Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) target mengantongi pungutan dari industri keuangan pada 2025 sebesar Rp 8,52 triliun. Jumlah itu lebih besar dibanding target 2024 senilai Rp 8,07 triliun.
Namun, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara mengatakan, pihak otoritas pada 2025 akan mendapat dobel penerimaan lantaran digabung dengan pungutan 2024, untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi, dan pengadaan aset.
Advertisement
"Untuk 2025, OJK memiliki dua sumber penerimaan, yaitu dari iuran yang diterima tahun 2024 digunakan di 2025," ujar Mirza dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (26/6/2024).
Adapun hasil pungutan 2024 yang akan digunakan untuk membiayai program 2025 ini merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Namun, Mirza menekankan, penerimaan dobel ini hanya akan berlaku untuk 2025 dan kembali normal di tahun berikutnya.
"Dengan adanya UU P2SK, maka iuran yang diterima di 2025 itu juga digunakan di 2025. Jadi khusus untuk tahun 2025, dan hanya untuk tahun 2025, OJK miliki dua sumber penerimaan, yaitu dari iuran tahun 2024 dan dari iuran 2025," terang dia.
"Iuran dari 2025 itu diterima Rp 8,075 triliun, dan dari 2025 diproyeksikan diterima Rp 8,52 triliun. Sehingga untuk RKA tahun 2025 total penerimaan OJK adalah Rp 16,6 triliun," Mirza menambahkan.
Mirza menyampaikan, kegiatan operasional OJK pada 2035 terbagi dalam sembilan bidang. Antara lain, pengawasan sektor perbankan dengan anggaran sebesar Rp 1,75 triliun, pengawasan sektor pasar modal hingga bursa karbon dengan anggaran Rp 983 miliar.
Selanjutnya, pengawasan sektor perasuransian senilai Rp 589 miliar, pengawasan sektor lembaga pembiayaan Rp 445 miliar, pengawasan sektor inovasi teknologi Rp 145 miliar, kegiatan pengawasan perilaku pelaku usaha jasa keuangan Rp 501 miliar, audit internal dan manajemen risiko Rp 249 miliar.
Lalu, kegiatan terkait kebijakan strategis dengan anggaran Rp 2,3 triliun, dan manajemen strategis termasuk pengadilan infrastruktur logistik OJK dan PPh badan Rp 6,2 triliun.
"Jadi total pengeluaran dalam RKA 2025 sebesar Rp 13,2 triliun," pungkas Mirza.
OJK Ramal Ekonomi 2025 Masih Tak Pasti, China Pegang Peran
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar memperkirakan kondisi ekonomi global pada 2025 masih akan tidak pasti seperti 2024.
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi tahun depan cenderung masih akan stagnan seperti 2024. Lantaran adanya divergensi yabg tinggi akibat inflasi di Amerika Serikat, risiko stagflasi di Eropa, dan perlambatan ekonomi China.
"Untuk 2025, pertumbuhan ekonomi global juga diperkirakan masih sideways. Artinya tidak akan ada perubahan berarti dibandingkan tahun-tahun sebelumnya," ujar Mahendra dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (26/6/2024).
Di lain pihak, pemerintah negara barat dan industri menghadapi stimulus fiskal yang sangat terbatas. Sehingga pertumbuhan ekonomi global 2025 diprediksi hanya bertengger di kisaran 3,2 persen menurut Dana Moneter Internasional (IMF), dan 2,7 persen menurut Bank Dunia.
Namun, Mahendra menilai China memegang kartu truf pertumbuhan dunia jika sukses menyelesaikan perlambatan ekonomi. Plus adanya kebijakan moneter sejumlah bank sentral negara dunia dengan menurunkan suku bunga acuan.
"Apakah akan ada pertumbuhan di tahun depan, tergantung pertumbuhan di Tiongkok. Lalu kebijakan moneter global mulai akan menunjukan konvergensi dengan suku bunga yang diperkirakan akan turun," imbuh dia.
Sementara di tingkat domestik, pemerintah masih optimistis ekonomi Indonesia membaik meskipun pada 2024 ekspor masih tertekan, seiring penurunan harga komoditas dan permintaan global yang menciut.
"Pertumbuhan ekonomi diperkirakan meningkat seiring ekspansi fiskal pemerintah. Namun, persistensi kenaikan pertumbuhan akan dipengaruhi oleh keberhasilan reformasi struktural dan terjaganya investasi," tuturnya.
Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi Global 2024 Diprediksi Stagnan, Bagaimana dengan Indonesia?
Sebelumnya, Standard Chartered memperkirakan pertumbuhan PDB global tahun ini sebesar 3,1%, atau tidak berubah dari tahun 2023. Standard Chartered juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,2% pada tahun 2025, yang merupakan peningkatan dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,1%.
Menurut laporan Global Focus Economic Outlook Q2-2024 yang dikeluarkan Standard Chartered belum lama ini, yang mencakup dan melihat prospek 58 negara di dunia, serta isu-isu geopolitik, dan implikasi pasar keuangan pada tahun ini dan seterusnya, Asia akan tetap menjadi mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi global.
Sementara itu, Afrika dan Kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, Afghanistan dan Pakistan (MENAP) diperkirakan akan tumbuh lebih cepat pada tahun 2024 dibandingkan pada 2023.
Namun demikian, pemilihan umum di sejumlah negara pada tahun ini mungkin akan mempengaruhi aktivitas investasi untuk sementara waktu, dan keputusan mengenai waktu dan kecepatan penurunan suku bunga akan tetap menjadi tantangan mengingat masih adanya kekhawatiran terhadap inflasi.
Bank-bank sentral besar kemungkinan akan memulai siklus penurunan suku bunganya dalam beberapa bulan mendatang, sehingga memberi ruang pelonggaran kebijakan oleh bank sentral di Asia pada kuartal ketiga.
Meskipun inflasi telah melambat selama setahun terakhir, tekanan harga dalam negeri masih menjadi kekhawatiran mengingat kuatnya pasar tenaga kerja serta ketidakselarasan akselerasi penyesuaian upah atau gaji pekerja dengan perubahan kondisi ekonomi di banyak negara.
Sementara itu, China terus mengalami disinflasi ekspor, namun harga barang secara global masih tetap rentan terhadap gangguan rantai pasokan secara berkala. Meningkatnya proteksi perdagangan dapat menambah biaya.
Dampak disinflasi akibat turunnya harga pangan dan energi mungkin akan berkurang sebelum perkiraan inflasi yang lebih rendah dapat dipertahankan. Secara khusus, meningkatnya permintaan minyak global dan rendahnya pasokan non-OPEC dapat mendorong harga yang lebih tinggi bahkan jika pengurangan produksi OPEC tidak berlanjut hingga semester kedua.
Pertumbuhan Negara Besar
Sebelumnya, meskipun target inflasi belum tercapai di beberapa negara, bank-bank sentral juga khawatir bahwa mempertahankan suku bunga terlalu tinggi dalam jangka waktu lama akan berisiko merusak aktivitas perekonomian.
Kenaikan suku bunga riil telah melemahkan ketersediaan kredit dan meningkatkan tingkat tunggakan utang, serta dampak pengetatan moneter sebelumnya kemungkinan masih akan terus berlanjut.
Standard Chartered memperkirakan pertumbuhan beberapa negara besar berada di bawah tren pada 2024. Peningkatan perkiraan pertumbuhan Amerika Serikat pada 2024 mencerminkan banyaknya lapangan kerja yang tercipta saat ini dan momentum pertumbuhan yang berkelanjutan dari paruh kedua 2023. Perekonomian di kawasan Eropa kemungkinan stagnan pada kuartal pertama dan pertumbuhan kredit masih negatif.
Standard Chartered memperkirakan pertumbuhan PDB di bawah 1% akan terjadi satu tahun ke depan, meskipun dengan momentum yang membaik karena pertumbuhan upah riil yang lebih tinggi.
“Aktivitas global kemungkinan akan mendapatkan kembali momentumnya secara bertahap seiring dengan berkurangnya pembatasan kebijakan moneter; sementara kebijakan penurunan suku bunga akan mendukung pertumbuhan global yang lebih kuat pada tahun 2025," kata Head of Research, Europe and Americas Standard Chartered Bank, Sarah Hewin."Di antara bank-bank sentral besar, kami memperkirakan Bank Sentral Eropa dan Bank of Canada akan mulai menurunkan suku bunga pada bulan Juni, The Fed pada bulan Juli, dan Bank of England pada bulan Agustus. Hal ini harus menjadi perhatian, khususnya di Amerika Serikat; setiap data terkait inflasi dalam beberapa bulan mendatang akan menjadi kuncinya," lanjut dia.
Advertisement
Ekonomi Indonesia
Sementara itu, “Standard Chartered menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB Indonesia pada 2024 menjadi 5,1% dari sebelumnya 5,2%. Hal ini mencerminkan pemasukan dari pemilu yang lebih kecil dari perkiraan.
"Kami masih memperkirakan pertumbuhan di semester pertama yang kuat, namun hasil pemilu bulan Februari cukup meyakinkan sehingga tidak diperlukan adanya Pemilu putaran kedua. Hal ini akan menurunkan dorongan konsumsi. Meskipun kemenangan telak Presiden terpilih Prabowo menghilangkan ketidakpastian politik, peningkatan investasi yang kuat diperkirakan tidak akan terjadi dalam waktu dekat," ungkap Senior Economist Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra,
Menurut dia, transisi pemerintahan, termasuk pembentukan kabinet, mungkin belum selesai hingga akhir tahun 2024; sementara pemilihan pemerintah daerah akan diadakan pada bulan November. Inflasi pangan yang tinggi juga dapat mengurangi belanja konsumen, terutama di kalangan rumah tangga berpendapatan rendah.
"Meskipun demikian, kami yakin perekonomian Indonesia masih berada dalam siklus ekspansi, sebagaimana tercermin dalam pertumbuhan pinjaman yang kuat (11,3% secara year on year di bulan Februari dibandingkan 10,4% di bulan Desember) dan membaiknya pinjaman luar negeri swasta non-bank. Belanja pemerintah juga meningkat pesat sebesar 30,1% secara year on year pada bulan Februari, didorong oleh belanja pemilu," ujar dia.