Liputan6.com, Jakarta Nasib malang menimpa penyandang disabilitas sensorik rungu atau Tuli bernama Naufal Athallah. Ia adalah salah satu peserta Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) yang mengalami hal tidak menyenangkan saat menjalani tes di Universitas Indonesia (UI).
Kisah ini ia bagikan di akun X @naunathz pada 16 Juni 2024 dan menjadi viral hingga mengundang respons dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Advertisement
Saat UTBK, ia dicurigai oleh peserta lain sebagai orang dalam (ordal) dan joki UTBK. Kecurigaan ini datang hanya karena ia menggunakan alat di telinga, adapun alat tersebut adalah alat bantu dengar (ABD).
“Halo guys gue mau klarifikasi tentang masalah ordal pake alat di telinga. Kemarin pas UTBK ada yang ngomongin gue, ngeliatin gue karena gue pake alat bantu dengar ya di telinga dan takutnya mereka ngira kalau gw penjoki UTBK, padahal gue tunarungu,” tulis Naufal dalam sebuah utas dikutip Senin (24/6/2024).
“Nah singkat cerita kemarin pas sebelum UTBK ada yang ngomongin gue masalah alat di telinga gue ya, kayaknya mereka ngira kalau gue penjoki padahal gue peserta UTBK. Terus gue nggak terima dong kalau gue diomongin gitu, ya udah gue diemin aja tuh, soalnya mau UTBK dan nggak mau marah,” tambahnya.
Tak ingin dicurigai oleh peserta lain di satu ruangan, Naufal pun terpaksa melepas alat bantu dengar sehingga ia tak dapat mendengar apapun, tak fokus, dan tak lolos ujian tersebut.
"Selama ujian gue enggak denger apa-apa dan enggak fokus sumpah. Alhasil gue belum rezeki di SNBT,” kenangnya.
Kemenkumham Angkat Bicara
Kisah Naufal yang viral kini mendapat perhatian dari Kemenkumham. Menurut Direktur Jenderal HAM Kemenkumham, Dhahana Putra, apa yang menimpa Naufal akan menjadi bahasan bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
“Ini tentu menjadi perhatian kami untuk selanjutnya akan kami komunikasikan bersama Kemendikbudristek, sehingga kejadian serupa tidak perlu terulang kembali," kata Dhahana dalam keterangannya pada Minggu, 23 Juni 2024, seperti mengutip Antara.
Sementara itu, Dhahana sangat menyayangkan adanya peristiwa yang menimpa Naufal saat mengikuti UTBK pada 14 Mei 2024. Menurut dia, penggunaan ABD bukan dimaksudkan untuk bertindak curang dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi.
"Dapat kami sampaikan, pencopotan ABD Naufal tidak senapas dengan komitmen dan semangat pemerintah untuk mendorong pemenuhan serta penghormatan HAM bagi para penyandang disabilitas di dunia pendidikan Tanah Air," terangnya.
Advertisement
Penyandang Disabilitas Butuh Pendidikan yang Setara dan Inklusif
Kejadian ini dinilai bertolak belakang dengan citra Indonesia yang dikenal sebagai negara pendukung Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD). Indonesia memiliki kewajiban mendorong terlaksananya sistem pendidikan yang inklusif.
"Pelarangan penggunaan ABD membatasi akses penyandang disabilitas tunarungu untuk mendapatkan hak pendidikan yang setara dan inklusif," imbuhnya.
Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan beragam regulasi, pemerintah terus berupaya meningkatkan pemenuhan HAM bagi penyandang disabilitas.
Salah satu bentuk upaya pemerintah, lanjutnya, yaitu dengan masuknya penyandang disabilitas ke dalam kelompok sasaran di Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.
Pentingnya Penghormatan Hak Penyandang Disabilitas
Sayangnya, apa yang menimpa Naufal menunjukkan masih adanya kalangan masyarakat yang belum memahami pentingnya penghormatan HAM bagi penyandang disabilitas.
Sehingga, ia meyakini pentingnya menggencarkan diseminasi HAM terkait penyandang disabilitas kepada berbagai lapisan masyarakat, tidak terkecuali di dunia pendidikan.
"Langkah ini penting dilakukan agar berbagai elemen di dunia pendidikan termasuk penyelenggara UTBK dapat memiliki kesadaran yang lebih baik tentang pendidikan yang inklusif dan penghormatan hak-hak para penyandang disabilitas," ucapnya.
Saat ini pihak Dhahana sedang membangun kolaborasi bersama sejumlah sekolah dan pelajar SMA sederajat di Jakarta. Pihak-pihak ini tergabung dalam Komunitas Pemuda Pelajar Pecinta HAM (Koppeta HAM) untuk menggencarkan pemahaman HAM termasuk hak para penyandang disabilitas di kalangan remaja.
"Harapannya dengan memupuk kesadaran HAM sedari dini kita dapat mewujudkan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan bagi semua," pungkasnya.
Advertisement