Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan dampak pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bagi perekonomian Indonesia. Diakuinya, pelemahan nilai tukar Rupiah berpotensi akan membuat subsidi energi akan membengkak.
Advertisement
"Ada efek rembesan itu dari Rupiah yang bergerak ke dalam jumlah subsidi, belanja subsidi BBM, listrik, LPG itu," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Senin (24/6/2024).
Sri Mulyani mengatakan, pembengkakan subsidi BBM hingga listrik terjadi karena mayoritas barang berasal dari impor. Melansir data Bloomberg, nilai tukar Rupiah telah menembus level Rp16.397 per dolar AS pada transaksi perdagangan siang hari ini.
"Maka akan terjadi pengaruhnya terhadap belanja-belanja yang denominasi menggunakan mata uang asing, seperti subsidi listrik, bbm, yang sebagian bahannya adalah impor," bebernya.
Sementara, asumsi kurs pemerintah dalam menetapkan subsidi energi 2024 masih di bawah Rp16.000 per dolar AS. Adapun, anggaran subsidi energi tahun 2024 meliputi BBM, listrik, hingga LPG sekitar Rp300 triliun.
Meski demikian, pemerintah masih belum berencana dalam waktu dekat untuk menambah anggaran bagi subsidi energi. Sehingga, Pertamina maupun PLN sebagai operator subsidi energi tetap seperti biasa untuk menagihkan anggaran terkait penugasan yang dilakukan per kuartal di setiap tahunnya.
"Ketiga faktor itu nanti akan ditagihkan oleh Pertamina dan PLN kepada pemerintah setiap kuartal, kita kemudian akan meminta BPKP untuk mengaudit," ujarnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Kenaikan Harga BBM
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, kenaikan harga BBM non subsidi semisal Pertamax cs dalam waktu dekat memang tak terelakkan.
Selain karena rupiah yang membuat ongkos impor BBM membengkak, harga minyak dunia yang terus bergerak naik jadi alasan kuat lain.
"Sangat mungkin harga BBM yang non subsidi naik, apalagi harga minyak sekarang cenderung bergerak ke atas USD 80 per barel," kata Faisal kepada Liputan6.com, Jumat (21/6/2024).
Kendati begitu, ia tak bisa memperkirakan bagaimana gejolak harga BBM ke depan hingga akhir tahun. Lantaran beberapa faktor bisa mempengaruhi baik dari sisi positif ataupun negatif, semisal respon kebijakan fiskal pemerintah terhadap situasi saat ini.
Terkait ketidakpastian ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat berjanji akan menghitung dan mempertimbangkan kemampuan fiskal negara terkait potensi kenaikan harga BBM setelah ditahan sejak awal tahun
"Semuanya dilihat fiskal negara. Mampu atau tidak mampu, kuat atau tidak kuat," kata Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, dikutip dari Antara.
Advertisement
Rupiah Terperosok di Awal Pekan Gara-Gara AS
Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Senin dibuka merosot. Pelemahan rupiah dipengaruhi data PMI Amerika Serikat (AS) yang solid.
Pada awal perdagangan Senin pagi, rupiah turun 8 poin atau 0,05 persen menjadi 16.458 per USD dari penutupan perdagangan sebelumnya sebesar 16.450 per USD.
"PMI Manufaktur AS secara mengejutkan naik menjadi 51,7 pada Juni 2024 dari 51,3 pada Mei 2024," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede dikutip dari Antara, Senin (24/6/2024).
Josua menuturkan data PMI yang solid mendukung apresiasi nilai tukar dolar AS. PMI manufaktur melampaui ekspektasi konsensus pasar sebesar 51. Selain itu, PMI Jasa AS juga naik menjadi 55,1 pada Juni 2024, melebihi ekspektasi sebesar 54.
Data menunjukkan bahwa sektor manufaktur dan jasa di AS masih mengalami akselerasi pada Juni 2024, meningkatkan kemungkinan kebijakan suku bunga bertahan tinggi untuk waktu yang lebih lama (higher-for-longer) dari bank sentral AS atau The Fed.
Ia memperkirakan pada perdagangan hari ini nilai tukar rupiah akan berkisar di rentang 16.425 per USD sampai dengan 16.525 per USD.
Rupiah Tertekan, Siap-Siap Harga BBM Naik pada Juli 2024
Sebelumnya, harga BBM milik PT Pertamina (Persero) disinyalir akan kembali mengalami kenaikan mulai Juli 2024, menyusul nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kian melemah.
Padahal, Pertamina telah menahan harga BBM non subsidi miliknya naik sejak awal-awal tahun hingga Juni 2024, meskipun kurs rupiah dan harga minyak dunia fluktuatif.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, kenaikan harga BBM non subsidi semisal Pertamax cs dalam waktu dekat memang tak terelakkan.
Selain karena rupiah yang membuat ongkos impor BBM membengkak, harga minyak dunia yang terus bergerak naik jadi alasan kuat lain.
"Sangat mungkin harga BBM yqng non subsidi naik, apalagi harga minyak sekarang cenderung bergerak ke atas USD 80 per barel," kata Faisal kepada Liputan6.com, Jumat (21/6/2024).
Kendati begitu, ia tak bisa memperkirakan bagaimana gejolak harga BBM ke depan hingga akhir tahun. Lantaran beberapa faktor bisa mempengaruhi baik dari sisi positif ataupun negatif, semisal respon kebijakan fiskal pemerintah terhadap situasi saat ini.
Advertisement
Kemampuan Fiskal
Terkait ketidakpastian ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat berjanji akan menghitung dan mempertimbangkan kemampuan fiskal negara terkait potensi kenaikan harga BBM setelah ditahan sejak awal tahun.
"Semuanya dilihat fiskal negara. Mampu atau tidak mampu, kuat atau tidak kuat," kata Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, dikutip dari Antara.
RI 1 menyatakan, kemampuan APBN untuk melakukan subsidi BBM akan dihitung dengan pertimbangan harga minyak dunia, terutama di tengah kondisi geopolitik. Menurut dia, semua aspek tersebut akan dikalkulasi dan dihitung lewat pertimbangan yang matang.
"Harga minyaknya sampai seberapa tinggi. Semuanya akan dikalkulasi, semua akan dihitung, semua akan dilakukan lewat pertimbangan-pertimbangan yang matang karena itu menyangkut hajat hidup orang banyak," kata Jokowi.
Sang Kepala Negara menilai, keputusan pemerintah terhadap harga BBM menyangkut hajat hidup orang banyak. "Bisa mempengaruhi harga, bisa mempengaruhi semuanya kalau urusan minyak," pungkas Jokowi.