Liputan6.com, Jakarta - Indonesia kaya akan sumber daya alam, termasuk tambang, seperti di Tanamalia, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang terkenal dengan cadangan nikelnya. Potensi ini menjadikan wilayah tersebut menawarkan peluang besar untuk pengembangan ekonomi dan industri.
Perkumpulan Telapak Indonesia---atau disebut Telapak, sebuah kelompok aktivis yang terdiri dari LSM, praktisi bisnis, akademisi, media dan masyarakat adat, telah melakukan investigasi lapangan untuk mengevaluasi dampak sosial dari penambangan nikel di Tanamalia.
Advertisement
Mereka telah memberikan rekomendasi kepada tiga pihak, yaitu PT Vale Indonesia (PTVI), masyarakat di 5 desa sekitar tambang PTVI Blok Tanamalia, dan Pemerintah Kabupaten Luwu Timur.
Rekomendasi ini berdasarkan kunjungan dan penelitian yang dilakukan oleh Telapak dari Mei hingga Juni 2024, menyoroti aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan di 5 desa yang terdampak langsung oleh tambang di Blok Tanamalia PTVI.
"Rekomendasi tersebut juga merespons informasi tentang dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PTVI, seperti yang disampaikan oleh FoE Jepang melalui situs web mereka pada 29 Agustus 2023, terutama terkait aktivitas PTVI di Blok Tanamalia," ungkap Ketua tim Telapak, Muhammad Djufryhard, di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2024).
Rekomendasi yang diberikan
Muhammad Djufryhard memberikan beberapa rekomendasi setelah melakukan kunjungan dan kajian di Tanamalia, di antaranya:
Pertama, PTVI disarankan untuk segera berdialog dengan masyarakat desa di sekitar tambang Blok Tanamalia untuk mengurangi potensi konflik. Ini termasuk mengadakan dialog terbuka dan mediasi dengan tokoh desa atau mediator independen, tanpa melibatkan aparat keamanan.
Selain itu, PTVI diharapkan membangun kemitraan dengan masyarakat melalui pemberdayaan, pendampingan, dan penguatan ekonomi, seperti membentuk koperasi desa dan meningkatkan produktivitas kebun lada.
Kedua, bagi masyarakat di 5 Desa sekitar tambang PTVI Blok Tanamalia, Djufryhard bersedia untuk bersama-sama dengan PTVI, membahas kesepahaman dan kesepakatan pengelolaan perkebunan merica yang beririsan dengan blok tambang PTVI melalui model sistem kemitraan yang dipfasilitasi oleh organisasi independen dalam tata kelola lahan perkebunan merica.
Tujuannya adalah untuk memperkuat ekonomi dan kehidupan keluarga dengan prinsip keterbukaan, keadilan antar pihak, dan keberlanjutan konservasi alam yang lebih baik.
Ketiga, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur diminta berperan sebagai mediator untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat dan PTVI, guna menyelesaikan konflik pengelolaan lahan dan mendorong sistem kemitraan yang berkelanjutan.
“Rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Luwu Timur diharapkan dapat mendorong terbentuknya sistem kemitraan pengelolaan kawasan sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk mengurangi konflik dalam tata kelola sumber daya alam," tambahnya.
Advertisement
Saat ini kondisi masyarakat masih aman
Wakil Ketua tim Telapak, Martian Sugiarto, menjelaskan bahwa tujuan kunjungan dan penelitian mereka adalah untuk mengevaluasi dugaan pelanggaran HAM.
Menurut hasil kajian mereka, belum ada laporan tentang perkebunan merica milik masyarakat yang diserobot oleh PTVI. Masyarakat masih dapat mengelola perkebunan mereka tanpa adanya ancaman kekerasan, pemaksaan, pengusiran, atau larangan akses dari pihak perusahaan.
Selain itu, tidak ada tanda-tanda kehadiran aparat keamanan (TNI/POLRI) di desa sekitar tambang atau batas wilayah konsesi perusahaan yang menghalangi akses masyarakat ke kebun merica.
Martian menekankan bahwa kondisi masyarakat di Desa Loeha dan Rante Angin, yang berada di area IUP Eksplorasi PTVI, tetap damai tanpa tanda-tanda kekhawatiran atau konflik dengan perusahaan.
Pemerintah desa juga telah berkolaborasi dengan PTVI melalui program CSR yang mencakup pembangunan infrastruktur, fasilitas olahraga, pengembangan kebun merica, pariwisata desa, dan dukungan untuk UMKM.
Berdasarkan temuan mereka, tuduhan bahwa PTVI melakukan pelanggaran HAM dengan merampas lahan kebun merica tidaklah benar.
PTVI memiliki hak untuk mengelola tambang sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku, yang kemudian diubah menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada Mei 2024.