumlah tugas pokok Polri. Salah satunya yakni melakukan kegiatan dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengamanan Ruang Siber, yang tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) poin c.

Beberapa poin lainnya yakni melakukan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya serta melaksanakan kegiatan Intelkam Polri.

"Melakukan penyadapan dalam lingkup tugas Kepolisian sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai penyadapan; dan/atau melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi pasal tersebut.

Selanjutnya, dalam Pasal 16 ayat (1) poin r disebutkan anggota Korps Bhayangkara dapat menerbitkan atau mencabut daftar pencarian orang.

"Melakukan penanganan tindak pidana berdasarkan Keadilan Restoratif; dan/atau melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab," tulis pasal tersebut.

Selanjutnya, pada Pasal 16A menyebutkan tugas Intelkam Polri dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i, Polri berwenang untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam Polri sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional.

Atur Tugas Intelijen dan Keamanan

Kemudian, melakukan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan intelijen, mengumpulkan informasi dan bahan keterangan serta melakukan deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman termasuk keberadaan dan kegiatan orang asing guna mengamankan kepentingan nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Berikutnya, pada Pasal 16B ayat (1) disebutkan kegiatan pengumpulan informasi dan bahan keterangan dalam rangka tugas Intelkam Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A huruf c.

Hal ini meliputi permintaan bahan keterangan kepada kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lainnya dan pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi.

Pada ayat (2) pun disebutkan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap sasaran sumber ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri termasuk ancaman dari orang yang sedang menjalani proses hukum.

"Terkait dengan ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup dan/atau terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional," bunyi pasal tersebut lagi.

"Ayat (3) Dalam melaksanakan kegiatan pengumpulan informasi dan bahan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)."


Infografis Kilas Balik Pemisahan Polri-TNI hingga Lahirnya UU Polri

Infografis Kilas Balik Pemisahan Polri-TNI hingga Lahirnya UU Polri (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya