Luhut: Tak Perlu BTS Lagi karena Sudah Ada Starlink, Ini Kata Pengamat

Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan dengan masuknya Starlink tak perlu lagi ada Base Transceiver Station (BTS). Ini kata pengamat kebijakan publik.

oleh Iskandar diperbarui 07 Jun 2024, 10:00 WIB
Internet satelit Starlink. Liputan6.com/Iskandar

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan dengan masuknya Starlink tak perlu lagi ada Base Transceiver Station (BTS).

“Kalau kita lihat kemarin ini, apa namanya BTS-BTS itu, sekarang enggak perlu ada BTS. Wong sudah ada Starlink,” kata Luhut saat diskusi dalam acara bertajuk 'Ngobrol Seru: Ngobrol yang Paten-paten Aja Bareng Menko Marves', dikutip dari YouTube IDNTimes, Jumat (7/6/2024).

Ia bahkan meminta seluruh perusahaan telekomunikasi, baik BUMN maupun swasta untuk bisa bersaing dengan Starlink.

BTS sendiri merupakan infrastruktur telekomunikasi yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara perangkat komunikasi dan jaringan operator.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, menilai bahwa pernyataan Luhut itu akan membuat investasi yang telah dilakukan Kominfo melalui BAKTI jadi mubazir.

"Untuk menyediakan layanan telekomunikasi di daerah 3T, pemerintah melalui Kominfo telah menggelontorkan dana triliunan untuk membangun Palapa Ring: Palapa Ring Timur, Palapa Ring Tengah maupun Palapa Ring Barat. BAKTI Kominfo juga telah mengeluarkan investasi yang cukup fantastis guna membuat satelit SATRIA," katanya.

Ia menambahkan, jika Luhut benar-benar mengalihkan komunikasi di daerah 3T menggunakan Starlink, justru negara akan rugi.

"Investasi yang dilakukan dengan menggunakan dana Universal Service Obligation (USO) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan sia-sia. Justru itu akan membuka potensi kerugian negara yang jauh lebih besar,” Trubus menerangkan.

Pernyataan Luhut yang menyatakan kehadiran Starlink akan membuka kesempatan pelaku usaha telekomunikasi untuk dapat berkompetisi, juga dinilai Trubus tidak tepat.

"Jika Luhut ingin perusahaan telekomunikasi dapat berkompetisi dengan giant tech global, pemerintah harusnya menyehatkan industrinya terlebih dahulu. Terlebih mayoritas perusahaan telekomunikasi di Indonesia adalah UMKM," ujarnya.

 


Beban Regulasi di Operator Telekomunikasi

Ilustrasi BTS. Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat

Menyehatkan industri telekomunisi yang dimaksud Trubus adalah seperti memberikan kemudahan operator telekomunikasi untuk berinvestasi di daerah.

"Sebab saat ini banyaknya retribusi dan biaya sewa yang dibebankan perusahaan telekomunikasi oleh pemerintah daerah ketika menggelar jaringan fiber optic. Selain itu harusnya Luhut dapat memangkas regulatory cost di sektor telekomunikasi sebelum Starlink beroperasi di Indonesia," ia menjelaskan.

Untuk diketahui, saat ini beban regulasi yang cukup besar di perusahaan telekomunikasi antara lain Biaya Hak Penggunaan (BHP) telekomunikasi, BHP frekuensi, dan dana USO.

Tak hanya beban regulasi, perusahaan telekomunikasi juga diharuskan untuk mendukung program pemerintah. Contohnya saat pandemi Covid-19, mereka harus memberikan subsidi pulsa agar pembelajaran jarak jauh dapat dilakukan.

Perusahaan telekomunikasi juga kerap dikenakan pungutan tak resmi, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.

"Dengan beban tersebut, saya yakin tak ada satu pun perusahaan telekomunikasi yang mampu berkompetisi dengan Starlink. Terlebih lagi perusahaan besutan Elon Musk itu memiliki kapital yang sangat besar," imbuhnya.


Investasi Elon Musk di Indonesia cuma Gimik?

Peluncuran Starlink di Puskesmas Sumerta Kelod, Bali untuk menandai digitalisasi fasilitas kesehatan di pedesaan. (AP Photo/Firdia Lisnawati)

Trubus menuturkan, sudah puluhan tahun investasi besar telah dikeluarkan operator guna mendukung program pemerintah menyediakan layanan telekomunikasi.

"Apa iya pemerintah tak membutuhkan mereka lagi dan akan beralih ke Starlink yang baru di Indonesia. Apalagi niat investasi mereka di Indonesia sekadar gimik belaka," ujarnya.

Sebagai pejabat di negara terbesar di ASEAN dan berdaulat penuh, Trubus menyebut harusnya Luhut dan pejabat Kominfo tak perlu menjadi corong untuk membela Starlink.

Ia melihat pembelaan yang dilakukan Luhut dan pejabat di Kominfo membuktikan iklim investasi di Indonesia ada permasalah serius sehingga tak menarik bagi investor asing, khususnya investor dari Amerika.

“Mestinya Luhut dan pejabat Kominfo tak membela dan menjadikan Starlink anak emas. Jika iklim investasi di Indonesia menarik, pasti banyak pihak asing akan berinvestasi," Trubus memungkaskan.


Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)

Infografis 10 Negara Pertama dan 10 Pengguna Terbaru Starlink. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya