Produktivitas Industri Rokok Tergerus, Ini Gara-garanya

Industri Hasil Tembakau (IHT) tengah tertekan akibat kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar double digit yang telah berlangsung selama beberapa tahun belakangan. Kondisi ini dinilai turut memberikan efek berganda seperti tergerusnya penerimaan negara hingga ancaman pemutusan hubungan kerja bagi pekerja.

oleh Septian Deny diperbarui 10 Jun 2024, 12:45 WIB
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

Liputan6.com, Jakarta Industri Hasil Tembakau (IHT) tengah tertekan akibat kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar double digit yang telah berlangsung selama beberapa tahun belakangan. Kondisi ini dinilai turut memberikan efek berganda seperti tergerusnya penerimaan negara hingga ancaman pemutusan hubungan kerja bagi pekerja.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO), Benny Wachjudi, mengatakan kenaikan cukai rokok yang tinggi telah menekan produktivitas industri rokok nasional. Di tahun 2019, produksi rokok tercatat 357 miliar batang dan di tahun 2023 tercatat turun ke 318 miliar batang.

“Produksi rokok putih turun dari 15 miliar batang sekarang sudah tinggal kurang dari 10 miliar batang. Secara nasional, IHT mengalami penurunan jumlah produksi dari 350 miliar batang (sebelum pandemi COVID-19) menjadi di bawah 300 miliar batang setelah pandemi,” ujarnya dikutip Senin (10/6/2024).

Benny menambahkan kondisi penurunan produksi ini juga berdampak terhadap realisasi penerimaan negara dari CHT. Hal ini ditunjukkan oleh tren penerimaan APBN yang menyusut dari periode sebelumnya. Realisasi penerimaan negara dari CHT pada tahun 2023 tercatat sebesar Rp213,48 triliun. Nilai tersebut hanya mencapai 97,78% dari target APBN 2023. Padahal, penerimaan cukai dari rokok selalu berada di kisaran 100% dari target, bahkan melebihi pada tahun-tahun sebelumnya.

Kondisi ini bahkan terus berlanjut hingga periode berjalan tahun ini. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), realisasi penerimaan negara dari segmen cukai yang berhasil dihimpun hingga April 2024, mengalami koreksi sekitar 0,5% year-on-year menjadi Rp74,2 triliun year-on-year. Buruknya, pencapaian ini dipicu oleh merosotnya penerimaan CHT yang berkontribusi 96% dari keseluruhan penerimaan cukai.

Produksi Rokok

Selain itu, Benny melanjutkan bahwa melemahnya produksi rokok maupun penerimaan negara tidak diikuti oleh penurunan jumlah rokok di tanah air. Sebab, konsumen justru beralih ke rokok dengan harga yang lebih murah. “Parahnya lagi banyak konsumen yang beralih ke rokok ilegal yang semakin menjamur,” serunya.

Di kesempatan terpisah, Pengamat Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono, menyampaikan cukai rokok yang tinggi memiliki dampak berganda (multiplier effect) pada penghidupan masyarakat luas, seperti menggerus pemasukan UMKM yang berhubungan dengan rokok.

“Misalnya Warteg, Warkop, dan sebagainya itu sangat bergantung kepada penjualan rokok, Jadi, (kalau harga rokok mahal) mereka akan tergerus (pendapatannya) karena menurunnya kemampuan membeli rokok,” imbuhnya.

 


Tarif Cukai Rokok

Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Menurut Bambang, tingginya tarif CHT juga akan mengancam kestabilan pabrik-pabrik rokok di Indonesia. Jika dibiarkan, ia mengkhawatirkan nasib karyawan di IHT yang berjumlah hingga 5,8 juta jiwa. Ujungnya akan berdampak pula bagi lingkungan yang lebih luas.

“Kalau IHT benar-benar tergerus, dampak multiplier lingkungannya itu lebih dari 5,8 juta karyawan di IHT ini. Misalnya, ada yang tinggal di kos-kosan, nanti tempat makan mereka di samping kanan kirinya dan lain-lain itu akan tergerus juga. Belum lagi para petani tembakau ini pasti kena dampak,” jelasnya.

Untuk itu, Bambang berharap agar cukai rokok tidak lagi mengalami kenaikan yang signifikan pada tahun depan. Menurutnya, jumlah kenaikan double digit yang selama ini diterapkan tidak relevan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2025 yang masih di bawah 10%. “Ini dampaknya banyak, apalagi pertumbuhan ekonomi saja masih di 5 persenan, sementara cukai (rokok) naik di atas 10 persen terus. Itu dampak inflasinya juga besar. Kenaikan 10 persen cukai itu, inflasinya waduh,” terangnya.

Ke depannya, Bambang meminta pemerintah untuk menetapkan kebijakan cukai yang ideal dan berimbang pada IHT dengan melakukan diskusi terlebih dahulu dengan berbagai pihak yang terdampak sebelum menetapkan tarif cukai. “Pemerintah harusnya ada rembukan dengan perwakilan dari masyarakat, misalnya asosiasi pengguna rokok, asosiasi pengusaha rokok. Jadi ini harus dirembuk sama masyarakat dong. Jadi bukan ditentukan kenaikannya begitu saja,” tutupnya.


Jika Cukai Rokok Naik Lagi di 2025, Ini yang Bakal Terjadi ke Keuangan Negara

Ilustrasi rokok ilegal di Banyuwangi (Istimewa)

Ekonom INDEF Ahmad Heri Firdaus meminta pemerintah mengkaji ulang wacana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) di 2025. Pasalnya, kebijakan cukai rokok naik bakal membuat penerimaan negara jadi berkurang.

Bukti ini sudah terjadi pada 2023 ketika pemerintah menaikan CHT rata-rata 10 persen. Kala itu penerimaan negara dari cukai rokok sebesar Rp 213,48 triliun, turun 2,35 persen dari penerimaan di 2022.

"Secara total penerimaan cukai melandai. Jadi katakanlah kenaikan cukai di atas 10 persen, maka kenaikan penerimaannya melandai dari tahun sebelumnya," ujar Heri dalam sesi diskusi di Kota Kasablanka, Jakarta, Rabu (29/5/2024).

Menurut dia, negara memang dihadapkan pada dilema dalam kebijakan cukai rokok ini. Pemerintah harus memilih mana yang harus dikedepankan, penerimaan negara atau kesehatan warganya.

"Kalau kita perhatikan, ada batas titik tertentu dimana cukai itu harus naik. Kalau dia naik terus-terusan, memang konsekuensinya (peredaran rokok) jadi lebih terkendali," ungkapnya.

"Tapi penerimaan secara total mengalami penurunan. Ini terjadi di tahun 2023 kemarin, dimana penurunan cukainya cukup tajam," kata Heri.

 


Kenaikan Cukai Rokok

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Berdasarkan hasil kajiannya, ia memandang pemerintah semustinya bisa menahan dulu wacana kenaikan cukai rokok di tahun depan. Sebab, lonjakan pita cukai juga turut berdampak terhadap sebaran rokok ilegal yang kian menjamur.

"Tahun depan bagaimana nih tarif cukai? Dari studi terdahulu kami, kalau kenaikan cukai cukup tinggi, excessive, maka secara makro akan melandaikan penerimaan cukainya," ucap Heri.

"Kemudian di sisi industrinya ada peluang-peluang bisnis ilegal yang menjamur, karena permintananya ada. Berbicara rokok terhadap anak, rokok ilegalnya dulu diselesaikan agar pengawasannya lebih mudah, karena penjualan rokok ilegal tidak bisa diawasi. Tapi kalau jual rokok di ritel itu kan pengawasannya relatif lebih mudah. Sehingga pengaturan akses rokok terhadap anak bisa lebih dipantau," bebernya.

Infografis Cukai Rokok Naik 10 Persen, Cukai Rokok Elektrik Naik 15 Persen (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya