Liputan6.com, Semarang - Indonesia jelas menorehkan prestasi tingkat internasional, namun keterlambatan pemain muda Indonesia mencoba kompetisi tingkat internasional menjadi salah satu penyebab regenerasi atlet bulutangkis Indonesia dibandingkan pembinaan di negara China.
Menurut legenda bulu tangkis Indonesia, Yuni Kartika, penyebabnya atlet junior Indonesia terlambat diorbitkan dalam pertandingan internasional.
Advertisement
“Pebulutangkis yunior China sudah main di pertandingan internasional sejak usia 15 tahun. Mereka sudah main di kejuaraan profesional,” kata Yuni Kartika ketika menyaksikan Graha Padma Walikota Cup 2024, Semarang, Jumat (14/06/24).
Ditambahkan, dengan bermain di kelas senior lebih cepat, maka peluang pemain asal China lebih cepat beradaptasi dan memiliki lebih banyak peluang maju di tingkat internasional.
“Pemain Indonesia baru bermain di tingkat senior setelah 17 tahun. Namun, di Asia Indonesia hanya kalah dengan China, sedang negara lain masih imbang,” kata Yubing, sapaan akrabnya ketika bermain di Piala Uber tahun 1990.
Permasalahan lain adalah makin kurangnya pebulutangkis perempuan. Jika sebelumnya perbandingan pebulutangkis pria dan wanita kisaran 60 : 40 persen.
"Saat ini, pemain perempuan saat ini jauh berkurang,” tambahnya.
Saat ini pembinaan atlet muda bulutangkis terus dilakukan Pengprov PBSI Jawa Tengah. Menggelar Kompetisi antar club di sejumlah daerah, Pengprov PBSI Jawa Tengah bersama Bakti Olahraga Djarum Foundation melakukan pembinaan dan pembibitan terhadap para atlet U11, U13, dan 15 melalui Graha Padma Walikota Cup 2024, 10-15 Juni 2024.
Dalam turnamen ini Yuni Kartika dipercaya sebagai ketua panitia. Dijelaskan bahwa Graha Padma Walikota Cup 2024 mengkategorikan U11, U13 dan U15. Karena kategori tersebut merupakan pembinaan.
"Kami mengambil kategori yang menjadi pilar pembinaan dan pembibitan Indonesia," katanya.
Selain itu, event ini merupakan kalender event PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia). Meskipun hanya tiga kategori, jumlah peserta 826 di tingkat nasional. Dengan hadiah Rp 167 juta. Dipilihnya Jawa Tengah karena dapat dijangkau oleh para peserta. Persaingan cukup ketat di berbagai klub. Bahkan di luar klub besar banyak yang hadir.
"Artinya merata dan sesuai proporsi dengan jumlah yang normal," katanya.
Selain itu, para peserta juga ada yang bermain merangkap. Hal itu sangat bagus karena pada pembinaan ini harus mencoba yang lain seperti ganda atau campuran.
Pemerataan yang disebut Yubing memang menjadi salah satu isu. Perkembangan pembinaan di Jawa dan luar Jawa juga belum sepadan. Salah seorang atlet, Jordana Alexa Mongkareng, 12, asal Manado mengaku susah mengalahkan lawannya. Meski ia akhirnya menang dua set langsung atas Afla dengan skor 21-5 dan 21-15 di Tunggal Putri U13.
"Agak susah," katanya.
Saat persiapan, ia fokus mengurangi berat badan sesuai arahan pelatih.
"Biar badan gak kaku juga latihan dikurangin. Saya berharap menang di final karena di Medan kemarin juara," katanya.