Liputan6.com, Jakarta Pemerintah memberikan konsesi atau izin kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang. Menanggapi hal tersebut, praktisi hukum, Deolipa Yumara menilai ormas keagamaan mengelola tambang dinilai kurang tepat, dan terdapat konsekuensi atau dampak yang akan dihadapi.
Deolipa mengatakan, pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan dianggap di luar kebiasaan bernegara. Menurutnya, ormas keagamaan merupakan yang kelompok yang bekerja membentuk perilaku manusia yang bermoral, berbudi luhur, beriman kepada Tuhan sehingga perilakunya baik gitu.
Advertisement
“Tujuannya ormas agama baik ormas Islam, Kristen, maupun Budha tujuannya adalah lebih kepada kerohanian, konsesi tambang yang diberikan, ini kurang tepat,” ujar Deolipa, Kamis (13/6/2024)
Deolipa menjelaskan, ormas keagamaan apabila memiliki usaha atau berbisnis, setinggi-tingginya di bidang pendidikan. Deolipa mencontohkan, seperti Muhammadiyah, bergerak di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah.
"Tapi kalau ormas keagamaan diberikan konsesi tambang untuk usaha tambang, ya sedikit ngawur karena bukan bidang mereka,” jelas Deolipa.
Hal itu diperkuat dengan sejumlah ormas keagamaan yang menolak konsesi tambang yang diberikan Pemerintah. Deolipa menilai, ormas keagamaan disuruh kemudian menjadi pengusaha yang nantinya membicarakan untung dan rugi.
"Sementara agamawan tidak mengenal untung rugi, kalau mereka di bikin sebagai pengusaha yang mengenal untung rugi, nanti mereka enggak bisa mendidik manusia Indonesia berbudi luhur, berakhlak, karena akhirnya jadi untung rugi atau bisnis,” terang Deolipa.
Pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan, Deolipa menganggap kebijakan tersebut dinilai kurang tepat. Apalagi pemberian konsesi tersebut menuai pro dan kontra sehingga Pemerintah harus mengkaji kembali kebijakan tersebut.
“Kebijakan ini sedikit ngawur, bahasanya sih kebablasan, wajar saja banyak yang protes,” ucap Deolipa.
Deolipa mengingatkan, apabila ormas keagamaan melakukan penambangan, kemungkinan akan ada pengusaha di balik ormas keagamaan. Jika hal tersebut benar terjadi, ormas keagamaan akan menjadi layaknya calo penambangan.
“Pasti ada pengusaha di belakang layar yang akan mengerjakan tambang itu. Ormas keagamaan kemungkinan besar cuma jadi calo, mereka punya konsesi dan mereka serahkan kepada pengusaha yang bekerja,” kata Deolipa.
Deolipa mengingatkan, ormas keagamaan yang melakukan pengelolaan tambang, dapat memperhatikan potensi kerusakan alam, pembabatan hutan, hingga penggalian tanah. Apabila hal tersebut tidak diperhatikan, akan menyangkut terhadap masalah hukum.
“Apalagi soal pengelolaan uang yang rawan potensi korupsi, jadi secara moral enggak bagus ormas keagamaan mengerjakan itu,” tutur Deolipa.
Deolipa meminta, Pemerintah dapat memperhatikan konsesi tambang yang dicabut dari pengusaha professional. Deolipa melihat, banyak pengusaha tambang yang profesional dicabut izin usahanya sehingga mengganggu investasi.
"Lebih baik itu yang diurus Pemerintah terkait pencabutan izin usaha kepada pengusaha, dari pada memberikan izin konsesi tambang kepada ormas agama,” kata Deolipa.
Sikap Gusdurian
Sebelumnya, jaringan Gusdurian menolak kebijakan pemerintah untuk memberi izin pada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Pasalnya, kebijakan itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Di mana, UU minerba itu menyebut, izin hanya dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan melalui cara lelang. Oleh karena itu, Jaringan Gusdurian meminta pemerintah untuk meninjau ulang izin tambang pada ormas keagamaan.
"Karena berpotensi menciptakan ketegangan sosial dan konflik horizontal apabila terjadi persoalan di tingkat lokal,” kata Inayah Wahid, Pokja Keadilan Ekologi Jaringan Gusdurian.
Gusdurian juga mengajak ormas keagamaan untuk tetap menjadi kekuatan penjaga moral, nilai, dan etika bangsa. "Gusdurian mengajak ormas keagamaan terus menjadi pendamping umat demi kemaslahatan dan kesejahteraan bersama,”
Selain itu, kata Inayah, pemerintah juga harus tegas melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan yang selama ini terjadi.
"Serta melakukan pemulihan dampak sosial ekologis akibat perampasan lahan, penggusuran, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam,” tegasnya.
Ia juga mengajak warga masyarakat untuk terus mengkritisi kebijakan pemerintah dan memastikan bahwa penyelenggaraan negara tetap sesuai dengan konstitusi.
"Dan semua itu diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat,” ujarnya.
Advertisement