Liputan6.com, Jakarta - Jepang mencatat rekor jumlah kasus penyakit berpotensi mematikan yang disebabkan "bakteri pemakan daging." Laporan ini memicu kekhawatiran luas di kalangan wisatawan yang sedang dan akan melancong ke Negeri Sakura.
Melansir SCMP, Rabu, 26 Juni 2024, Institut Penyakit Menular Nasional Jepang mengatakan awal bulan ini, ada 977 kasus sindrom syok toksik streptokokus sepanjang 2024. Angka tersebut melampaui 941 kasus yang tercatat tahun lalu, yang merupakan jumlah tertinggi yang dilaporkan dalam satu tahun sejak pencatatan dimulai.
Advertisement
Awal pekan ini, badan tersebut mengeluarkan pernyataan yang mendesak warga mengambil "tindakan pencegahan yang diperlukan" untuk menghindari infeksi ketika bepergian ke negara tersebut. Pihaknya merekomendasikan pelancong memastikan penanganan luka secara menyeluruh untuk mencegah infeksi.
Ini termasuk membersihkan langsung luka terbuka dan menutupi dengan perban anti-air sampai luka tersebut sembuh sepenuhnya. Badan itu juga merekomendasikan wisatawan menghindari berenang di luar mapun kolam renang atau menggunakan fasilitas, seperti pemandian air panas sampai luka menutup sempurna.
"Pelancong sangat direkomendasikan untuk membersihkan tangan secara regular, menghindari berbagi pemakaian barang pribadi, dan memakai masker saat berada di tempat ramai," sebut juru bicara badan tersebut.
Ahli penyakit menular Dr Joseph Tsang Kay-yan mengatakan bahwa pemandian air panas dan pemandian umum meningkatkan risiko seseorang terinfeksi bakteri pemakan daging. Pasalnya, orang akan melepas dan memakai pakaian serta memakai handuk secara bergantian, kendati sudah dicuci sebelumnya.
Minat Berwisata ke Jepang Menurun?
Juru bicara mengatakan, "Di area semacam ini, kemungkinan luka terekspos lebih tinggi." Anda diminta segera mencari bantuan medis bila mengalami gejala infeksi bakteri pemakan daging. Kebanyakan kasus bisa diobati dengan antibiotik, tapi sindrom syok toksik streptokokus mungkin memerlukan perawatan di rumah sakit, bahkan operasi.
Direktur eksekutif agensi perjalanan berbasis di Hong Kong WWPKG Yuen Chun-ning mengatakan bahwa seminggu terakhir, ia telah menerima banyak pertanyaan terkait perjalaan ke Jepang. Kekhawatiran kian terlihat di kalangan pelancong yang akan berlibur bersama anak-anak maupun lansia.
Setelah mendengar ragam asuransi media dan perjalanan, serta langkah-langkah menurunkan risiko infeksi, kebanyakan pelanggannya diklaim "cukup tenang" untuk liburan ke Jepang. Yuen menambahkan, kendati wabah tersebut belum memengaruhi minat melancong ke Negeri Matahari Terbit, potensinya masih ada bila situasi terus seperti sekarang maupun bertambah parah.
Jadi, apa itu infeksi bakteri pemakan daging? Menurut Pusat Perlindungan Kesehatan Jepang, infeksi Streptococcus pyogenes, atau Streptococcus Grup A (GAS), dapat menyebabkan penyakit ringan dan umum seperti sakit tenggorokan atau infeksi kulit, seperti impetigo.
Advertisement
Apa Itu Bakteri Pemakan Daging?
Dalam kasus yang jarang terjadi, yang disebut sebagai "GAS invasif" atau iGAS, bakteri ini dapat menyebabkan komplikasi lebih parah, bahkan mengancam jiwa. Hal ini disebabkan bakteri memasuki bagian tubuh yang tidak terdapat organisme kecil, seperti darah, otot, atau cairan serebrospinal.
Bila kasus sindrom syok toksik streptokokus melibatkan pasien iGAS, gejala serius dapat berkembang dalam waktu singkat. Ini ditandai dengan tekanan darah rendah, detak jantung lebih cepat dari normal, pernapasan cepat, dan tanda-tanda yang menunjukkan kegagalan organ.
Gejala lain mungkin termasuk demam tinggi, menggigil, pusing, mual, nyeri otot parah, bengkak, dan kemerahan di lokasi luka. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), angka kematian akibat sindrom syok toksik streptokokus bisa melebihi 30 persen.
Menurut Pusat Perlindungan Kesehatan Jepang, infeksi GAS dapat menyebar kapan saja, di mana saja, sepanjang tahun. Juga, orang dapat membawa infeksi tersebut tanpa menunjukkan gejala apapun.
Bagaimana Bakteri Pemakan Daging Menyebar?
Penyakit ini dapat ditularkan melalui cipratan liur, menyentuh luka orang yang terinfeksi, atau melalui kontak dengan peralatan yang terkontaminasi. Meski infeksi pada umumnya memerlukan waktu satu hingga lima hari untuk muncul, tanda-tanda sindrom syok toksik streptokokus biasanya berkembang dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah gejala awal.
Badan tersebut mengatakan, orang lanjut usia, anak kecil, orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh, orang dengan penyakit kronis, seperti diabetes, atau orang yang baru saja mengalami infeksi virus mempunyai risiko lebih tinggi terkena iGAS.
Pihaknya juga memperingatkan publik mewaspadai penyakit yang ditularkan nyamuk ketika bepergian ke luar negeri pada musim panas ini. Mengutip data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pusat tersebut mengatakan, "peningkatan signifikan" demam berdarah terjadi di seluruh Asia, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Sejak awal tahun ini, wilayah Amerika, termasuk Brasil, Kolombia, dan Peru juga mencatat rekor 8 juta infeksi demam berdarah. Wisatawan disarankan mengenakan atasan longgar berlengan panjang dan celana panjang, serta menggunakan obat nyamuk yang mengandung DEET.
Jika beraktivitas di luar ruangan, pusat tersebut menghimbau masyarakat menghindari penggunaan kosmetik atau produk perawatan kulit yang wangi. "Pelancong yang kembali harus segera berkonsultasi dengan dokter jika mengalami gejala seperti demam, gejala pernapasan, ruam, atau pembengkakan yang menyakitkan, dan memberi tahu dokter tentang riwayat perjalanan mereka untuk diagnosis dan pengobatan segera," tambah juru bicara tersebut.
Advertisement