Liputan6.com, Jambi - Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi seluas 3.981 hektare menjadi situs kawasan percandian terluas di Asia Tenggara. Bila revitalisasi dan pemugaran besar-besaran rampung, kedepan peninggalan leluhur masa lampau yang terletak di pinggiran Sungai Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi itu digadang-gadang bisa lebih hebat dari situs percandian Angkor Wat di Kamboja.
"Target kita selama lima tahun kedepan dia (KCBN Muaro Jambi) lebih hebat dari Angkor Wat. Itu bisa kita pastikan karena potensinya ada, tinggal bagaimana berbagai stakeholder nanti bekerja untuk menjadikan ini jadi situs terpenting di Asia Tenggara," kata Direktur Jenderal Kebudayaan pada Kemendikbudristek RI Hilmar Farid di Jambi, Rabu (5/6/2024).
Advertisement
Usai prosesi ritual Tegak Tiang Tuo Pembangunan Komplek Museum di KCBN Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, Hilmar menekankan bahwa konsep penataan lingkungan sejalan dengan proses revitalisasi. Kemudian kawasan Candi Muaro Jambi akan menjadi pusat pendidikan dan pengetahuan serta Kebudayaan masyarakat setempat.
Pepohonan yang tumbuh diantara reruntuhan bangunan candi tetap dipertahankan. Konsep revitalisasi kawasan dan rencana penataan ruang pelestarian mencakup 15 bangunan candi lingkungan diantaranya seperti Candi Koto Mahligai, Parit Duku, Kedato, Alun-alun dan lainnya.
"Kalau ditotal luas penataan lingkungannya itu membentang panjang 7 kilometer dan lebar ke dalam 1 kilometer," kata Hilmar.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sedang besar-besaran merevitalisasi KCBN Muaro Jambi dengan menelan dana lebih kurang sebesar Rp1,5 triliun. Secara rinci, dana Rp1,5 triliun itu digelontorkan untuk dua tahun anggaran, yaitu tahun 2023 sebanyak Rp600 miliar dan tahun 2024 Rp850 miliar.
Selain merevitalisasi reruntuhan situs candi, pemerintah juga melakukan pembangunan komplek museum di kawasan lahan sekuas 10 hektare. Di dalam komplek museum itu juga dibangun fasilitas penunjang lainnya.
Melalui upaya ini, Hilmar bulang, pemerintah tidak sekadar memperbaiki infrastruktur fisik, tetapi juga berkomitmen untuk melakukan kajian mendalam peradaban Candi Muaro Jambi yang hilang melalui ekskavasi benda sejarah, mengidentifikasi makna-makna budaya dan sejarah yang terkandung di dalamnya.
"Pada akhirnya tujuannya untuk mengembalikan kawasan situs Muaro Jambi menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan yang menyenangkan bagi publik," ujar Hilmar.
Kawasan Candi Muaro Jambi kata Hilmar menjelaskan, memiliki makna sejarah yang sangat dalam, merepresentasikan keunikan tradisi spiritual dan pendidikan Buddhisme di Asia Tenggara. Kompleks ini mencakup candi tinggi dan rendah, serta stupa besar yang mencapai ketinggian 27 meter, yang semuanya dibangun tanpa menggunakan semen atau bahan perekat modern.
Kawasan ini menjadi kompleks percandian Buddha terbesar di Asia Tenggara, membentang sepanjang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batanghari dan mencakup 8 desa penyangga.
Kini keberadaan Candi Muaro Jambi lebih dari sekadar destinasi spiritual. Candi Muaro Jambi adalah warisan leluhur masa lampau dengan segala pengetahuannya membangun peradaban bangsa yang adi luhung.
Sementara itu, Gubernur Jambi Al Haris, mengucapkan rasa syukurnya atas proses revitalisasi yang dilakukan. “Sesuai arahan Pak Presiden, candi ini kita revitalisasi dan kembalikan fungsi sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan dan akan menjadi magnet wisata yang besar bagi Jambi," ujar Al Haris.
Apa Kabar UNESCO, dan Stockpile Batu Bara?
Kini di tengah menyisakan kejayaan peradaban masa lampau dan upaya revitalisasi besar-besaran, situs Percandian Muarajambi yang menyandang predikat Cagar Budaya Nasional itu masih terancam oleh aktivitas berbagai industri.
Aktivis cum Pegiat Budaya Muaro Jambi Mukhtar Hadi mengingatkan agar revitalisasi yang dilakukan bukan sebatas proyek semata. Borju--sapaan akrab Mukhtar Hadi, revitalisasi harus sejalan pengembangan sumber daya manusia di desa penyangga Muaro Jambi.
Selain itu, revitalisasi harus dilakukan sejalan dengan tradisi dan aktivitas yang pernah dilakukan masyarakat setempat. Dia juga warga seharusnya dijadikan subjek dari revitalisasi, dan tidak hanya objek proyek semata. "Jangan sampai atas nama revitalisasi malah menggerus aktivitas warga yang sejak lama mencari sumber ekonomi di candi. Sehingga jadinya warga tidak merasa memiliki warisan leluhurnya," ujar Borju.
Borju mengatakan, sah-sah saja bila pemerintah ingin menjadikan Kawasan Candi Muaro Jambi melebihi Angkor Wat. Namun, pemerintah harus ingat bahwa masih ada dampak buruk yang menyelimuti kawasan akibat kehadiran stokcpile batu bara di kawasan itu.
Pun kawasan Candi Muaro Jambi telah masuk daftar tunggu untuk ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia atau world heritage. Sejak 2009 diusulkan dan bernomor registrasi 5.695, Cagar Budaya Muarajambi tak kunjung ditetapkan menjadi warisan budaya dunia.
Upaya mendapatkan pengakuan UNESCO, kata Borju dipastikan bisa gagal kalau pemerintah tidak mampu memindahkan stockpile batu bara keluar dari komplek percandian.
"Seharusnya kita bisa lihat lagi kenapa UNESCO tidak kunjung menetapkan Muaro Jambi sebagai warisan dunia, padahal sudah lama masuk daftar tunggu. Saya kira ini karena masih ada aktivitas industri yang merusak lingkungan, sehingga UNESCO enggan," kata Borju.
Advertisement
Senarai Kisah Muaro Jambi
Berada di tepi aliran Batanghari–sungai terpanjang di Sumatera yang melewati Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, banyak tinggalan peradaban tua masih tersisa. Bangunan candi-candi di Muaro Jambi itu tersebar dari barat ke timur sepanjang 7,5 kilometer mengikuti aliran Batanghari.
Arsitektur purba berupa candi-candi terpendam berabad-abad silam. Sebagian reruntuhan bangunan telah dipugar dan dibuka untuk wisatawan. Sementara masih ada puluhan gundukan tanah yang di dalamnya menyimpan struktur bangunan kuno.
Keberadaan Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi pertama kali diketahui dari laporan S.C. Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris dalam sebuah lawatannya ke Hindia Timur pada 1820. Crooke mendapat laporan dari warga sekitar yang menemukan struktur bangunan candi dan benda-benda purbakala.
Banyak peneliti dan sejarawan abad modern menafsirkan peninggalan bangunan-bangunan candi di kompleks percandian Muaro Jambi yang berada di tepian Sungai Batanghari itu dengan sebutan Mahavihara.
Kawasan tersebut juga dulunya disebut-sebut menjadi pusat pendidikan agama Buddha abad VII-XIII, yang terluas di Indonesia dan Asia Tenggara.
Dahulu pada tahun 671 Masehi, seorang pengelana asal Tiongkok I-Tsing, atau Yi Jing, mencatat, ribuan biksu dari Thailand, India, Srilanka, Tibet, Cina, datang ke Muaro Jambi untuk memperdalam ilmu sebelum ke Nalanda (saat ini kawasan Bihar di India).
Peradaban Muaro Jambi ribuan tahun silam memang sudah kesohor. Dalam sejarahnya, sebagaimana ditulis Swarnadwipa Muaro Jambi (Sudimuja), Maha Guru Buddha Atisa Dipamkara Shrijnana pernah tinggal dan belajar di Muaro Jambi, Sumatera, selama 12 tahun lamanya, atau sekitar tahun 1011-1023 Masehi.
Atisa adalah seorang yang berperan penting dalam membangun gelombang kedua Buddhisme dari Tibet. Ia pernah menjadi murid dari guru besar Buddhis, yakni Guru Swarnadwipa, Serlingpa Dharmakirti.
Selama menghabiskan waktunya di Muaro Jambi, Atisa belajar kepada gurunya, Serlingpa Dharmakirti, tentang Boddhi Citta (batin pencerahan) yang berdasarkan cinta kasih dan welas asih.
Kawasan percandian Muaro Jambi tercatat memiliki 82 reruntuhan candi (menapo). Saat ini sudah ada sejumlah bangunan candi yang telah dilakukan pemugaran dan ekskavasi. Di antaranya adalah Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembar Batu, Candi Gedong I, Gedong II, Candi Tinggi I, Tinggi II, Candi Teluk, Candi Koto Mahligai, dan Candi Kedaton.
Seiring dengan sejarah dan tinggalan peradaban pada masa lampau itu, situs Muaro Jambi kini terus berkembang sebagai destinasi wisata unggulan di Indonesia. Tak hanya wisatawan umum, situs Muarajambi pada masa sekarang juga masih sering dikunjungi bhikshu dari berbagai negara.