Liputan6.com, Lampung - Ringannya vonis Majelis Hakim terhadap terdakwa Wahyu Wijaya dan Adelia Putri Salma dalam perkara narkotika jaringan Fredy Pratama dinilai tidak memberikan efek jera. Sehingga kejahatan narkotika pun tidak dianggap serius oleh masyarakat.
Wahyu Wijaya ditangkap oleh Mabes Polri dan Polda Lampung di Thailand pada 2023 lalu. Wahyu disebut orang terdekat dari bandar narkoba jaringan internasional, Fredy Pratama.
Advertisement
Wahyu berperan sebagai bagian administrasi yang mengurus pembukuan keuangan Fredy Pratama. Selain itu, Wahyu juga bertugas sebagai supir pribadi dari penjahat kelas kakap tersebut.
Wahyu menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar Lampung, pada Kamis (22/2/2024). Ia dituntut 1 tahun pidana penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan mendapat vonis dari Majelis Hakim dengan pidana penjara hanya selama 10 bulan, pada Senin (3/6/2024).
Kemudian, selebgram cantik asal Palembang, Sumatra Selatan, Adelia Putri Salma yang terlibat dalam perkara narkotika karena menampung uang hasil penjualan narkoba milik suaminya, David alias Kadafi yang terafiliasi oleh jaringan Fredy Pratama juga mendapat vonis ringa dari Majelis Hakim.
Adelia yang menampung uang senilai Rp3,67 miliar dari penjualan narkoba suaminya ini dituntut oleh JPU selama tujuh tahun pidana penjara dan hanya mendapat vonis lima tahun kurungan pidana penjara dari Majelis Hakim.
Kemudian, barang bukti berupa mobil Toyota Alphard yang seharusnya disita negara pun dalam putusan Hakim malah dikembalikan kepada terdakwa dengan alasan karena Fidusia atau masih ada sangkutan dengan pihak leasing.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris DPD Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Lampung, Rifandy Ritonga mengatakan bahwa putusan Hakim dipandang sebagai langkah mundur dalam upaya pemberantasan narkotika.
"Kita sama-sama tau bahwa ini tindak pidana luar biasa (Extra Ordinary Crime) apalagi ini kasus besar jaringan besar, tentu putusan tersebut bisa dipandang sebagai langkah mundur dalam upaya pemberantasan narkotika yang telah menjadi momok bangsa ini," kata Rifandy kepada Liputan6.com, Senin (10/6/2024).
"Saya justru merasa vonis yang tidak seimbang ini akan dapat mempersempit keyakinan publik terhadap pejuangan kemampuan dan kesunguhan aparat penegak hukum (APH) dalam memerangi jaringan narkoba," dia menambahkan.
Menurut Rifandy, narkotika ini telah merusak generasi muda dan menghancurkan banyak keluarga. Ketika pelaku kejahatan narkotika yang berperan besar dalam distribusi dan penyebaran zat berbahaya ini menerima hukuman yang relatif ringan, pesan yang disampaikan kepada masyarakat menjadi salah.
"Ini menimbulkan kesan bahwa kejahatan narkotika tidak dianggap serius dan hukuman yang diterapkan tidak memberikan efek jera. Dalam konteks ini, penting bagi sistem peradilan untuk menunjukan ketegasan dan konsistensi dalam penegakan hukum terhadap kejahatan jenis ini," tegas Rifandy yang juga akademisi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL).
Dia menilai, vonis yang sesuai itu tidak hanya memberikan keadilan bagi para korban dan masyarakat yang terdampak, tetapi juga menguatkan kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam memberantas narkoba.
"Kita berharap para penegak hukum ini, perlu bersinergi dalam memastikan setiap pelaku kejahatan narkotika mendapatkan hukuman yang sebanding dengan dampak negatif yang mereka timbulkan. Vonis rendah terhadap jaringan narkotika adalah alaram bagi kita semua untuk lebih tegas dan bersatu dalam memerangi kejahatan ini," pungkasnya.