Liputan6.com, Jakarta - Akhir-akhir ini sedang marak konten di dunia maya yang mengeluhkan Gen Z sebagai generasi lembek yang mudah 'kena mental'. Gen Z yang merujuk pada generasi yang lahir dalam kurun tahun 1997 dan 2012, dianggap lebih sedang mengambil jalan pintas dalam pekerjaan dan sering mengedepankan kesehatan mental.
Cap ini jadi stigma buruk yang mestinya diluruskan. Ternyata, anggapan lembek dan pemalas itu sendiri hadir dari kebiasaan Gen Z dan ketidakpahaman masyarakat soal pentingnya kesehatan mental.
Advertisement
"Gen Z dianggap generasi strawberry, jelly, rentan, sedikit-sedikit kena mental, punya daya tahan rendah dan sebagainya," ungkap psikolog Irma Gustiana Andriani saat ditemui di acara Konferensi Pers Sunsilk Black Shine "#MyKilauTime" di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (12/06/2024).
Namun, Irma meluruskan bahwa karena perkembangan zaman di saat Gen Z hadir sudah ada teknologi jadi mempermudah akses mereka. Nah, proses-proses cepat ini yang dilihat anak-anak Gen Z dan kemudian dihayati bahwa segala sesuatu itu bisa serba cepat lantaran mereka tidak mengikuti proses itu satu per satu.
Irma yang akrab dipanggil Ayang, mengatakan bahwa sebetulnya generasi ini punya sifat-sifat kompetitif dan ambisi yang tinggi. Mereka yang ada di generasi ini terekspos dengan sosial media dari usia yang muda sehingga punya lumbung informasi yang tinggi soal kesadaran sosial. Ini menjadi alasan, bahwa salah satu karakter generasi ini adalah inklusif dan kritis.
Penyebaran informasi yang sangat cepat ini membuat Gen Z lebih mudah mengerti soal kesehatan mental. Namun, di sisi lain, banyak yang mencap inilah yang membuat Gen Z lembek.
"Jadi Gen Z yang perlu mematahkan stigma ini dengan cara being confident," tambah Ayang.
Gen Z Lebih Mudah Overthinking
Karena karakternya yang independen, dalam laporan "Indonesia Gen Z Report 2024" terungkap bahwa sekitar 62 persen Gen Z sudah memulai bisnis. Di sisi lain, mereka adalah generasi yang paling punya kesadaran dalam meningkatkan kualitas diri. Hal ini terbukti dari laporan yang menuliskan bahwa 36 persen Gen Z menyisihkan 10 persen gajinya untuk melakukan kegiatan self improvement.
Namun, ambisi tadi tidak datang tanpa kekurangan. Tingginya ekspektasi mereka terhadap diri sendiri dan kenyataan, serta sifat membandingkan diri dengan orang lain yang lebih dahulu sukses membuatnya banyak Gen Z overthinking soal kehidupan mereka, kata Ayang.
Seperti yang tengah populer di media sosial, banyak Gen Z yang memusingkan cara membeli rumah di masa depan melihat harga properti yang melambung tinggi. Sebagian juga memikirkan bagaimana dunia ke depannya dengan krisis iklim yang tengah berlangsung.
Beberapa contoh di atas baru sebagian overthinking kolektif yang dirasakan oleh Gen Z, belum lagi efek sosial media yang jadi lebih mudah membuat mereka merasa insecure. Bahkan, sekelas Tiara Andini, runner-up Indonesian Idol 2019 dan penyanyi yang hadir dalam acara tersebut juga mengatakan bahwa dirinya tidak lepas dari overthinking.
Ia mengungkapkan bahwa momen-momen overthinkingnya biasanya terjadi karena dirinya bertengkar dengan otaknya sendiri. Hal tersebut membuat rasa tidak nyaman yang memengaruhi mood.
Advertisement
Cara Mengatasi Overthinking
Overthinking jadi hal yang wajar, terutama ketika kita hendak menghadapi perubahan besar dalam kehidupan, bahkan perasaan ini bisa datang kapan saja. Ayang mengatakan bahwa karena hal ini datang dari dalam diri kita sendiri, maka kita yang harus bisa mengatasinya.
Ia mengungkapkan bahwa ada beberapa kiat yang bisa dilakukan untuk meredakan overthinking. "Hal pertama adalah afirmasi," sebut Ayang.
Afirmasi merupakan perilaku meyakini diri sendiri. Kegiatan ini biasanya dilakukan dengan bicara terhadap diri sendiri kalau kita bisa melewati hal-hal yang kita takuti. Dengan afirmasi setidaknya ketakutan-ketakutan yang hadir dalam pikiran kita bisa berkurang dan membuat kita lebih optimis.
Kedua, Ayang mengatakan kita perlu untuk merawat diri kita sendiri atau self care. Ia juga mengatakan bahwa merawat tubuh erat hubungannya dengan mood dan kesehatan mental.
"Tubuh kita dari ujung ke ujung dipenuhi oleh syaraf, kalau ada ketidaknyamanan di satu tempat, seluruh tubuh bisa merasakannya," sebut Ayang.
Ketiga, kita bisa terus meningkatkan kualitas diri atau self improvement. Hal ini penting sebab, melatih kualitas kognisi dan kecerdasan juga berpengaruh terhadap proses pikir kita. Terakhir, Ayang meminta kita untuk mencari dukungan atau support system.
"Kalau kita lagi overwhelming, cemas, supaya ada yang bisa menemani kita melalui masa-masa itu," sebut Ayang.
Tiara Andini Curhat Soal Masa-masa Terendahnya
Tiara Andini yang merupakan Brand Ambassador terbaru dari Sunsilk Black Shine menceritakan masa-masa terendahnya sebelum akhirnya populer menjadi penyanyi seperti sekarang. Perempuan yang akrab dipanggil Titi tersebut mengatakan bahwa ia sempat menyerah mengejar impiannya sebagai penyanyi.
"Aku dulu pernah sempat ngerasain era-era kecemasan, kegalauan, dan rasa tidak percaya diri sendiri. Waktu aku umur 15 tahun, aku mencoba ajang pencarian bakat, aku gagal, gak lolos. Di titik itu aku merasa 'sudah deh sampai sini saja'. Aku sempat meragukan mimpiku," sebut dara asal Jember tersebut.
Meski begitu, Titi mengaku bahwa berkat dukungan dari keluarga dan teman-temannya yang suportif, ia bisa kembali percaya diri untuk kembali mengikuti ajang pencarian bakat yang lain, hingga menjadi juara dua dalam Indonesian Idol Musim 10. Perempuan 23 tahun tersebut mengatakan bahwa ia biasanya jadi overthinking karena memendam sendiri perasaannya atau sebelum ia akan tampil dalam kegiatan besar.
"Biasanya aku membuat diri aku lupa sama hal-hal yang aku takuti. Aku ngobrol sama orang sekitar. Ngobrol bisa buat ketenangan di hatiku. Kadang, aku juga suka cari ketenangan sendiri," sebut Titi, membagikan pengalamannya dalam mengatasi overthinking dan kecemasannya.
Advertisement