Sekjen PBB Antonio Guterres Sebut Dunia Makin Jauh dari Target Pembatasan Pemanasan Global

Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan, 1 persen negara terkaya mengeluarkan polusi sebanyak dua pertiga dari seluruh umat manusia.

oleh Tim Global diperbarui 07 Jun 2024, 21:18 WIB
Mantan Perdana Menteri Portugal, Antonio Gutteres yang disebut-sebut sebagai calon tunggal pengganti Sekjen PBB Ban Ki-Moon. (Portugal-India.com)

Liputan6.com, New York City - Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Rabu (5/6/2024) mengatakan, dunia sedang berada pada momen genting untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015.

Dalam perjanjian itu terdapat kesepakatan untuk membatasi pemanasan global, di saat Bumi mengalami 12 bulan terpanas secara berturut-turut dalam sejarah, dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (7/6/2024).

"Kenyataannya, hampir sepuluh tahun sejak Perjanjian Paris diberlakukan, target untuk membatasi pemanasan global jangka panjang hingga 1,5 derajat Celcius masih menggantung di ujung tanduk," kata Antonio Guterres di Museum Sejarah Alam Amerika di New York.

"Organisasi Meteorologi Dunia melaporkan hari ini bahwa ada kemungkinan 80% suhu rata-rata tahunan global akan melebihi batas 1,5 derajat dalam setidaknya satu dari lima tahun ke depan," katanya.

"Kita sedang bertaruh dengan planet kita," ujarnya.

Sekjen PBB juga mengatakan bahwa 1% negara terkaya mengeluarkan polusi sebanyak dua pertiga dari seluruh umat manusia.

Ia juga mengatakan bahwa Bumi menghasilkan sekitar 40 miliar ton karbon dioksida setiap tahunnya dan akan menghabiskan anggaran karbon yang tersisa sekitar 200 miliar ton sebelum tahun 2030.

Guterres kemudian menyebutkan bahwa emisi global harus turun sebesar 9% setiap tahun antara saat ini dan 2030 untuk menjaga batas 1,5 derajat Celcius. Tahun lalu, emisi global naik 1%.

Biaya untuk krisis iklim akan terus bertambah tanpa adanya tindakan yang berarti.

"Meskipun besok emisi mencapai nol, sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa kekacauan iklim masih akan menelan biaya setidaknya US$ 38 triliun per tahun pada tahun 2050," kata Guterres.

 

 


Bahan Bakar Fosil

Sekjen PBB, Antonio Gutteres dalam sambutan pembukaan di acara Bali Democracy Forum secara virtual pada Kamis (10/12/2020). (Dok: Screenshot Youtube MOFA Indonesia)

Krisis iklim telah menjadi isu utama dalam masa jabatan Guterres sejak ia menjadi diplomat tertinggi di dunia tujuh setengah tahun yang lalu. Ia telah berulang kali menyerukan penghentian penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil lainnya dan beralih ke energi terbarukan yang lebih bersih seperti tenaga angin dan tenaga suryag yang telah menghasilkan hampir sepertiga kapasitas listrik dunia.

Dia menyampaikan peringatannya dengan mendesak bank-bank untuk berhenti membiayai proyek-proyek minyak, batu bara dan gas dan sebagai gantinya berinvestasi pada energi terbarukan.

Ia juga meminta negara-negara untuk melarang iklan dari produsen bahan bakar fosil dan mengatakan bahwa platform berita dan teknologi harus berhenti menerima iklan mereka.

"Saya menyerukan kepada para pemimpin industri bahan bakar fosil untuk memahami bahwa jika Anda tidak berada di jalur cepat menuju transformasi energi bersih, Anda membawa bisnis Anda ke jalan buntu dan menyeret kita semua," ujar Sekjen PBB.

Guterres menambahkan bahwa industri minyak dan gas hanya menginvestasikan 2,5% dari total pengeluaran untuk energi bersih pada tahun lalu. Ia mendesak perusahaan-perusahaan hubungan masyarakat dan pelobi untuk berhenti mendukung industri "penghancuran planet" ini dan meninggalkan klien-klien tersebut.

"Banyak orang di industri bahan bakar fosil yang tanpa malu-malu melakukan greenwashing, bahkan ketika mereka berusaha untuk menunda aksi iklim - dengan lobi, ancaman hukum, dan kampanye iklan yang besar-besaran," katanya.

 


Menyamakan Upaya

Ilustrasi perubahan iklim. (Dok. Pixabay)

Sekretaris Jenderal PBB menegaskan kembali pendiriannya bahwa mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap krisis iklim adalah mereka yang paling menderita.

Terutama negara-negara miskin di Afrika dan negara-negara kepulauan kecil. Negara-negara ekonomi utama G20 menghasilkan 80% emisi dunia.

"Sangat memalukan bahwa mereka yang paling rentan dibiarkan terlantar, berjuang mati-matian untuk menghadapi krisis iklim yang tidak mereka ciptakan," katanya.

Guterres memperingatkan bahwa perbedaan antara 1,5 dan 2 derajat dapat berarti kelangsungan hidup atau kepunahan bagi beberapa negara kepulauan kecil dan masyarakat pesisir.

"1,5 derajat bukanlah sebuah target. Itu bukan tujuan. Ini adalah batas fisik," katanya.

Pemanasan global telah merusak lautan di planet ini, terumbu karang dan ekosistem laut, serta mencairnya es laut. Di seluruh dunia, banjir besar, kekeringan, gelombang panas, kebakaran hutan, dan bencana lain yang berhubungan dengan iklim menjadi semakin sering terjadi.

Sekretaris Jenderal PBB mengatakan bahwa harus ada lebih banyak pembiayaan dan dukungan teknis dari negara-negara kaya untuk mengurangi dampak iklim dan berinvestasi pada energi terbarukan bagi negara-negara berpenghasilan rendah.

Ia juga mengatakan bahwa sistem peringatan dini global harus tersedia pada tahun 2027, untuk melindungi semua orang di Bumi dari cuaca, air, dan iklim yang berbahaya.

Dia mendesak warga untuk terus membuat suara mereka didengar dan mengatakan bahwa inilah saatnya bagi para pemimpin untuk memutuskan di pihak siapa mereka berada.

"Sekarang adalah waktunya untuk menggerakkan; sekarang adalah waktunya untuk bertindak; sekarang adalah waktunya untuk menyampaikan," ujarnya yang disambut tepuk tangan meriah. "Ini adalah momen kebenaran kita."

INFOGRAFIS JOURNAL_ Berbagai Polusi Berdampak pada Perubahan Iklim (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya