Liputan6.com, Thimphu - Bhutan menginginkan lebih banyak wisatawan dan sedang berupaya mewujudkannya. Salah satu rencana untuk menjadikan negara itu destinasi yang lebih menarik adalah dengan meningkatkan aksesibilitas.
Lebih banyak helikopter, jalan-jalan yang lebih luas, dan bandara internasional yang besar dalam dua tahun dari sekarang di Gelephu Mindfulness City sedang dibangun seiring upaya Kerajaan Bhutan mengatasi ketertinggalan jumlah pariwisata pasca pandemi COVID-19.
Advertisement
"Negara ini sedang mencari satu atau dua titik masuk darat lagi dari Bhutan timur … sehingga kita dapat menyebarkan orang ke wilayah lain di negara ini," ujar kepala petugas pariwisata Bhutan Damcho Rinzin kepada CNA, Selasa (11/6/2024).
Saat ini, pengunjung hanya dapat terbang ke Bandara Internasional Paro, yang terletak di bagian barat Bhutan - lebih dari satu jam perjalanan dari ibu kota Thimphu - dan berada di tengah lembah. Mereka kemudian harus berkendara, naik penerbangan domestik atau helikopter untuk mencapai wilayah lain.
Rinzin menyadari bahwa mencoba menyebarkan wisatawan ke bagian timur, tengah, dan selatan Bhutan juga berarti perlunya melatih penduduk setempat untuk mengambil bagian dalam industri pariwisata.
"Kami menyampaikan kepada masyarakat kami bahwa setiap warga Bhutan adalah pemangku kepentingan dalam industri pariwisata. Jadi, dalam hal ini, kami mencoba mengajak semua orang untuk ikut serta," kata dia.
Ingin Menggaet 300 Ribu Wisatawan
Bhutan bertujuan untuk menarik 300.000 wisatawan setiap tahunnya – jumlah maksimum yang ditetapkan oleh negara tersebut untuk memastikan bahwa pariwisata tidak berdampak pada alam dan lingkungannya.
"Kami tidak dapat menyerap lebih dari 300.000 wisatawan per tahun," kata Perdana Menteri Bhutan Tshering Tobgay, menggambarkan kebijakan pariwisata negara tersebut 'bernilai tinggi, volume rendah'.
"Kami tidak bisa mendatangkan wisatawan dalam jumlah besar karena kami tidak memiliki kapasitas penyerapan wisatawan dalam jumlah besar. Mereka akan merusak lingkungan - bukan karena wisatawan ingin merusak lingkungan, melainkan karena jumlahnya."
"Budaya kami akan tercekik, bukan karena wisatawan ingin (mencekik budaya), namun jumlahnya yang akan mencekik budaya kami."
Hampir 100.000 pengunjung tiba di Bhutan tahun lalu, sepertiga dari puncak kunjungannya pada tahun 2019 sebanyak 350.000 orang.
Tobgay menuturkan gagasan bahwa sulit untuk mengunjungi Bhutan adalah kesalahpahaman yang merugikan pariwisata negara tersebut.
"Calon wisatawan pasti ingin ke Bhutan, memasukkannya ke dalam bucket list, tapi tidak pernah mendatanginya karena mitos Bhutan sulit dijangkau, mahal sekali," tutur Tobgay.
"Namun, mitos tersebut ada baiknya karena ketika orang-orang tiba di Bhutan, menghirup udara, mencicipi air, bertemu dengan masyarakat, terlibat dengan kami, terhubung dengan kami, ada rasa kepuasan yang luar biasa."
Advertisement
Diversifikasi
Bhutan membebankan biaya harian yang disebut sebagai biaya pembangunan berkelanjutan sebesar USD 100 per orang kepada wisatawan, yang digunakan untuk membiayai, konservasi, dan proyek pembangunan. Biaya ini dua kali lipat lebih mahal sebelum pandemi, namun negara tersebut menurunkannya dalam upaya untuk menarik lebih banyak pengunjung.
"India adalah pasar pariwisata terbesar di Bhutan, namun kami ingin melakukan diversifikasi," kata Rinzin.
Terlepas dari dorongan pariwisata, kata Tobgay, ada kebutuhan untuk mendiversifikasi perekonomian dari pariwisata ke jasa keuangan dan sektor lainnya. Untuk itu, dia menunjuk pada perubahan iklim, di mana Bhutan berada di garis depan.
Tobgay menambahkan, Bhutan harus mencari lebih banyak sumber energi dibandingkan pembangkit listrik tenaga air, yang merupakan elemen kunci perekonomian negara.