Liputan6.com, Jakarta - Nabi Muhammad SAW tumbuh dalam keluarga yang selalu mendukungnya dalam menyebarkan agama Islam. Salah satu anggota keluarga yang paling mendukungnya adalah paman Nabi SAW, Abu Thalib.
Abu Thalib tidak hanya memberikan dukungan moral tetapi juga perlindungan fisik kepada Nabi.
Abu Thalib sering kali menggagalkan berbagai upaya kaum kafir Quraisy yang ingin menyakiti Nabi Muhammad SAW. Ia selalu berdiri di garis depan untuk melindungi keponakannya dari berbagai ancaman. Dedikasi dan keberanian Abu Thalib menjadi benteng utama bagi Rasulullah SAW dalam menghadapi tekanan dan ancaman.
Namun, meskipun Abu Thalib selalu melindungi dan mendukung Nabi Muhammad, ia sendiri tidak memeluk agama Islam hingga akhir hayatnya.
Tahun kematiannya dikenal sebagai 'amul huzn, atau tahun kesedihan, karena di tahun yang sama, Rasulullah SAW juga kehilangan istri pertamanya, Khadijah. Kehilangan dua orang yang sangat dicintai dan dihormatinya membuat tahun itu menjadi masa yang sangat berat bagi Nabi Muhammad SAW.
Kehidupan dan perjuangan paman Nabi SAW menjadi bukti nyata dari loyalitas dan cinta keluarga yang mendalam, meskipun tidak diiringi dengan keyakinan yang sama. Kisah ini juga menggambarkan betapa besar pengorbanan dan dukungan yang diterima Nabi Muhammad dari keluarganya dalam menyebarkan ajaran Islam.
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Paman Nabi Kehidupannya Sangat Miskin
Seperti diketahui, Nabi Muhammad SAW lahir di kota Makkah pada hari Senin 12 Rabi'ul Awwal. Sebelum kelahirannya, Nabi Muhammad telah kehilangan sang ayah Abdullah bin Abdul Muthalib yang meninggal karena sakit.
Saat berusia 6 tahun, Nabi kembali merasakan kesedihan karena ibunya Aminah binti Wahb jatuh sakit dan meninggal dunia. Sejak saat itu, Nabi pun menjadi yatim piatu dan diasuh oleh sang kakek Abdul Muthalib. Kakek Nabi merupakan seorang yang terkemuka di kota Makkah.
Nabi diasuh oleh kakeknya selama dua tahun karena sang kakek wafat. Maka atas wasiat sang kakek, Nabi pun diasuh oleh pamannya yakni Abu Thalib.
Dilansir buku Kisah Nabi Muhammad SAW karya Ajen Dianawati, paman Nabi ini memiliki banyak anak dan kehidupannya sangat miskin. Ia bekerja sebagai pedagang untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari. Tapi meski begitu, ia sangat sayang dengan Nabi Muhammad SAW.
Abu Thalib merupakan orang yang berjasa dalam perjalanan Nabi berdagang. Ia menasihati Nabi untuk bergabung dengan kafilah dagang milik Khadijah, yang kemudian dipersunting Nabi menjadi istrinya.
Abu Thalib selalu melindungi Nabi Muhammad SAW. Dalam buku 'Agungnya Taman Cinta Sang Rasul' karya Ustadzah Azizah Hefni dijelaskan bahwa Abu Thalib adalah orang yang sangat disegani dan terpandang di kalangan kaum Quraisy. Ia memiliki kebijaksanaan yang tinggi.
Walaupun tidak masuk Islam, kasih sayangnya kepada Rasulullah SAW membuatnya selalu berdiri membela keponakannya itu dari kezaliman kaum kafir Quraisy.
Pernah suatu ketika, Rasulullah SAW datang menemuinya dalam keadaan sedih. Abu Thalib cemas melihat kesedihan di wajah keponakannya.
Saat itu, Abu Thalib bertanya alasan keponakannya bersedih. Rasulullah SAW lalu berkata bahwa beliau telah dilempari kotoran dan darah saat sedang bersujud di Ka'bah. Mendengar itu, Abu Thalib naik pitam. Ia segera bangkit dengan memegang sebilah pedang di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya menggandeng Rasulullah SAW.
Advertisement
Abu Thalib Marah Besar saat Ponakannya Disakiti
Abu Thalib mengajak Rasulullah SAW ke Ka'bah. Di sana mereka mendekati gerombolan kaum kafir Quraisy dan berkata:
"Demi Dzat yang diimani Muhammad! Jika ada di antara kalian yang menyegerakan berdiri, aku akan menyegerakan kematian kalian dengan pedangku!" katanya.
Kemudian, Abu Thalib mengusap semua kotoran dan darah yang masih menempel di tubuh Rasulullah SAW, dan melemparkan ke muka mereka. Sikap Abu Thalib tersebut memicu dendam di benak para kafir Quraisy.
Abu Thalib tak masuk Islam tapi menghargai agama Rasulullah SAW. Abu Thalib menjadi salah satu anggota keluarga Nabi yang tidak memeluk Islam sampai akhir hayatnya. Padahal, anaknya Ali bin Abi Thalib termasuk orang pertama yang masuk Islam.
Saat Ali bin Abi Thalib masuk Islam, ia sempat mengalami masa-masa khawatir dan takut atas kesilaman yang telah dilakukannya akan membuat sang ayah marah.
Dikutip dari buku Biografi Ali bin Abi Thalib karya Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Ali bin Abi Thalib pun berusaha menyembunyikan keislamannya dan tak berani menampakannya.
Hingga suatu kali, Abu Thalib melihat putranya itu beribadah di belakang Rasulullah SAW. Seusai beribadah, Abu Thalib lalu bertanya, "Hai anak laki-laki saudaraku! Agama apakah itu yang aku lihat engkau mengikutinya?"
Dengan lembut dan ramah, Rasulullah SAW menjawab, "Pamanku, ini adalah agama Allah, agama malaikat-Nya, agama para Rasul-nya, dan agama bapak kami, Ibrahim. Allah menetapkan aku sebagai utusan dengan membawa agama ini kepada segenap hamba-Nya. Dan engkau pamanku, adalah orang lebih berhak aku beri nasihat untuk mengikutinya dan aku menyerukannya kepada petunjuk itu, dan orang yang lebih berhak melaksanakan seruanku ini kepadanya dan membantu aku dalam menyampaikan seruanku."
Mendengar itu, Abu Thalib lalu menjawab, "Hai anak saudaraku! Sesungguhnya aku tidak sanggup berpisah dari agama para orang tuaku yang dahulu dan apa-apa yang telah dilakukan mereka. Sungguh pun demikian, demi Allah, tidak ada sesuatu pun yang engkau benci yang dapat disampaikan kepadaku selama aku masih ada."
Lalu, Ali bin Abi Thalib berkata, "Ayah, aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku mempercayai dan membenarkan agama yang telah dibawa olehnya. Dan aku bertekad untuk mengikuti jejaknya."
Mendengar penuturan anaknya, Abu Thalib lantas berkata, "Sudah pasti ia mengajakmu ke arah kebajikan. Oleh karena itu, tetaplah kau bersamanya."
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul