ISESS Sebut Satgas Judi Online Perlu Didukung UU Perampasan Aset Hasil Kejahatan

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyoroti upaya pembentukan Satgas Judi Online dengan efektivitas dalam pelaksanaan tugas dan fungsi ke depannya.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 16 Jun 2024, 11:07 WIB
Ilustrasi judi slot online.

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyoroti upaya pembentukan Satgas Judi Online dengan efektivitas dalam pelaksanaan tugas dan fungsi ke depannya.

Menurutnya, Undang-Undang (UU) tentang Perampasan Aset hasil kejahatan pun harus segera diwujudkan demi mendukung kinerja satuan tersebut.

“Upaya pemberantasan judi online seperti hanya tabuhan genderang tanpa ada aksi perang yang sebenarnya, bahkan memakan korban dari aparatur negara yang seharusnya melakukan pemberantasan. Pembentukan Satgas Judi Online yang diketuai Menko Polhukam Hadi Tjahjanto akankah efektif menekan menjamurnya platform judi online?,” tutur Bambang dalam keterangannya, Minggu (16/6/2024).

Menurut Bambang, tidak bisa dipungkiri terdapat kesulitan tersendiri dalam hal karakteristik teknologi online atau siber yang tanpa batas alias borderless, lintas batas, bahkan lintas negara dengan kecepatan perubahan dan produksi konten yang sangat tinggi.

“Meskipun demikian, judi online tentu tidak bisa lepas dari transaksi keuangan yang tetap menggunakan platform-platform yang masih bisa terkendali dan berijin. Jadi langkah pertama bila serius untuk melakukan pemberantasan judol, adalah menutup transaksi keuangan mereka. Karena kecepatan menutup konten, ternyata tidak mengalahkan produksi konten judol,” jelas dia.

 

 

Bambang mengatakan, data terkait aliran keuangan judi online sebenarnya sudah sejak lama diketahui PPATK. Namun begitu, tindak lanjut penegakan hukumnya selama ini tampak belum serius.

“Terbukti, bandar-bandar besar belum ditangkapi, platform konten judi online juga masih terang-terangan di media online. Penangkapan hanya operator-operator maupun konsumen di level bawah. Transaksi yang dilakukan bandar besar belum tersentuh. Transaksi Rp 327 triliun yang pernah diungkapkan PPATK tidak ditindaklanjuti dengan serius,” katanya.


Baru Sasar Pemakai Judi Online

Dia menyebut, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri juga masih lebih banyak menyasar ke konsumen judi online, yang bahkan tidak pernah menyentuh pengelola platformnya.

Hal itu tentu memunculkan persepsi, bahwa ada keterlibatan aparat penegak hukum sebagai beking bandar judi online.

“Isu konsorsium 303 yang menyeret nama-nama petinggi kepolisian, nyaris tidak pernah terkonfirmasi kebenarannya oleh otoritas Polri. Isu dibiarkan mengambang seolah dibiarkan sampai publik melupakan karena ditimpa isu-isu lain yang lebih sensional,” ungkap Bambang.

 


Tak Buat Kapok

Lebih lanjut, upaya menjerat pelaku judi online dengan KUHP dan UU ITE nyatanya tidak memberikan efek jera. Pasal 303 KUHP sendiri hanya menyebut hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 25 juta, yang tentu tidak membuat kapok bandar.

“Harusnya bandar juga dijerat dengan Pasal terkait UU TPPU yang bisa menjerat tersangka dengan hukuman penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp 2 miliar. Tetapi itu saja tentu tidak cukup membuat jera, makanya perlu segera diterbitkan UU terkait perampasan aset hasil kejahatan,” tukas Bambang.

Baginya, pembentukan Satgas Judi Online seolah menjadi angin surga bagi upaya pemberantasan judi online yang lebih serius. Hanya saja, tetap semua tergantung pada implementasi di lapangan.

“Bila tidak ada aksi yang konkret, tentu akan menjadi blunder. Pembentukan satgas tentu bukan hanya untuk gagah-gagahan saja, tetapi diharapkan beraksi nyata. Tanpa ada aksi nyata, Satgas Judi Online tentu hanya akan menambah deret kegagalan-kegagalan pembentukan Satgas lainnya,” Bambang menandaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya