Rupiah Perkasa Lawan USD 6 Juni 2024, Diramal Menguat ke 16.200

Rupiah ditutup menguat 23 point dalam perdagangan Kamis sore, 6 Juni 2024.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 06 Jun 2024, 18:17 WIB
Seorang warga menjual uang dolar Amerika Serikat di salah satu gerai money changer di Jakarta, Senin (4/7/2022). Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan mendekati lagi Rp15.000 per USD 1 dan menjadi salah satu yang terburuk. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Indeks dolar Amerika Serikat atau USD kembali menguat hari ini pada Kamis, 6 Juni 2024.

USD menguat di tengah kekhawatiran adanya perlambatan pada ekonomi AS, yang dapat memberikan prospek inflasi yang lebih lemah dan memberikan kepercayaan diri yang lebih besar kepada The Fed untuk mulai menurunkan suku bunganya.

 "Hampir dua pertiga ekonom kini memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga pada bulan September, menurut jajak pendapat Reuters pada tanggal 31 Mei-5 Juni, mengimbangi berita penurunan pasokan baru-baru ini," kata Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi dalam keterangan tertulis pada Kamis (6/6/2024).

Namun, kemungkinan penurunan suku bunga melemah karena aktivitas sektor jasa AS, yang menyumbang sebagian besar output perekonomian AS kembali tumbuh pada bulan Mei 2024.

"Investor sekarang menantikan pertemuan Bank Sentral Eropa (ECB) pada hari Kamis, di mana bank tersebut diperkirakan akan menurunkan suku bunga depositonya dari rekor tertinggi sebesar 4%.  terus moderat," ungkap Ibrahim.

Selain itu, sentimen terhadap Tiongkok juga memburuk dalam beberapa sesi terakhir karena para pedagang menunggu lebih banyak isyarat mengenai rencana negara tersebut untuk menopang pertumbuhan ekonomi.

Rupiah menguat pada Kamis, 6 Juni 2024

Rupiah ditutup menguat 23 point dalam perdagangan Kamis sore (6/6), yang sebelumnya sempat melemah 10 point dilevel 16.263 dari penutupan sebelumnya di level 16.286.

"Sedangkan perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup menguat direntang 16.220 - 16.200," Ibrahim memproyeksi.

 

Disclaimer: artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan dari seorang pengamat. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

 


Pemerintah Bakal Gabungkan Ditjen Pajak dan Bea Cukai

Ilustrasi pajak (Istimewa)

Pemerintah berencana menggabungkan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai menjadi Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN), sesuai dengan program kampanye Prabowo-Gibran saat debat pilpres 2024.

Tujuan dari penggabungan tersebut adalah mengarah kepada pengurangan defisit sehingga dalam pemerintahanqn baru, dan utang tidak semakin menggunung. 

Ibrahim menyoroti, potensi penerimaan negara masih sangat besar hingga sekitar Rp.500 triliun, namun bukan dari menambah beban masyarakat dengan kenaikan tarif-tarif pajak.  

Salah satunya, penerimaan utama dari pajak masih dapat dijaring dengan memperkecil ruang gerak shadow economy/ bayangan ekonomi, dengan memperhitungkan, dari posisi produk domestik bruto (PDB) Indonesia 2023 di level Rp. 20.892 triliun, sebanyak 60% atau sekitar Rp. 12.000 triliun merupakan konsumsi rumah tangga, jelasnya.

Adapun konsumsi rumah tangga yang terekam dalam pendapatan negara dari komponen Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM) pada 2023, hanya senilai Rp. 737,64 triliun. 

 


Pengamat: Pemerintah Perlu Maksimalkan Kinerja BUMN

Ilustrasi uang rupiah. (Gambar oleh iqbal nuril anwar dari Pixabay)

"Pemerintah perlu mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menghasilkan pendapatan yang lebih banyak untuk negara, dari Rp10.000 triliun total aset milik BUMN, perusahaan pelat merah tersebut hanya menyumbang sedikit kepada pendapatan negara," kata Ibrahim.

"Melihat pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari BUMN, tercatat hanya Rp. 82,06 triliun. Pemerintah juga (perlu) untuk memaksimalkan aset-aset milik BUMN untuk mengerek penerimaan negara.  Untuk itu, dengan adanya BPN yang memisahkan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai dari Kementerian Keuangan dapat mendesain hal-hal tersebut," jelas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya