Indonesia Tanpa Korupsi, Ini Kata Pengamat Hukum

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diterbitkan oleh Transparency International secara konsisten menempatkan Indonesia pada peringkat yang kurang memuaskan.

oleh Tim Regional diperbarui 19 Jun 2024, 08:28 WIB
Pengamat hukum Dr. (Cand.) Shri Hardjuno Wiwoho, S.H., M.M,

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa negara seperti Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru telah berhasil menciptakan sistem pemerintahan yang bersih dan transparan, dengan tingkat korupsi yang sangat rendah.  Hal ini membuktikan bahwa absennya korupsi bukanlah utopia, melainkan sebuah visi yang diwujudkan dengan komitmen dan kerja keras.

Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis dan terpadu yang melibatkan semua elemen masyarakat.

Menurut pengamat hukum Dr. (Cand.) Shri Hardjuno Wiwoho, S.H., M.M, pemerintah harus memperkuat sistem penegakan hukum dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta membangun sistem pencegahan korupsi yang efektif.

“Masyarakat sipil juga harus berperan aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan, melaporkan indikasi korupsi, dan menuntut pertanggungjawaban dari para pejabat publik,” ujar Hardjuno di Jakarta, Selasa (18/6/2024).

Menurutnya, korupsi sudah sangat meluas secara sistemik merasuk ke semua sektor di pusat dan di daerah yang diduga melibatkan eksekutif, legislatif maupun yudikatif.  Oleh karena itu, korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang mempengaruhi semua tatanan masyarakat dan ekonomi dalam segala tingkatan.

“Kasus korupsi menjadi penyakit kronis  yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia,” ucapnya.

Terbukti, setiap tahun, aparat penegak hukum, terus menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku korupsi. Namun anehnya tidak ada efek jera sedikit pun bahkan, pertumbuhan kejahatan korupsi di Indonesia tetap tinggi.

“Praktik culas ini telah merajalela di berbagai sektor. Dampaknya pun sangat amat terasa mulai dari menghambat pembangunan, merusak kepercayaan publik, dan memperlebar kesenjangan sosial,” tuturnya.

Dia menilai, realitas korupsi di Indonesia masih menggila. Hal ini tercermin dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diterbitkan oleh Transparency International secara konsisten menempatkan Indonesia pada peringkat yang kurang memuaskan.

Meskipun mengalami sedikit peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, skor IPK Indonesia masih jauh dari ideal.

Pada 2023, Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara, dengan skor 34 (skala 0-100, di mana 0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih).

Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menggambarkan betapa suramnya penyakit korupsi di Indonesia.

“Ratusan kasus korupsi yang melibatkan berbagai aktor, mulai dari pejabat publik, politisi, pengusaha, hingga aparat penegak hukum terjadi setiap tahun. Modus operandinya pun semakin beragam dan canggih, mulai dari penyuapan, gratifikasi, penggelapan uang negara, hingga penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hardjuno menegaskan korupsi bukan sekadar kejahatan kerah putih yang merugikan keuangan negara.  Akan tetapi dampaknya jauh lebih luas dan kompleks, menyentuh hampir semua aspek kehidupan masyarakat.

Korupsi menyebabkan kerugian finansial yang besar, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan daya saing bangsa.

“Korupsi juga merusak kualitas pelayanan publik, menghambat pembangunan infrastruktur, dan mempersulit akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan,” terangnya.

Selain itu lanjutnya, korupsi juga berdampak serius pada tatanan sosial dan politik.

Korupsi menumbuhkan ketidakadilan, memperlebar kesenjangan sosial, dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga negara. “Bahkan korupsi juga melemahkan demokrasi, mendistorsi proses pengambilan keputusan, dan menciptakan lingkaran setan yang sulit diputuskan,” tutunya.

Dia mengaku pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk memberantas korupsi.

Namun, upaya pemberantasan korupsi masih menghadapi banyak tantangan dan kendala.

Salah satu tantangan terbesar adalah masih lemahnya sistem penegakan hukum.

Hal ini terlihat dari banyak kasus korupsi yang mandek di tingkat penyidikan atau penuntutan, atau bahkan tidak tersentuh sama sekali karena adanya intervensi politik atau jaringan mafia.

“Selain itu, budaya korupsi yang masih mengakar kuat di masyarakat juga menjadi hambatan serius dalam pemberantasan korupsi,” urainya.

Hardjuno yang juga Mahasiswa Program Doktor Hukum dan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga ini menjelaskan absennya korupsi bukan hanya tentang menciptakan sistem pemerintahan yang bersih dan transparan.

Namun absennya korupsi juga menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat.

“Dengan komitmen, kerja keras, dan kolaborasi dari semua elemen masyarakat, kita bisa mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi,” jelasnya.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya