Soal All Eyes On Papua, AHY: Pembangunan Papua Harus Libatkan Masyarakat Adat

AHY memastikan pembangunan di Papua akan melibatkan masyarakat adat dan juga tepat sasaran bagi orang asli Papua.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 07 Jun 2024, 20:08 WIB
Menteri ATR/Kepala BPN, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan capaiannya dalam 100 hari kerja di pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. (Liputan6.com/Delvira Hutabarat)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) angkat bicara soal tagar All Eyes On Papua yang tengah ramai di media sosial. 

AHY mengaku, pemerintah Indonesia ingin membangun Papua agar tidak tertinggal dari daerah lain di Indonesia.

"(Papua) diperlakukan adil, tidak dinomorduakan dan justru kita fokus pada mengejar ketertinggalan dibandingkan daerah-daerah lain," ujar dia.

Oleh karena itu, AHY memastikan pembangunan di Papua akan melibatkan masyarakat adat dan juga tepat sasaran bagi orang asli Papua.

"Kebijakan pembangunan ekonomi di papua itu harus benar-benar tepat sasaran, melibatkan semua kalangan, masyarakat setempat, orang asli Papua, masyarakat adat, suku-suku yang ada di sana, libatkan proses pembangunan," ujar AHY.

Untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan, lanjut AHY, pemerintah memiliki kebijakan-kebijakan strategis yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi, membuka lapangan kerja, hingga menghadirkan ketahanan pangan.

"Yang penting bagi saya, bagaimana semuanya ditetapkan, dengan melibatkan semua warga Papua asli di sana, yang jelas dimengertikan bahwa tujuan pembangunan itu untuk kesejahteraan masyarakat setempat dan berkontribusi pada ekonomi nasional. Ya ini yang bisa kami jelaskan, tentu juga harus bersabar, harus juga dengan ketulusan dan dimengerti," katanya.

"Kami kementerian ATR/BPN tidak ingin berkomentar terlalu jauh, termasuk urusan politiknya, tapi yang jelas kami secara prinsip ingin memberikan dukungan bagi pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan juga kita ingin menjaga kedaulatan dan juga rasa nyaman bagi masyarakat," pungkas Agus Harimurti Yudhoyono.   


Tagar All Eyes on Papua Menggema

Tagar All Eyes on Papua Menggema di Media Sosial. Soroti Soal Penyerobotan Hutan Adat.  foto: Twitter @ibebrumbrapuk

Usai All Eyes On Rafah jadi trending di media sosial (medsos), kini warganet banyak yang mengunggah poster dan tagar All Eyes On Papua. Bantu suarakan aspirasi suku adat Papua mendapatkan haknya kembali. Seruan untuk memperhatikan kondisi Papua menggema di media sosial, khususnya di Twitter atau X dan sedang menjadi trending topic sampai saat ini.

Dalam unggahan akun @tanyakanrl, 31 Mei 2024, disebutkan bahwa hak-hak masyarakat Papua tengah direnggut paksa oleh penguasa. Unggahan yang disertai poster bertuliskan “All Eyes on Papua” itu viral dan sudah dilihat lebih dari 1,1 juta kali dan disukai lebih dari 47 ribu kali.

Ada berbagai keterangan dalam tiap poster yang beredar bahkan ada yang ditulis dalam bahasa Inggris. Salah satu poster memperlihatkan sebuah kondisi hutan tandus di atas tanah kering. Ada juga ilustrasi orang yang menggambarkan masyarakat adat Papua yang berada di antara pohon-pohon kering tersebut.

Dalam unggahan itu juga dituliskan warganet diminta menggaungkan tagar All Eyes on Papua sebagai bentuk dukungan terhadap hak rakyat Papua atas penyerobotan hutan adat yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh penguasa yang serakah. Pada poster lainnya tertulis bahwa hutan di Papua tepatnya di Boven Digul Papua yang luasnya 36 ribu hektar atau lebih dari separuh luas Jakarta akan dibabat habis dan dibangun perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari.

Selain berpotensi menghilangkan hutan alam, proyek perkebunan sawit ini juga menghasilkan emisi 25 juta ton karbon dioksida. Jumlah emisi ini sama dengan menyumbang 5 persen dari tingkat emisi karbon tahun 2030. Dampaknya bukan hanya dirasakan oleh seluruh warga Papua, tetapi berdampak ke seluruh dunia.

 


Suku Adat Awyu dan Moi Paling Terdampak

Perwakilan dari suku adat Awyu dan Moi saat melakukan aksi unjuk rasa meminta Mahkamah Agung mencabut izin perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang akan beroperasi di tanah Papua, pada tanggal 27 Mei 2024. (BAY ISMOYO/AFP)

Masyarakat adat Awyu dan Moi jadi pihak yang paling terdampak imbas pembabatan hutan tersebut. Hutan adalah akar kehidupan yang menyediakan segala kebutuhan sehari-hari bagi rakyat Awyu dan Moi, mulai dari sumber pangan, air, dan hasil hutan lainnya.

Menurut akun Instagram @jktgo, Senin (3/6/2024), masyarakat Maga Woro dan Suku Awyu mengajukan gugatan terkait izin lingkungan kebun sawit PT IAL dengan didampingi Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua.

Proses gugatannya kini sedang bergulir di Mahkamah Agung (MA). Ini menjadi harapan terakhir bagi masyarakat adat Marga Woro dan suku Awyu untuk mempertahankan hutan yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka secara turun temurun.

Dilansir dari Antara, 8 Juni 2022, Suku Moi adalah salah satu suku dari dataran Papua yang tinggal di daerah pesisir utara. Suku Moi kini banyak mendiami sebagian daerah Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Suku Moi terbagi menjadi tujuh sub suku, di antaranya adalah Suku Moi Kelim, Moi Abun That, Moi Abun Jhi, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, dan Moi Maya.


Lestarikan Budaya Egek Sejak Dulu

Pemberian izin perusahaan-perusahaan kelapa sawit berpotensi menebang sekitar 300 kilometer persegi hutan adat suku Awyu dan Moi. (BAY ISMOYO/AFP)

Suku Moi sejak dulu menerapkan budaya Egek, yaitu budaya adat tentang menjaga alam dengan mengambil secukupnya dari alam, termasuk dalam penggunaan mesin yang tidak ramah lingkungan. Maka dari itu, Suku Moi lebih senang menggunakan perahu adatnya dibandingkan dengan perahu bermesin.

Egek, atau Sasi dalam budaya Maluku, merupakan budaya menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan tidak mengambil hasil-hasil alam tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan perjanjian masyarakat sudah lama diterapkan oleh Suku Moi. Esensi dari budaya Egek adalah mengambil secukupnya dari alam dan tidak mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan.

Tidak hanya itu, sebagian Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Moi terutama Moi Kelim yang mendiami Desa Malaumkarta dan Desa Suatolo juga telah menerapkan sumber energi terbarukan dalam penggunaan energi listrik.

Sebelum tahun 2016 silam, MHA Suku Moi Kelim belum tersentuh aliran listrik. Namun setelahnya, masyarakat berinisiatif untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang ramah lingkungan. 


Jangan Serakah dengan Kekayaan Alam

Para perwakilan suku adat Awyu dan Moi meminta Mahkamah Agung mencabut izin perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang akan beroperasi di tanah Papua. (BAY ISMOYO/AFP)

Berkat kegigihan MHA Suku Moi dalam mempertahankan Egek sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup, Suku Moi diakui sebagai kelompok MHA oleh Pemerintah Kabupaten Sorong pada 2017.

Oleh karena itu, MHA Suku Moi berhak atas wilayah kelola yang dilindungi oleh hukum seluas sekitar 4.000 hektare di perairan dan 16.000 hektare di daratan. Biasanya, MHA Suku Moi hanya melaksanakan Buka Egek dengan ritual tradisional khas Suku Moi seperti dengan tarian adat yang bernama tarian a'len.

Pada 2023, MHA Suku Moi melaksanakan Buka Egek sekaligus menggelar acara Festival Egek pada 5-8 Juni 2023. Acara tersebut mendapat dukungan penuh dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun berbagai kementerian serta beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani isu pelestarian lingkungan hidup.

Dari Festival Egek setidaknya dapat ditarik pelajaran bahwa budaya Egek yang menjadi kearifan lokal Suku Moi bisa menjadi contoh bagi masyarakat pada umumnya agar tidak serakah dalam memanfaatkan kekayaan alam. Alam harus dijaga kelestariannya, bukan diekploitasi tanpa memikirkan keberlanjutannya.

Infografis 4 Insiden Penembakan Pesawat Ulah KKB di Papua. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya