Mengapa Pemerintah Tak Tegas Larang Penggunaan Kemasan Sachet Bila Jadi Salah Satu Sumber Utama Masalah Sampah Plastik?

Pemerintah melalui KLHK sudah merancang program phase out kemasan sachet ukuran di bawah 50 ml dan 50 g dalam rangka mengurangi sampah plastik. Kenapa kebijakan yang diambil hanya melarang sebagian sachet saja?

oleh Dinny Mutiah diperbarui 11 Jun 2024, 17:43 WIB
Contoh kemasan sachet. (dok. vectorpocket/Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Persoalan sampah plastik di Indonesia belum bisa ditangani secara optimal. Masih banyak lubang yang harus ditutup agar jumlahnya tidak terus naik dan berdampak negatif lebih jauh terhadap lingkungan dan kehidupan manusia. Salah satunya terkait penggunaan sachet.

Kasubdit Barang dan Kemasan, Direktorat Pengurangan Sampah Ditjen PSLB3 KLHK Ujang Solihin Sidik menyatakan ketergantungan pada sachet tinggi di Indonesia. Pemerintah pun putar otak agar salah satu sumber masalah plastik itu tidak terus berkepanjang. Tapi, opsi untuk melarangnya secara total tak masuk dalam daftar. Apa alasannya?

"Jadi persoalannya, untuk melarang itu tidak mudah... Dampaknya luar biasa, terutama dari segi ekonomi. Dari sisi industri juga tidak akan setuju kalau dilarang (sepenuhnya)," kata pria yang akrab disapa Uso itu ketika ditemui di sela cara Media Gathering Alner dan Unilever Indonesia Akselerasi Gaya Hidup Refill Melalui Project TRANSFORM-Alner, di Jakarta, Selasa (11/6/2024).

Meski begitu, ia menyatakan pemerintah akan memperketat penggunaan sachet sebagai kemasan produk. Uso menyatakan melalui Permen LHK Nomor 75/2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, pemerintah merencanakan untuk melarang penggunaan kemasan sachet untuk produk dengan berat di bawah 50 mililiter atau 50 g.

"Kita ada program phase out, untuk kemasan sachet di bawah 50 ml atu 50 gram, dilarang digunakan per 2029, sehingga 2030 diharapkan enggak ada lagi," jelas Uso.

Di sisi lain, pihaknya mendorong produsen, baik multinasional maupun nasional, untuk menggunakan skema bisnis refill dalam menjual produknya. Uso menyebut skema tersebut merupakan contoh dari bisnis sirkular sekaligus penerapan less plastic/no plastic karena kemasan digunakan berulang kali.

"Kalau dikonversi ke sachet, berapa puluh ribu sachet bisa dihindari? Ini jadi kepentingan kami juga bagaimana secara bersama-sama mengurangi sampah, bahkan sebelum jadi sampah. Dengan refill, kita enggak jadi nyampah," ujarnya.

 


Merintis Bisnis Refill di Bank Sampah dan Warung

Bank Melati di Tebet, Jakarta Barat, menjadi salah satu pihak yang menjual produk secara refill. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Unilever menjadi salah satu inisiator yang mengaplikasikan bisnis refill dengan menggandeng start up sebagai eksekutor lapangan. Maya Tamimi, Head of Division Environment & Sustainability Unilever Indonesia Foundation, menyebut refill sebagai upaya korporasi untuk mengurangi sampah plastik.

Dimulai sejak 2022, saat ini stasiun pengisian ulang produk Unilever sudah tersebar di 900 titik di Jabodetabek dan Surabaya. Skema bisnis itu diklaim berhasil mengurangi penggunaan 12 ton plastik. "Cukup signifikan dampaknya," katanya.

Alner menjadi salah satu kolaborator yang digandeng dan berhasil mendirikan 675 titik refill station di wilayah Jabodetabek selama setahun terakhir. Mereka menggandeng warung, bank sampah, dan komunitas untuk mendirikan stasiun isi ulang yang saat ini baru terbatas pada sabun cuci piring, deterjen, dan pembersih lantai.

"Ada sekitar 77 ribuan liter yang terdistribusi lewat mitra refill. Kita ukur dampaknya, sekitar 4.400 kilogram single use berhasil dikurangi," ujar Renata Felichiko, Chief Commercial Officer Alner.

Setahun ke depan, ia menargetkan bisa membuka hingga 1.500 titik refill station di wilayah Jabodetabek. Menurut dia, pendekatan yang dilakukan dengan melibatkan bank sampah, warung, dan komunitas lantaran mereka yang bersinggungan langsung dengan masyarakat.


Tantangan yang Dihadapi dalam Pengelolaan Refill Station

Peluncuran bisnis refill station yang diinisasi Unilever dan Alner. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Renata menegaskan bahwa tidak mudah mengelola bisnis isi ulang. Tantangan terbesarnya adalah mengajak konsumen untuk beralih dari yang terbiasa menggunakan sachet yang instan, menjadi harus membawa botol kemasan sendiri untuk diisi ulang.

"Memancingnya dengan harga sih. Ini lebih murah," katanya. Mereka juga menyiapkan botol kosong yang bisa dipakai konsumen agar bisa diisi berulang kali walau faktanya, baru sekitar 60 persen konsumen yang membeli dengan membawa botol isi ulang.

Sementara, tantangan utama yang dihadapi mitra adalah mengedukasi calon konsumen agar beralih ke sistem isi ulang. Pihaknya sengaja menggandeng bank sampah karena mereka punya tujuan sama, yaitu membuat lingkungan bersih, juga edukasi nasabah dan lingkungan sekitarnya.

"Tujuannya kurangi single use plastic. Sambil penimbangan sampah, bisa bersosialisasi dengan nasabahnya. Opportunity-nya cukup luas," ucapnya.

Di sisi lain, bisnis tersebut diiming-imingi bisa meningkatkan pendapatan bank sampah yang selama ini hanya mengandalkan penjualan sampah yang terkumpul. Keuntungan diperoleh lewat margin penjualan produk.

"Obstacle masih ada karena pelanggan baru selalu ada, mitra baru juga ada. Tapi yang sudah jalan, sudah sustain," klaim Renata.


Jenis Produk yang Dijual Masih Terbatas

Deretan produk rumah tangga yang bisa dibeli secara isi ulang. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Maya berharap sistem itu akan berkelanjutan walau proyek sudah selesai. Terlebih, permintaan untuk refill sudah muncul dari berbagai di Indonesia. Ia juga berharap bisa menambah varian produk yang dijual agar lebih menarik pasar. Tapi, hal itu masih terganjal aturan teknis.

"Saat ini belum mudah menjual produk yang bersentuhan langsung dengan kulit kita. Sudah ada peraturannya, tapi teknisnya sulit dilakukan. Semoga semakin banyak request dari masyarakat, satu saat kita bisa mewujudkannya," ucap Maya.

Uso pun mengamini. Ia menyebut persoalan adalah menyeimbangkan antara kebutuhan mengurangi sampah kemasan dengan jaminan keamanan dan kelayakan produk. Menurut dia, ada aturan BPOM untuk produk kosmetik, seperti sampo dan sabun, yang mensyaratkan aturan lebih ketat.

Pihaknya berusaha memperjuangkan agar setidaknya lima produk kosmetik perawatan diri dibolehkan dijual secara isi ulang. "Perjuangan sudah lama. Ada enam aturan yang boleh, dulu malah enggak boleh pake refill sama sekali karena kualitasnya (produk) harus terjaga," kata Uso.

Ia menargetkan tahun ini bisa meloloskan aturan penjualan lima jenis produk perawatan diri secara isi ulang. "Mudah-mudahan tahun ini bisa nambah produknya," imbuhnya.

 

Infografis Jenis-Jenis Plastik yang Berpotensi Jadi Sampah. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya