Tak Terbuka ke Publik, BP Tapera Bisa Disanksi

KIP menghimbau kepada masyarakat Indonesia yang ingin memperoleh informasi mengenai Tapera bisa meminta secara resmi kepada pemerintah terkait.

oleh Tira Santia diperbarui 06 Jun 2024, 11:32 WIB
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho (kiri) bersama Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Presiden, Prita Laura saat menjelaskan polemik terkait iuran Tapera. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Informasi Pusat (KIP) akan memberikan sanksi kepada BP Tapera maupun Kementerian terkait yang tidak membuka akses informasi mengenai perluasan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kepada masyarakat.

Komisioner Komisi Informasi Pusat RI Rospita Vici Paulin, menjelaskan, peran KIP sebenarnya pasif yakni tidak bisa sembarang memberikan sanksi kepada Kementerian Lembaga begitu saja. Melainkan, KIP akan bergerak aktif jika menerima laporan dari masyarakat terkait kesulitan memperoleh informasi mengenai suatu hal yang sifatnya publik.

"Bahwa keberadaan KIP pasif, jadi kami ketika ada masyarakat yang meminta informasi dan kemudian mengalami hambatan dapat melapor ke KIP dan kami akan melakukan sidang sengketa informasi yang putusannya setara dengan putusan pengadilan," kata dalam diskusi pbulik KIP 'Kupas Tuntas Transparansi Tapera, di Jakarta, dikutip Kamis (6/6/2024).

Vici menyebut, tugas utama KIP adalah melakukan monitoring evaluasi terhadap Kementerian-kementerian yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan dana Tapera ini, untuk melihat sejauh mana ketebukaan itu dilakukan kepada publik.

Selain itu, KIP menghimbau kepada masyarakat Indoensia yang ingin memperoleh informasi mengenai Tapera bisa meminta secara resmi kepada pemerintah terkait. Jika Pemerintah atau badan publik maupun yang bersentuhan dengan Tapera tidak mau memberikan informasi yang publik minta, maka publik bisa melapor ke KIP.

"KIP bisa memaksa badan publik tersebut untuk memberikan informasi yang diminta, sepanjang infromasinya terbuka dan badan publiknya tidak memberikan maka akan ada sanksi pidana yang bisa dikenakan kepada siapa saja yang menghambat masyarakat mendapatkan informasi," ujarnya.

Seharusnya, kata Vici, Pemerintah menyampaikan kepada publik apa yang menjadi dasar atau pertimbangan menyangkut undang-undang apa yang menjadi dasar atau pertimbangan sehingga diambilnya kebijakan, yang kemudian seluruh masyarakat Indonesia yang masuk dalam pekerja harus diwajibkan untuk mengikuti atau kepersertaan Tapera.

"Ketika presiden menetapkan PP 21 tahun 2024, dimana Tapera itu berbasis simpanan berlandaskan gorong royong. Nah, yang jadi pertanyaan di masyarakat ketika sifatnya gotong royong disitu ada kata wajib. Yang artinya masyarakat bisa berpikir bahwa ada pemaksaan di sini Kenapa sifatnya gotong royong kemudian Itu diwajibkan semua orang harus menjadi peserta," pungkasnya.

 


Tolak Iuran Tapera, Ribuan Buruh Geruduk Istana Negara Hari Ini

Presiden Partai Buruh yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal saat menggelar aksi Hari Buruh Internasional atau May Day di Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat pada Rabu (1/5/2025). (Liputan6.com/Ady Anugrahadi)

Ribuan buruh akan menggelar aksi demonstrasi di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/6/2024) hari ini. Hal ini dilakukan untuk menolak iuran tabungan perumahan rakyat atau iuran Tapera.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan, ada berbagai elemen organisasi buruh yang terlibat asal Jabodetabek. Beberapa diantaranya, KSPI, KSPSI, KPBI, dan juga Serikat Petani Indonesia (SPI) serta organisasi perempuan PERCAYA.

"Aksi dimulai pukul 10.00 dengan titik kumpul di depan Balaikota dan begerak ke Istana melalui kawasan Patung Kuda," kata Said Iqbal dalam keterangannya, Kamis (6/6/2024).

Menurutnya, kebijakan Tapera merugikan dan membenani pekerja dengan iuran. Di mana meski setelah dipotong selama 10 hingga 20 tahun, buruh tetap saja tidak memberikan kepastian bisa memiliki rumah.

Selain itu, dia menegaskan Pemerintah dinilai lepas tanggung jawab dalam menyediakan rumah melalui skema iuran Tapera. Hal ini karena Pemerintah hanya bertindak sebagai pengumpul iuran, tidak mengalokasikan dana dari APBN maupun APBD.

"Permasalahan lain adalah dana Tapera rawan dikorupsi, serta ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana," ujarnya.

Selain aksi menolak PP Tapera, isu lain yang diangkat dalam aksi ini adalah Tolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) Mahal, Tolak KRIS BPJS Kesehatan, Tolak Omnibuslaw UU Cipta Kerja, dan Hapus OutSourching Tolak Upah Murah (HOSTUM).


Biaya UKT Hingga BPJS Kesehatan

Massa buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) demo di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (12/5/2022). Aksi tersebut untuk memperingati May Day serta menolak Omnibuslaw UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dan meminta klaster ketenagakerjaan kembali ke substansi UU Nomor 13 Tahun 2003. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pendidikan, yang seharusnya menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih baik, kini menjadi beban yang menghimpit akibat Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal. Akibatnya, bagi anak-anak buruh, mimpi untuk meraih pendidikan tinggi menjadi semakin sulit dengan biaya yang terus melambung.

Terkait Kamar Rawat Inap Standar (KRIS), buruh berpendapat kebijakan ini justru menurunkan kualitas layanan kesehatan dan akan semakin memperburuk pelayanan di rumah sakit yang sudah penuh sesak.

"Buruh menuntut pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan memastikan pelayanan kesehatan yang adil dan layak bagi seluruh rakyat," katanya.

Penolakan terhadap Omnibuslaw UU Cipta Kerja juga disuarakan. Beleid yang diklaim akan mendorong investasi ini, bagi para buruh, adalah simbol ketidakadilan yang melegalkan eksploitasi.

Infografis Syarat Peserta, Besaran Iuran dan Pencairan Dana Tapera. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya