Liputan6.com, Cilacap - Ulama kondang asal Rembang yang memiliki performance khas dengan kemeja putih dan kopiah hitamnya yakni KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau akrab dengan sapaan Gus Baha membeberkan alasannya ketika ceramah selalu membawa kitab.
Baca Juga
Advertisement
Memang, tradisi dakwah kekinian, sudah lazim bahwa seorang penceramah atau muballigh saat mengisi ceramah tidak membawa kitab.
Namun lain halnya dengan ulama kharismatik yang ahli Al-Qur’an yang merupakan murid Mbah Moen ini. Beliau sering kali membawa kitab, meskipun dirinya saat itu sedang ceramah.
Rupanya kebiasaan membawa kitab ini, bukan hanya saat ceramah di tempat yang dekat saja. Ketika beliau mengisi ceramah di tempat jauh juga selalu membawa kitab.
Simak Video Pilihan Ini:
Bukan Hal yang Aneh
Gus Baha mengawali pertanyaan perihal alasan dirinya saat ceramah seringkali membawa kitab. Menurutnya, hal ini bukan sesuatu hal yang aneh. Bahkan menurutnya ini suatu keharusan.
Hal aneh, kata Gus Baha, justru terjadi pada penceramah atau mubaligh masa kini yang ketika ceramah tidak membawa kitab.
“Kenapa kalau ngaji saya membawa kitab?” katanya dikutip dari tayangan YouTube NgugemiDawuhMasyayikh, Rabu (05/06/2024).
“Sebetulnya itu sesuatu yang lazim. Lazim itu sesuatu yang harus. Tapi karena kelamaan muballigh tidak pakai kitab, seakan-akan bawa kitab itu aneh, sebenarnya aneh mereka,” sambungnya.
Advertisement
Alasannya
Gus Baha lantas membeberkan alasannya ketika ceramah seringkali membawa kitab. Menurutnya, umat Islam berhak atas warisan paling luhur, hebat dan jernih yakni Al-Qur'an dan Hadis.
“Karena begini logika simpelnya, umat Nabi ini berhak dapat apa coba? Berhak dapat warisan yang paling luhur, paling hebat, paling jernih,” paparnya.
Sementara orang yang paling otoritatif menerangkan isi Al-Qur'an dan hadis ialah ulama-ulama yang kapabel dan telah mendapatkan pengakuan.
Adapun cara menelusuri pemikiran-pemikirannya, salah satunya melalui karya-karyanya yang teruang dalam kitab.
“Apa itu? Al-Qur’an dan Hadis. Pertanyaannya, siapa yang paling berhak atau otoritatif untuk menerangkan QUr’an hadis? Ulama," terangnya.
“Ulama yang mana? Ulama yang kapabel yang sudah diakui dunia, seperti Imam Al-Ghazali, Imam Bukhari, Imam Syafi’i,” sambungnya.
Dengan merujuk langsung kepada kitab karya-karya ulama yang otoritatif ini, maka pada akhirnya umat Islam pun akam mendapatkan pemikiran orisinil para ulama.
“Artinya kalau kita tidak pakai materi yang otentik, yang orisinil, akhirnya umat ini mendapatkan pikiran kita, bukan pikiran mereka (para ulama---pen)” ujarnya.
“Maka saya berusaha supaya teman-teman atau umat Islam mendapatkan pikiran-pikiran Imam Al-Ghazali, Imam Bukhari dan Abul Qasim Al-Junaidi,” sambungnya.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul