Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Survei KedaiKOPI mengungkapkan bahwa hasil survei opini publik menunjukkan sebanyak 49,2 persen warga tidak setuju terkait pembatasan usia kendaraan di Jakarta karena faktor ekonomi.
"Memang kalau kami lihat sebagian besar tidak setuju dengan pembatasan usia kendaraan," kata Direktur Riset dan Komunikasi Lembaga Survei KedaiKOPI Ibnu Dwi Cahyo di Jakarta, Rabu.
Advertisement
Ibnu mengatakan bahwa dari hasil survei yang dilakukan kepada 445 responden yang berasal dari Jakarta dan sekitarnya menunjukkan masih banyak warga yang menolak adanya pembatasan usia kendaraan.
Dia menjelaskan, dari jumlah responden tersebut yang berusia 17-55 tahun sebanyak 49,2 persen tidak setuju dengan pembatasan usia kendaraan, 40,2 persen setuju dan 10,6 persen tidak tahu.
Menurut dia, faktor ekonomi menjadi alasan warga tidak setuju dengan pembatasan usia kendaraan di Jakarta karena hal itu tentu akan memberatkan mereka.
"Alasan utama tidak setuju, yaitu karena faktor ekonomi. Sebab harus beli kendaraan baru dan itu menjadi alasan utama dari masyarakat tidak setuju dengan pembatasan usia kendaraan dan pembatasan jumlah kendaraan," ujarnya.
Ibnu menambahkan, dengan tingginya masyarakat yang tidak setuju akan pembatasan usia kendaraan menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat terhadap kendaraan bermotor di Jakarta dan sekitarnya sangatlah besar.
"Ini mengonfirmasi bahwa sebenarnya kebutuhan ekonomi sagat besar kepada kendaraan bermotor," tuturnya.
Aturan Pembatasan Kendaraan
Sebelumnya, merujuk Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ), Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Suhajar Diantoro mengatakan, pemerintah daerah diberi wewenang untuk membatasi jumlah kepemilikan kendaraan bermotor perorangan.
"Di dalam UU DKJ, pemerintah sepakat dengan DPR memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah Khusus Jakarta, sampai dengan pengaturan jumlah kendaraan yang boleh dimiliki masyarakat," kata Suhajar.
UU DKJ sejatinya berlaku sejak diundangkan pada 29 Maret 2024, tetapi pelaksanaannya masih menunggu keputusan presiden (keppres).
Advertisement
Optimalkan Uji Emisi
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai penerapan bekerja dari rumah (work from home/WFH) bukan solusi untuk mengatasi polusi udara di Ibu Kota.
"Mengenai polusi ini, konteks jangka pendeknya bukan WFH," kata Trubus seperti dilansir Antara.
Trubus memberikan contoh seperti adanya imbauan penerapan WFH bagi para pekerja pada tanggal 5—7 September 2023 bertepatan dengan KTT Ke-43 ASEAN.
Menurut dia, seolah WFH seperti obat yang tiba-tiba langsung 'menyembuhkan' suatu masalah. Penerapan WFH ini janganlah sekadar wacana, tetapi harus dilakukan evaluasi dan kesinambungan.
Kalau ingin melaksanakan WFH, lanjut dia, perlu juga pemerintah merangkul semua pihak, termasuk swasta, dengan memberikan kompensasi maupun memberikan konsekuensi jika ada pelanggaran.
Dia menuturkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebaiknya mengoptimalkan uji emisi sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2020 mengenai Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.
Dikatakan pula bahwa uji emisi tidak dilaksanakan secara sungguh-sungguh sampai sekarang.
Kendati demikian, Trubus memahami pergub tersebut belum bisa secara optimal lantaran adanya keterbatasan anggaran serta kurangnya edukasi masyarakat mengenai uji emisi.
"Ini sifatnya jangka pendek. Setelah itu, ini 'kan tergantung pada cuaca juga sehingga orang berpikir bahwa itu sesuatu yang tidak harus dilaksanakan," tutup dia.