Liputan6.com, Bandung - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah mengembangkan salah satu inovasi kesehatan, khususnya bidang vaksin, biofarmasi, dan terapeutik bernama Secretom UCMSCM Prekondisi Hipoksia.
Menurut Peneliti Pusat Riset Biomedis BRIN, Ratih Rinendyaputri, inovasi tersebut merupakan model noh-human primate NHP sebagai kandidat terapi stroke berbasis stem cell.
Advertisement
"Inovasi ini diharapkan menjadi komplemen terapi adjuvant untuk penderita stroke yang saat ini efektivitasnya belum optimal," ujar Ratih dilansir laman BRIN, dicuplik Kamis, 13 Juni 2024.
Hasil riset Ratih ini pernah dipaparkan dalam kegiatan Temu Bisnis Pemanfaatan Riset dan Inovasi Bidang Kesehatan oleh Direktorat Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Industri (DPRII) di Gedung BJ Habibie Kantor BRIN Thamrin, Jakarta, Kamis (30/05) lalu.
Ratih mengatakan risetnya tersebut masih dalam tahap awal atau hulu. Untuk menghilirisasi hasil risetnya, ia masih harus melakukan berbagai tahapan yang dilalui yang tentunya tidak mudah.
"Penelitian saya ini kemudian diprekondisi dengan harapan bisa menjadi salah satu kandidat terapi stroke," kata Ratih.
Kondisi yang dijelaskan Ratih, disebut dengan istilah adjuvant stroke. Proses penelitiannya tersebut, diungkapkan untuk menangkap prevalensi stroke di Indonesia yang setiap tahun semakin meningkat.
Harapannya, ini bisa menjadi salah satu komponen adjuvant yang sudah ada. Ratih menjelaskan dinamai noh-human primate karena belum diberikan ke manusia, melainkan masih bersumber pada limbah dari PT. Biofarma.
"Proses tersebut akan mudah menggunakan manusia, namun itu karena prasyarat risetnya yang banyak dan mengandung risiko, sebagai contoh harus mengecek semua penyakitnya," ungkap Ratih.
Ratih menuturkan proses tersebut yang dianggap akan memakan biaya tinggi. Meskipun demikian, noh-human primate 97 persen genetiknya menyerupai manusia.
Limbah tersebut sudah memenuhi SPF (Spesific Patogen Free), sehingga walaupun tergolong limbah biologis akan tetapi sudah terjamin.
"Jadi secretom itu adalah bioaktif yang disekresikan oleh stem cell. Di situ ada protektor, ada Extracellular Vesicles (EVs), juga ada exsosom yang membawa berbagai protein untuk meregulasi berbagai ekspresi gen," terang Ratih.
Ratih berharap, secretom itu mengarakterisasi bahwa berbagai jenis protein yang ternyata berperan penting dalam neuroproteksi, sehingga hal itu jadilah model.
Proses yang tidak sederhana ini yang ia uraikan betapa rumitnya proses uji klinis. Demikian ia jelaskan bahwa sistem penyimpanannya sama prosesnya dengan vaksin.
"Lalu bagaimana menyimpan secretom tersebut agar aman? Ini perlunya untuk tetap teliti dalam menggunakan model noh-human primate ini," ungkap Ratih.
Sebagai bahan pembanding, Ratih menjelaskan berbagai riset yang dimuat di berbagai jurnal yang menggunakan media tikus yang dibuat terserang stroke. Sementara, model yang ia kembangkan adalah model invitro karena menggunakan sel neuron dari macaca juga.
"Sementara menggunakan tikus disebut dengan invivo. Keduanya mempunyai perbedaan jelas dalam Circle of Willis (CoW). Karena ketika melakukan uji menggunakan secretom dari manusia kemudian ke tikus, tingkat permasalahannya yaitu ketika melakukan xenograft (cara pencangkokan)," jelas Ratih
Ratih mengatakan, terapi ini sudah ada di beberapa rumah sakit dan pihak industri sudah ada yang bisa memproduksi.
Namun, karena belum dilakukan secara massal, maka proses registrasi lisensinya oleh Badan POM masih mengalami kendala.
"Lantaran masih disamakan dengan obat, sehingga hal itu menghambat pihak industri untuk memperoleh peluang produksinya," kata Ratih.
Tanggapan Industri Medis
Sementara itu perwakilan dari PT. Etana Biotechnologies Indonesia, Andreas Donny Prakasa, mengapresiasi soal riset yang dilakukan peneliti Indonesia di bidang kesehatan. Ia berharap, secepatnya agar terjadi hilirisasi terutama untuk industri bioteknologi dan juga vaksin.
Meskipun perjalanan menuju hilirisasi ini dipandangnya penuh dengan tantangan, terutama dalam proses pemenuhan regulasi dari Badan POM. Belum lagi bahwa proses pengurusannya bisa saja membutuhkan investasi besar.
"Para periset maupun pelaku industri berjalan berdampingan melakukan kolaborasi kerja sama," ucap Donny.
Salah satu hal yang paling berdampak yaitu ketika melakukan riset tanpa mempertimbangkan fasilitas yang tersedia di Indonesia dan sudah ada platformnya. Ini yang akan mempersulit langkah pengembangan riset menuju industrialisasi
Donny menyarankan, para pihak harus menjalin komunikasi yang lebih mendalam lagi di dalam mengidentifikasi dan menganalisis riset dari tahapan ke tahapan.
"Sederhananya, kita harus lebih sering ngopi bareng," tukas Donny.
Dengan makin sering bertemu dan berdiskusi, Donny merasa cara tersebut sangat efektif untuk mempertemukan kebutuhan kedua pihak sehingga saling bersinergi.
Hal tersebut untuk memperjelas pertimbangan temuan riset para peneliti apakah visible untuk didorong ke ranah industri.
"Banyak peneliti Indonesia yang harus mendapatkan royalti dari produk-produk risetnya," sebut Doni.
Hal ini juga diamini oleh Sudirman dari PT. Biotis Pharmaceuticals Indonesia yang juga setuju dengan pemberian royalti. Untuk itu, ia menekankan, perlunya komitmen antar pihak terutama untuk membangun kerja sama jangka panjang.
Eko Purwito Hidayat, selaku Koordinator pada DPRII menyampaikan bahwa hasil riset dan inovasi ini akan didorong sampai ke pengguna tentunya dengan melibatkan masyarakat.
"Untuk itu, dalam kesempatan ini, kami harap industri memberi masukan berupa ide-ide baru yang bisa mengembangkan riset tersebut sehingga menciptakan peluang kerja sama," ungkap Eko.
Advertisement