PPATK Sebut Transaksi Judi Online Mayoritas di Negara ASEAN

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memblokir sebanyak 5.000 rekening terkait aktivitas judi online. Dari ribuan jumlah tersebut, aliran transaksi mayoritas mengalir di wilayah negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 18 Jun 2024, 15:30 WIB
Polda Metro Jaya menangkap 11 orang pelaku judi online di Kelurahan Tanjung Burung, Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten. (Liputan6.com/Ady Anugrahadi)

Liputan6.com, Jakarta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memblokir sebanyak 5.000 rekening terkait aktivitas judi online. Dari ribuan jumlah tersebut, aliran transaksi mayoritas mengalir di wilayah negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN.

"Analisis kami terkait sekitar 20 negara saat ini. Nilainya sangat signifikan," ujar Ketua PPATK Ivan Yustiavandana saat dikonfirmasi, Selasa (18/6/2024).

Ivan belum merinci lebih jauh negara mana saja yang terdeteksi menjadi titik keluar masuk transaksi dana judi online. Namun begitu, dia membenarkan paling banyak memang terjadi di negara ASEAN.

"Iya demikian (ASEAN)," kata Ivan.

Koordinator Kelompok Humas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Natsir Kongah menyebutkan, terdapat Rp5 triliun lebih uang judi online dilarikan ke negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) atau Asia Tenggara.

"Dari angka yang ini ternyata uang dari hasil judi online yang ada itu dilarikan ke luar negeri. Nilainya itu di atas Rp5 triliun lebih," kata Koordinator Humas PPATK M Natsir Kongah dalam diskusi daring, Sabtu (15/6/2024).

Menurut Natsir, uang hasil judi online itu dilarikan ke negara seperti Thailand, Filipina, dan Kamboja.

"Ada beberapa ke negara-negara di ASEAN yah. Ada ke Thailand, Filipina, Kamboja," ujar dia.

Natsir mengaku PPATK mendapatkan informasi mengenai transaksi keuangan itu dari para penyedia jasa keuangan.

"Mekanismenya kita sudah tahu bagaimana pelaku kemudian dari pelaku dikirim ke bandar kecil. Dari bandar kecil kemudian ke bandar besar dan sebagian bandar besar yang dikelolakan luar negeri itu," kata dia.

Natsir menyebutkan ada temuan perputaran uang judi online mencapai angka Rp600 triliun pada kuartal pertama tahun 2024.

"Di semester satu ini disampaian Pak Kepala (PPATK) Pak Ivan menembus angka Rp600 triliun lebih pada kuartal pertama pada 2024," ujar Natsir.

Menurut Natsir, angka tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2021 terdeteksi perputaran judi online hanya Rp57 triliun. Lalu meningkat menjadi Rp81 triliun pada 2022, dan melonjak pada tahun 2023 menjadi Rp327 triliun.

"Dari angka-angka akumulasi perputaran judi online ini dari waktu ke waktu terus meningkat," kata Natsir.

Natsir mengungkapkan bahwa temuan terkait judi online adalah yang terbesar dibandingkan keseluruhan laporan transaksi keuangan yang diterima PPATK, termasuk korupsi.

"Itu (judi online) sampai 32,1 persen. Kalau misalnya penipuan di bawahnya ada 25,7 persen. Lalu kemudian tindak pidana lain 12,3 persen, korupsi malah 7 persen," beber Natsir.

 


PPATK Blokir 5.000 Rekening Terkait Judi Online, Nilainya Mencapai Rp600 Triliun

Judi online slot. (Istimewa)

Sebelumnya, PPATK memblokir sebanyak 5.000 rekening perorangan maupun kelompok terkait kasus judi online.

Natsir Kongah mengatakan, pihaknya tidak bisa memastikan nilai transaksi yang ada pada 5.000 rekening yang sudah diblokir terkait judi online tersebut.

"Itu terus meningkat, sampai sejauh ini sudah ada 5.000 rekening yang kita blokir dan angkanya saya lupa ya, tetapi kalau akumulasi sejak disampaikan Pak Kepala itu di kuartal pertama 2024 mencapai Rp600 triliun," kata Natsir.

Menurutnya, PPATK bisa memblokir rekening yang terindikasi adanya tindak pidana pencucian uang (TPPA) dalam kurun waktu lima sampai 15 hari.

"Setelah itu, blokir tadi bisa ditindaklanjuti oleh penyidik dan sejauh ini tidak ada keberatan. Penyidik bisa memperpanjang blokir dan mencari alat bukti yang dihasilkan analisis PPATK," ujar Natsir dilansir dari Antara.

Ribuan rekening yang diblokir tersebut diketahui kebanyakan mengalir ke negara yang masuk Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), seperti Thailand, Filipina dan Kamboja.

Lalu, PPATK menyatakan sudah memblokir 5.000 rekening berkaitan dengan judi online.

Namun, meski sudah diblokir, angka judi online masih terus meningkat. Hal ini dikarenakan ada modus menjual rekening.

"Ya memang, jadi upaya yang dilakukan oleh Kominfo dan di situ juga ada regulator OJK itu memang kita terus lakukan pemblokiran, tapi memang seolah-olah bertemu terus ini. Wah, angkanya kok semakin meningkat ya, tapi sebenarnya sudah banyak ditekan, dicegah, gitu ya," kata Natsir.

"Selain itu, memang demand yang tinggi oleh masyarakat terhadap judi online yang ada ini, dan juga masih ditemukan orang menjual rekening, ini juga salah satu," sambungnya.

Saat ditanya apakah modus beli rekening ini dipakai untuk mengendalikan judi online atau hanya meminjam nama pemilik rekening, Natsir tidak menjelaskan rinci. Dia hanya mengatakan bahwa modus operandi pelaku judi online beragam.

"Ya macam-macam dari modus operandi oleh pelaku, khususnya bandar judi yang ada ini," jelas Natsir.


Para Penjudi Online Kerap Terjerat Kasus Pinjol dan Penipuan

Wadireskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Hendri Umar saat konferensi pers terkait pengungkapan kasus judi online berkedok game online 'Slot Higgs Domino' dan 'Royal Dream' yang diotaki oleh pelaku inisial EP, Jumat (26/4/2024). (Merdeka.com/ Rahmat Baihaqi)

Terakhir, PPATK menemukan adanya pola dari para pemain judi online (judol) yang kerap terjerat kasus pinjaman online (pinjol) ilegal sampai penipuan.

"Kami menemukan pelanggaran-pelanggaran hukum ikutan dari judol ini, seperti terjadinya pinjol ilegal, penipuan, ponzi scheme (skema ponzi) dan lain-lain," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana saat dikonfirmasi.

Ivan menyebut terjeratnya para pemain judi online itu karena kerap terdesak kebutuhan uang demi memainkan permainan haram tersebut. Sehingga, segala cara digunakan untuk mendapatkan uang.

"Iya, karena untuk judol mereka butuh uang, dan itu mereka dapatkan dengan cara melawan hukum juga. Karena tidak adanya sumber penghasilan yang memadai untuk judol," ungkap Ivan.

Berdasarkan data PPATK, lebih dari 80 persen masyarakat yang bermain judi online adalah mereka yang memiliki nilai transaksi relatif kecil, sekira Rp100 ribu.

Dari data itu didapat total agregat transaksi kalangan masyarakat umum berada pada kalangan menengah ke bawah. Semisal kategori ibu rumah tangga, pelajar, pegawai golongan rendah, pekerja lepas.

Meski begitu, kerugian akibat judi online mencapai nilai fantastis, lebih dari Rp600 triliun sampai dengan kuartal 1 tahun 2024. Angka itu didapat berdasarkan kalkulasi hasil analisis PPATK dari tahun 2023 Rp500 triliun. Kemudian pada kuartal 1 (Januari - Maret) ditemukan adanya transaksi Rp100 triliun.

"Oleh karenanya arahan Bapak Presiden kepada masyarakat kemarin, beliau sampaikan bahwa hindari judol. Uang sebaiknya dikelola untuk hal yang produktif, ditabung, buat pendidikan dan lain-lain. Seyogyanya masyarakat memang mengelola dananya dengan menghindari judol," jelas Ivan.

 

Infografis Journal: Gen Z Sasaran Empuk Judi Online (Liputan6.com)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya