Liputan6.com, Jakarta - Istilah teknologi pasca-panen (post-harvest technology) terdengar canggih bagi sebagian petani yang mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal, penerapan di lapangan sebenarnya tak benar-benar awam.
Secara umum, teknologi pasca-panen adalah segala upaya yang diterapkan pada hasil pertanian setelah dipanen untuk perlindungan, konservasi, pengolahan, pengemasan, distribusi, pemasaran, dan pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat sesuai kebutuhannya. Dalam hal produk hortikultura, termasuk sayur dan buah, tujuan penerapannya agar tidak cepat rusak yang malah menimbulkan sampah makanan.
Advertisement
"Post-harvest itu kegiatan off farm. Tapi sebenar-benarnya itu, kegiatan on farm-nya juga penting. Bagaimana bisa off farm bagus, kalau on farm-nya ditinggalkan?" ucap Prof. Endang Warsiki, Guru Besar IPB dari Jurusan Teknologi Industri Pertanian, kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 20 Juni 2024.
Mencontoh salah satu perkebunan nanas besar di Indonesia, ia menjelaskan bahwa kegiatan on farm yang baik dimulai dari memilih dan menanam bibit yang terbaik, termasuk tidak terkena penyakit kutu. Dengan begitu, hasil panen akan lebih baik. Pasalnya, banyak hasil pertanian segar dari Indonesia tidak lolos karantina saat diekspor lantaran tekena penyakit kutu.
Bila hasil panen sudah dipastikan baik, penanganan pasca-panen akan menghasilkan hasil lebih optimal. Prosesnya dimulai dari sortir, grading, pembersihan, pengemasan, distribusi, hingga pemasaran. "Jadi, perlakuan post-harvest ini enggak bisa jalan sendiri," ucapnya.
Di sisi lain, ia menyadari bahwa penanganan pasca-panen membutuhkan biaya tambahan. Ini yang menyulitkan sebagian besar petani di Indonesia yang rata-rata bermodal minim. "Kalau post-harvest di tingkat petani yang enggak banyak produksi, costly," ucap Endang.
Bisa Tiru Model Thailand
Di samping modal, ada faktor sosial, ekonomi, dan teknologi yang memengaruhi rendahnya petani menerapkan pengolahan pasca-panen dan lebih memilih menjualnya begitu saja. Padahal, petani bisa mengadopsi model Thailand menerapkan teknologi pasca-panen sehingga komoditas mereka bisa bersaing di pasar global.
Salah satu kuncinya adalah keberadaan packing house. Biasanya berfungsi sebagai titik kumpul para petani untuk sama-sama mengelola hasil panen. Sistem kerjanya adalah seperti koperasi dengan semangat gotong royong.
Begitu selesai dipanen, hasilnya langsung dikumpulkan di packing house untuk selanjutnya disortir, di-grading, sampai dikemas. Pembeli dalam jumlah besar (wholeseller) tidak lagi perlu datang mendekati petani satu per satu untuk menjadi supplier mereka, tetapi langsung ke packing house. Mereka bisa memilih produk sesuai spek yang diperlukan tanpa harus mengerjakan sendiri.
"Di kita (Indonesia) sebenarnya juga ada packing house yang dibangun pemerintah, tapi saya enggak tahu kenapa enggak jalan ya? Petani kayak enggak mau ke situ. Ketika panen, larinya kebanyakan ke pedagang pengumpul," tutur Endang.
Di sisi lain, ia juga menilai petani di Indonesia tidak cukup termotivasi untuk melakukan serangkaian proses pasca-panen. Hal itu berkaitan dengan nilai jual yang diberikan dinilai tidak sepadan dengan waktu dan biaya yang dikeluarkan petani untuk menyortirnya.
"Kenapa harus pilih-pilih kalau pedagang pengumpulnya tidak memberlakukan grading, sorting, dan sebagainya. Dia (pedagang) maunya curah. Akhirnya, (petani) enggak termotivasi untuk melakukan itu," ucapnya.
Advertisement
Petani Perlu Dimotivasi
Menyadari hal itu, Biki, salah satu startup agritech, masuk menawarkan teknologi pasca-panen berbiaya minim. CEO BIKI Muhammad Hafid Rosidin mengungkapkan bahwa pihaknya membutuhkan waktu sekitar tiga tahun untuk mengembangkan teknologi yang disebut sebagai edible coating untuk beragam komoditas hortikultura. Harganya juga terjangkau, yakni Rp100/kg.
"Ini pelapis alami dari bahan organik yang bisa memperpanjang masa simpan sekitar 20 buah komoditas buah dan sayuran. Kita terapkan di packing house," ujarnya kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, dalam kesempatan berbeda, seraya menyebut mangga, salak, manggis sebagai beberapa komoditas yang bisa diperpanjang umur simpannya.
Dari target 30 titik packing house se-Pulau Jawa hingga 2025, saat ini baru lima titik yang menjadi mitra dan menjangkau hampir 1.000 petani. "Kami juga libatkan 150 perempuan istri petani. Kita berdayakan dari penerimaan barang hingga pengemasan. Kita mendapat hibah dari program P4G partnership yang didanai oleh Belanda, Denmark," tuturnya.
Senada dengan Endang, Hafid menyadari bahwa tantangan terbesar untuk mengajak petani menerapkan teknologi pasca-panen adalah terkait kesadaran. Para petani, menurut dia, rata-rata terbiasa kehilangan 50--60 persen hasil panennya saat hendak dijual.
"Target dia 30--40 persen, enggak peduli kehilangan 50--60 persen barang yang terbuang karena rusak. Padahal, di situ ada kerugian finansial, kerugian lingkungan, dan sosial. Kalau bisa selamatkan itu (hasil panen), kan bisa didistribusikan ke pihak lain," ucapnya.
Demi Kurangi Sampah Makanan
Dengan meningkatkan umur simpan hasil panen, petani juga bisa memiliki alternatif opsi untuk hasil panen mereka. Tidak melulu harus dijual seluruhnya, tetapi bisa disimpan dan baru dikeluarkan jika harga sudah dinilai layak.
Selain memberdayakan para petani, Hafid dan timnya punya misi yang lebih luas dengan meluncurkan teknologi pelapis organik itu, yakni menurunkan jumlah food loss dan food waste di Indonesia. Selama ini, buah dan sayuran menjadi dua komoditas penyumbang sampah makanan terbesar di Indonesia karena secara durability, paling cepat rusak.
"Pendingin sebagai alternatif solusi sebenarnya bisa aja, tapi dari segi cost enggak masuk. Rata-rata petani itu small holder, secara biaya listrik enggak akan ketutup (ongkos produksinya). Rasio cost dan benefit dia enggak masuk. Makanya, kalau ada bantuan cold storage itu enggak tepat sasaran," ujarnya.
Ia berharap pemerintah lebih banyak mendukung pengembangan sektor industri pasca-panen agar pertanian dalam negeri semakin maju, seperti China yang bisa mengekspor produk bahan segar mereka ke banyak negara, termasuk Indonesia. Ia juga mendorong pemerintah mengeluarkan regulasi tentang teknologi pelapis makanan yang aman untuk konsumen.
"Kita selama ini enggak pernah dapat informasi itu," ucapnya.
Advertisement