Liputan6.com, Jakarta Harga minyak dunia naik untuk hari kedua pada hari Kamis (6/6), menyusul pemangkasan suku bunga Bank Sentral Eropa (ECB) yang diputuskan pertama kalinya sejak tahun 2019. Lantas, apa lagi yang menggerakkan harga minyak?
Para pedagang kini memperkirakan Federal Reserve atau The Fed akan mengambil langkah yang sama pada bulan September mendatang.
Advertisement
Melansir CNBC International, Jumat (7/6/2024) harga minyak dunia ditutup lebih tinggi lebih dari 1% pada hari Rabu (5/6) waktu AS, menghentikan penurunan beruntun yang dipicu oleh keputusan OPEC+ untuk meningkatkan pasokan pada akhir 2024.
Pergerakan harga minyak yang lebih tinggi juga terjadi setelah data gaji swasta di AS jauh lebih lemah dari perkiraan, sehingga meningkatkan harapan bahwa The Fed akan memangkas suku bunganya.
Harapan Penurunan Suku Bunga
Perdagangan berjangka The Fed kini menunjukkan kemungkinan 70% bahwa bank sentral akan menurunkan suku bunga pada bulan September.
Penurunan suku bunga sekaligus membawa harapan akan pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan permintaan minyak yang lebih kuat.
"Data penggajian swasta bulan Mei kemarin juga menunjukkan perlambatan pasar tenaga kerja yang sangat menyenangkan bagi Federal Reserve," ungkap Tamas Varga, analis di broker minyak PVM dalam catatannya.
"Ekuitas AS naik ke level tertinggi baru dalam sejarah dan dorongan terhadap minyak sangat besar," katanya.
Untuk kontrak bulan Juli, harga minyak West Texas Intermediate dipatok USD 74,66 per barel, naik 59 sen atau 0,8%. Sampai saat ini, minyak AS telah naik 4,2%.
Selanjutnya, harga minyak Berjangka Brent untuk kontrak Agustus dibanderol USD 79,95 per barel, naik 54 sen atau 0,69%. Sampai saat ini, benchmark global telah meningkat 2,52%.
Kemudian Bensin RBOB untuk kontrak Juli sebesar USD 2,36 per galon, naik 0,59% dan harga gas alam dipatok USD 2,87 per seribu kaki kubik atau naik 4%. Sejauh ini, harga gas alam dunia telah naik 14%.
Harga Minyak Pekan Ini Reaksi dari Langkah OPEC
Meski terjadi kenaikan, harga minyak dunia sempat turun sekitar 3% pekan ini setelah delapan anggota OPEC+ yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia sepakat untuk menghentikan pengurangan produksi sebesar 2,2 juta barel per hari mulai Oktober hingga September 2025.
Namun pemulihan selama dua sesi terakhir mungkin mengindikasikan bahwa pasar minyak mulai mendapatkan dukungan, kata Ryan McKay, ahli strategi komoditas senior di TD Securities.
Analis JPMorgan juga mengatakan aksi jual tersebut kemungkinan merupakan reaksi terhadap keputusan OPEC+, meskipun data manufaktur yang lemah dan data pekerjaan yang lemah menimbulkan kekhawatiran terhadap perekonomian AS.
Advertisement
OPEC Diramal Pertahankan Pengurangan Produksi
Namun, Arab Saudi dan Rusia diperkirakan akan mempertahankan pengurangan produksi mereka hingga akhir tahun jika permintaan tidak cukup kuat untuk menyerap tambahan barel, kata analis JPMorgan,
Selain itu, peningkatan persediaan minyak diperkirakan akan berkurang pada kuartal ketiga dengan pemotongan OPEC+ yang masih berlangsung setidaknya hingga Oktober.
"Kami pikir pasar minyak bereaksi berlebihan terhadap hasil pertemuan OPEC+ yang agak negatif," kata analis Barclays, Amarpreet Singh, kepada kliennya dalam catatan kepada kliennya.
"Indikator permintaan memang agak melemah akhir-akhir ini, namun menurut pandangan kami tidak terlalu menurun," jelas dia.