Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyerahkan sepenuhnya rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 ke pasangan presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Hal ini disampaikan Sri Mulyani saat menjawab pertanyaan awak media terkait rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen.
Advertisement
"Pertanyaan mengenai PPN Saya sudah sampaikan, sekali lagi saya menyerahkan kepada pemerintahan baru untuk memutuskannya," ujar Sri Mulyani di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Senin (24/6).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12 persen pada tahun 2025. Airlangga mengatakan aturan untuk kenaikan tarif PPN akan dibahas lebih lanjut dan dilaksanakan oleh pemerintahan selanjutnya.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Dalam Pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen.
Namun, kata Airlangga, penyesuaian peraturan itu tergantung dari kebijakan pemerintah selanjutnya. Dia menjelaskan bahwa kenaikan PPN akan dibahas lebih lanjut dalam penyusunan APBN 2025 bulan depan.
“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN (12 persen),” kata Menko Airlangga.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Sri Mulyani Tolak Target Rasio Pajak 23%
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati keberatan menyusun peta jalan (roadmap) untuk mencapai target rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) di kisaran 23 persen pada 2025.
Dalam rapat kerja bersama Komisi XI beberapa waktu lalu, Sri Mulyani mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memang tengah fokus melakukan reformasi. Dengan menekankan kepada berbagai upaya seperti integrasi teknologi, penguatan sistem pajak, hingga meningkatkan tax ratio.
"Namun kami tidak secara spesifik apalagi sampai angka 23 persen. Jadi kami mohon mungkin angka 23 di-drop saja, karena saya takut menimbulkan suatu signaling yang salah," tegas Sri Mulyani, dikutip Kamis (13/6/2024).
Sebab, melalui Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, pemerintah telah menargetkan rasio pajak 10,09-10,29 persen terhadap PDB di tahun depan.
"Kami khawatirkan kalau seandainya ditulis seperti ini (rasio pajak 12-23 persen terhadap PDB), seolah-olah sudah ada roadmap yang nanti akan dibahas kembali pada nota keuangan tahun 2025," tegas Sri Mulyani.
Target Rasio Pajak
Oleh karenanya, Sang Bendahara Negara khawatir jika target rasio pajak 23 persen itu justru menimbulkan kesalahpahaman. Ia pun tak ingin hal tersebut malah membebankan menteri keuangan di periode berikutnya.
"Kami mengikuti apa yang ditulis di KEM-PPKF. Jadi supaya tidak menimbulkan misleading, karena ini kan nanti jadi sesuatu kesimpulan yang mengikat, dan oleh Menteri Keuangan selanjutnya tentu ini menjadi sesuatu yang harus di-deliver," tutur Sri Mulyani.
Advertisement
Jalan 4 Bulan, Sri Mulyani Baru Kantongi Pajak Segini
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap besaran pajak yang sudah dipungut sebesar Rp 624,19 triliun. Angka ini merupakan akumulasi dari Januari-April 2024.
Dia menjelaskan, angka ini setara dengan 31,38 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2024 ini. Tercatat juga peningkatan dari pengumpulan perbulannya sejak awal tahun.
"Penerimaan pajak kita sampai dengan akhir April adalah Rp 624,19 triliun, ini artinya 31,38 dari tsrget APBN dikumpulkan sampai dengan akhir April," ungkap Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita, Senin (27/5/2024).Jika dirinci, Kementerian Keuangan mengumpulkan pajak sebesar Rp 149,25 triliun di Januari 2024, lalu naik jadi Rp 269,02 triliun di Februari, Rp 393,91 di Maret, dan melonjak ke Rp 624,19 triliun secara akumulasi di April 2024.
Jika dilihat dari komponen pajak, setoran terbesar datang dari Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas dengan Rp 377 triliun atau 35,45 persen dari target tahunan. Tapi kalau dilihat dari besaran pertumbuhannya terkoreksi negatif 5,43 persen.
"Jadi kalau kita lihat, PPh non migas turun karena ada penurunan dari PPh tahunan terutama untuk korporasi atau badan. Artinya perusahaan-perusahaan dengan harga komoditas turun terjadi penurunan profitabilitas sehingga kewajiban mereka membayar pajak juga mengalami penurunan terutama untuk pertambangan komoditas," jelasnya.
PPN dan PPnBM
Kemudian, untuk PPN dan PPnBM Kemenkeu mampu mengumpulkan Rp 218,5 triliun, ini 26,9 persen dari tsrget. Perolehan ini sedikit di bawah target dengan 26,93 persen dari target tahunan. Namun secara bruto masih tumbuh 5,93 persen.
PBB dan PPh MigasLalu, pengumpulan dari PBB sebesar Rp 3,87 triliun, angka, ini 10,27 dari target atau turun tajam 22,59 persen. Penyebabnya adalah tidak terulangnya pembayaram tagihan tahun 2023.
Selanjutnya, PPh Migas terkumpul Rp 24,8 triliun ini 32,49 persen dari target. Serta mengalami penurunannya sangat tajam 23,2 persen.
"Untuk PPh migas ini penyebabnya adalah lifting yang selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun," pungkasnya.
Baca Juga
Advertisement