HEADLINE: Muncul Wacana Amandemen UUD 1945 Presiden Kembali Dipilih MPR, Urgensinya?

Wacana presiden dan wakil presiden kembali dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) seperti sebelum era reformasi menghangat usai dicetuskan Amien Rais.

oleh Muhammad Radityo PriyasmoroAries Setiawan diperbarui 11 Jun 2024, 05:09 WIB
Banner Infografis Muncul Wacana Amendemen UUD 1945 Presiden Kembali Dipilih MPR. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta Wacana presiden dan wakil presiden kembali dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) seperti sebelum era reformasi menghangat usai dicetuskan Amien Rais.

Mantan Ketua MPR RI periode 1999-2004 itu mengungkapkan alasannya mendukung amandemen Undang-Undang Dasar 1945, khususnya terkait sistem pemilihan presiden dan wakil presiden.

"Jadi mengapa saya dulu sebagai ketua MPR melucuti kekuasaan sebagai lembaga tertinggi yang memilih presiden dan wakil presiden, karena dulu perhitungannya agak naif. Sekarang saya minta maaf," ujar Amien Rais dalam jumpa pers bersama pimpinan MPR RI di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 5 Juni 2024.

"Dulu kita mengatakan kalau dipilih langsung one man one vote, mana mungkin ada orang mau menyogok 120 juta pemilih, mana mungkin. Perlu puluhan bahkan ratusan triliun. Ternyata mungkin. Memang kita ini luar biasa. Jadi sekarang kalau mau dikembalikan dipilih MPR, mengapa tidak," kata Amien.

Amien menegaskan, pimpinan MPR pasti punya pertimbangan dalam mengamandemen UUD 1945, terutama yang mengatur sistem pemilihan presiden dan wakil presiden.

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, menurut Amien, bukan hal tabu. Bahkan selama menjabat sebagai ketua MPR, Amien mengaku sudah melakukan empat kali tahapan amandemen UUD 1945.

"Alhamdulillah sesuai dengan konteks waktu itu. Waktu itu satu generasi yang lalu. Tentu sudah berubah. Dan sekarang Pak Bambang Soesatyo, Pak Ahmad Basarah, Pak Fadel Muhammad, ini tentu membawa terus. Kalau mau diamandemen, silakan, sesuai kepentingan zaman," ujar Amien.

Bahkan, Amien menilai, ada satu kalimat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang secara prinsip penting untuk dikembalikan.

"Kalau ada kata-kata 'presiden adalah bangsa Indonesia asli' mau dikembalikan lagi, mengapa tidak. Supaya nanti tidak terjadi ada manusia di luar warga negara, dia punya paspor RI lalu juga punya paspor asing, lalu nyelonong, dengan kekuatan uangnya itu bisa jadi presiden," tuturnya.

Pada kesempatan itu, Amien Rais juga menyinggung sosok yang berperan besar merusak tatanan demokrasi saat ini. Meski begitu, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu tidak menyebut siapa sosok perusak demokrasi yang dimaksud.

"Maaf ya, jadi semua mengatakan ada back sliding democracy, gelontor. Bahkan ada yang mengatakan risk to the bottom. Gara-gara demokrasi yang rusak ini, semua lantas masuk ke jurang yang paling dalam. Saya enggak nyebut nama. Ini memang sosok seseorang yang tampaknya tidak mengerti demokrasi, semua diambil alih ya, 94 persen," ujar Amien Rais.

Sosok ini juga dinilai telah mengubrak-abrik lembaga-lembaga tinggi negara, sehingga tidak berjalan seperti yang seharusnya.

"Lembaga-lembaga tinggi juga dijinakkan, dikooptasi, lantas semua nggih-nggih saja. Sekarang seperti ini keadaannya. Ingat ya, merusak itu lebih mudah. Untuk membangun lebih berat. Jadi saya pikir sudah waktunya, 'goodbye, Sir. Please go back to your asal usul". Kemudian enggak usah cawe-cawe lagi," kata Amiesn Rais.

"Prabowo ambil alih dengan dukungan mayoritas partai politik dan rakyat Indonesia. Mudah-mudahan ada harapan," ucapnya.

Baca juga: Bamsoet Dilaporkan ke MKD DPR Terkait Pernyataan Semua Parpol Setuju Amandemen UUD 1945

Infografis Kilas Balik Pemilihan Presiden RI 1945 hingga 2024. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Kecewa Hasil Pilpres

Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, menilai munculnya wacana amandemen UUD 1945 terkait sistem pemilihan presiden dan wakil presiden, sebagai bentuk kekecewaan terhadap hasil pilpres.

"Maka muncul agenda-agenda untuk kembali ke MPR dalam pemilihan presiden. Kalau secara urgensi, saya melihat lebih kepada kekecewaan saja dengan hasil pilpres, karena memang kalah dalam beberapa kali periode," ujar Arifki kepada Liputan6.com, Senin, 10 Juni 2024.

Dengan momentum itulah, dimunculkan wacana pemilihan presiden kembali dilakukan oleh MPR RI. Meski begitu, Arifki menegaskan, mengubah sistem pemilihan presiden dari terbuka menjadi tertutup, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Justru yang disorot Arifki adalah bagaimana memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat melalui partai politik.

"Karena kan kita mempunyai sejarah kelam terhadap cara pemilu tertutup. Makanya, hal yang paling penting adalah mengedukasi sistem partai politik dan juga rekomendasi partai politik harus bisa lebih baik dengan sistem yang terbuka. Makanya bisa memberi ruang elektoral kepada pemilih yang teredukasi," kata Arifki.

Lalu soal gencarnya politik uang dalam sistem pemilihan langsung, Arifki menilai hal itu karena kurangnya masyarakat teredukasi dengan baik. Bukan hanya itu, partai politik juga berperan besar dalam terjadinya politik uang. Sehingga, selama pendidikan politik tidak berjalan baik, maka politik uang masih akan tetap gencar.

"Saya juga merasa banyak penyebabnya mengapa money politics ini masih terus berkembang. Salah satunya kebiasaan beberapa orang yang langsung saja menerima, apalagi hal itu dilakukan di awal. Maka dari itulah money politics ini terus terjadi di masyarakat," kata Arifki.

 


Ubah Sistem Pemilihan Presiden Bukan Solusi

Ilustrasi Politik Uang (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Analis politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Dedi Kurnia Syah, menilai pemilihan presiden dan wakil presiden melalui MPR, bukanlah solusi. Meskipun diakuinya, pemilihan langsung memiliki risiko cukup besar yakni, politik uang terjadi masif di masyarakat hingga konflik sosial.

"Tetapi mengembalikannya ke MPR bukan solusi, karena praktik semacam itu sudah sama-sama kita rasakan, yakni era otoritarian Soeharto, pembungkaman, hingga kemajuan yang lambat karena minimnya kritik sosial dari publik," ujar Dedi kepada Liputan6.com, Senin, 10 Juni 2024.

Ketimbang mengubah sistem pemilihan, menurut Dedi, seharusnya yang diperkuat adalah proses pemilunya. "Misalnya pemilihan komisioner KPU yang tidak melibatkan parlemen dan presiden, secara penuh diinisiasi publik dan tidak melibatkan seleksi di DPR. Itu contoh salah satu jalan keluar," ucapnya.

Meski demikian, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) itu menyatakan, amandemen memungkinkan terjadi, karena faktanya, koalisi pemenang pilpres cukup dominan di parlemen. Dia pun memaklumi munculnya wacana pemilihan presiden kembali oleh MPR, karena proses pilpres yang semakin memburuk, terutama pada kualitas penyelenggaranya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kata Dedi, diisi oleh tokoh-tokoh yang kualitasnya buruk, tidak merdeka, atau tersandera secara politik oleh kekuasaan. Akhirnya, penyelenggaraan pemilu tidak berkualitas.

"Pemilu langsung masih yang terbaik. Hanya kualitas penyelenggara yang tidak baik. Untuk itu, bukan sistem yang dihilangkan, melainkan perbaikan seleksi komisioner," Dedi menegaskan.

Sementara itu, kelebihan pada pemilihan presiden oleh MPR di antaranya, konsolidasi, minim konflik di tengah masyarakat, tetapi tidak bisa dijadikan solusi atas praktik politik uang.

"Kekurangannya, akan memunculkan kolusi dan korupsi yang tinggi dan suburkan oligarki," ujar Dedi.

 


Sikap Elite Politik

Sekjen PAN menggelar kampanye akbar PAN di Lapangan Semeru Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (4/2/2024). (Dok. Istimewa)

Wacana amandemen Undang-Undang Dasar 1945 terkait sistem pemilihan presiden dan wakil presiden melalui MPR RI, mendapat sorotan tajam dari para elite politik Tanah Air.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno berpandangan yang harus dilakukan adalah perbaikan menyeluruh pada sistem pemilu, penegakan hukum yang konsisten dan pengawasan, bukan tiba-tiba mengubah atau melakukan amandemen.

"Yang harus dilakukan meningkatkan kualitas demokrasi dengan memperbaiki secara menyeluruh sistem pemilu, tegakkan aturan secara konsisten dan perkuat pengawasan. Bukan tiba-tiba melakukan amandemen mengubah sistemnya," kata Eddy dalam keterangannya, Sabtu, 8 Juni 2024.

Menurut Eddy, saat ini demokrasi tengah bertarung bebas melahirkan pragmatisme terutama berkaitan dengan politik uang.

"Untuk memenangkan kursi legislatif dan eksekutif, bahkan pemilihan kepala desa, para kontestan harus merogoh kocek yang semakin dalam, agar memastikan mereka terpilih," ujar Eddy.

"Politik uang membuat beberapa pemilih tidak peduli gagasan visi, misi atau gagasan calonnya. Yang mereka pedulikan adalah calon yang memberikan uang dengan jumlah terbesar, maka dialah yang paling layak mendapatkan suara," lanjutnya.

Melihat fenomena demokrasi seperti itu, Eddy mengajak semua pihak untuk melakukan perbaikan pada sistem demokrasi yang lebih substansial dan tidak terjebak pada prosedural semata.

"Yang perlu dilakukan adalah memperbaiki, bukan menggantinya dengan sistem yang lain," ujar Eddy.

Eddy juga mengajak semua pihak melakukan edukasi politik kepada masyarakat bahwa suara mereka lebih berharga dari sekadar amplop atau sembako yang dibagikan seorang calon.

"Pendidikan politik ini agar masyarakat memilih karena gagasan dan konsep, bukan iming-iming hadiah. Bagaimanapun pendidikan politik adalah tanggung jawab kita bersama sebagai insan politik atau kontestan di dalam pemilihan jabatan publik," terangnya.

Demokrat Masih Kaji Wacana Amandemen

Partai Demokrat tengah mengkaji rencana sistem pemilihan presiden dipilih kembali oleh MPR melalui amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Hal itu disampaikan Sekjen Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya, menanggapi pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo yang mengekliam seluruh fraksi sepakat melakukan amandemen UUD 1945.

"Sampai saat ini kami masih terus mengkaji dan untuk mempelajari positif dan dampak yang musti kita waspadai ini. Tentu sedang dibicarakan di internal Partai Demokrat, tentu melibatkan petinggi Partai Demokrat," kata Riefky kepada wartawan di kawasan Jakarta, Minggu, 9 Juni 2024.

Dia menegaskan, hingga saat ini belum ada arahan dari petinggi Partai Demokrat terkait rencana amandemen UUD 1945. Sebab, partai berlambang mercy itu terus mengkaji setiap perubahan konstitusi.

"Belum (ada arahan), tentu kita akan kaji setiap perubahan-perubahan dari konstitusi kita," jelas Riefky.

Senada, Penasihat Fraksi Partai Demokrat DPR RI Sjarifuddin Hasan turut mengomentari perihal sistem pemilihan presiden dikembalikan oleh MPR lewat amendemen UUD 1945.

"Presiden dipilih langsung oleh rakyat merupakan hak demokrasi dan kedaulatan rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya," kata Syarifuddin Hasan saat dihubungi, Jumat, 7 Juni 2024.

Sehingga, yang perlu dilakukan evaluasi itu disebutnya yakni soal batasan president threshold serta pemilihan legislatif (pileg) hingga pemilihan kepala daerah (pilkada).


PKB Dukung Amandemen UUD 1945

Selain bersilaturahmi, pimpinan MPR RI juga ingin mendengar masukan dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin terkait sejumlah isu kebangsaan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menyatakan mendukung wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Cak Imin menyinggung perlunya mengembalikan kewenangan pemilihan presiden kepada MPR. Awalnya, ia menyinggung pemilihan presiden di Amerika Serikat yang tidak dilakukan langsung seperti di Indonesia, melainkan pemilihan di tingkat distrik.

"Oleh karena itu terhadap usulan adanya pemilihan presiden dikembalikan kepada MPR adalah bagian dari masukan penting agar proses pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak mudah dimanipulasi," kata Cak Imin pada wartawan, Sabtu, 8 Juni 2024.

Meski demikian, Cak Imin mengingatkan pemilihan tetap mengutamakan suara rakyat. Sebab, rakyat harus memiliki hak untuk menentukan pilihan tanpa adanya politik uang.

"Bagaimana posisi pemilihan bisa kita belajar dari negara-negara demokrasi yang tua seperti USA, sehingga mekanismenya akan tidak seliberal ini dan tidak se-money politics ini. Itu perlu kita lakukan penyempurnaan di tingkat konstitusi maupun di tingkat undang-undang," ucap Cak Imin.

Selain terkait pemilihan langsung, Cak Imin juga menyebut hal dalam amandemen UUD 1945 yang patut dipertimbangkan adalah pembatasan kewenangan presiden.

"Misalnya, pembatasan kewenangan presiden. Tidak mungkin akan lahir undang-undang lembaga kepresidenan karena undang-undang lembaga kepresidenan itu adalah yang membuat presiden," kata dia.

"Sehingga dibutuhkan pengaturan pembatasan kewenangan presiden yang tidak terbatas itu dengan menyempurnakan pasal-pasal tentang presiden, misalnya itu, contoh saja," pungkas Cak Imin.


MPR Belum Memutuskan Amandemen UUD 1945

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan bahwa saat ini bangsa Indonesia tengah merasakan ancaman yang luar biasa terhadap karakter serta jati diri bangsa

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan bahwa pimpinan MPR belum memutuskan adanya amandemen UUD 1945. Hal ini disampaikan Bamsoet usai bertemu dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.

"Yang pertama tidak ada ucapan yang disampaikan dari kami pimpinan bahwa kita sudah memutuskan untuk amandemen, tidak ada. Apalagi mengubah sistem pemilihan presiden di MPR," kata Bamsoet di kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Sabtu, 8 Juni 2024.

"Yang ada adalah kami berkunjung menyampaikan berbagai aspirasi yang kami terima," sambungnya.

Aspirasi itu seperti adanya permintaan usulan amandemen terbatas untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dengan menambah dua ayat di dua pasal Undang-Undang Dasar.

"Yang kedua amandemen atau kajian amandemen secara menyeluruh untuk melakukan penyempurnaan. Yang ketiga kembali ke Undang-Undang Dasar sesuai dengan dekrit Presiden 5 Juli 59 beserta penjelasan dan terakhir lagi kemudian aspirasi kembali Undang-Undang Dasar yang asli dan perubahannya melalui adendum," ujar Bamsoet.

"Nah yang terakhir tidak perlu amandemen, karena Undang-Undang Dasar kita hari ini sudah sesuai dan masih cocok," sambungnya.

Ia menjelaskan, perubahan atau amandemen itu harus melalui aturan yang sudah ditentukan oleh undang-undang dasar sesuai dengan Pasal 37, yang diusulkan oleh sepertiga, kuorumnya 2/3 dan seterusnya.

"Jadi yang saya sampaikan atau kami sampaikan pimpinan adalah menyerap aspirasi apa yang berkembang di masyarakat. Itu yang bisa saya sampaikan, jangan sampai ada lagi miskomunikasi. Enggak pernah kita menyampaikan kita akan kembali memilih presiden di MPR, belum, karena kita belum bersidang," tegas Bamsoet.

Terkait dengan adanya aspirasi masyarakat itu datang dari tiga kelompok, salah satunya mengatakan perubahan UUD 1945 di periode 1999 sampai 2002 itu kebablasan.

"Maka mereka mengatakan tidak layak lagi Undang-Undang Dasar 1945 ini disebut sebagai Undang-Undang Dasar 1945, karena perubahan yang sangat fundamental. Maka mereka mengatakan ini undang-undang tahun 2002 bukan undang-undang 1945, lalu reaksinya mereka mengusulkan agar kembali kepada undang-undang dasar yang asli," kata Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah.

Lalu, kelompok masyarakat berikutnya yang mengatakan bahwa UUD 1945 ini sudah cukup baik. Namun, mengingat dinamika masyarakat diperlukan beberapa perubahan-perubahan, dalam hal ini mereka menyebut amandemen ke-5.

"Satu di antaranya teman-teman DPD RI yang mengusulkan tentang positioning DPD RI dalam kelembagaan legislatif di kamar Parlemen Indonesia. Terakhir, berkembang usulan yang mengatakan bahwa bangsa ini perlu kembali memiliki apa yang dulu di zaman Bung Karno disebut pembangunan konsep," kata Basarah.

Infografis Muncul Wacana Amendemen UUD 1945 Presiden Kembali Dipilih MPR. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya